Masalah kebebasan berkeyakinan dan hak kewarganegaraan bagi semua orang, tanpa diskriminasi sedikit pun adalah isu sentral dalam pemikiran manusia modern. Demikian pernyataan terbaru dari Observatorium al-Azhar untuk Memerangi Ekstremisme.
“Terlebih dalam pemikiran Islam, kedua hal itu mendapatkan perhatian serius.” imbuh lembaga think tank al-Azhar yang fokus memantai kekerasan, ekstremisme dan terorisme.
Lebih lanjut, Observatorium al-Azhar itu menjelaskan bahwa isu kebebasan beragama dan hak kewarganegaraan muncul seiring dengan pembentukan negara-negara bangsa modern.
Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan pada Minggu (7/1), Al-Azhar Observatory for Combating Extremism itu menekankan bahwa penguatan prinsip kebebasan berkeyakinan dan pluralisme agama akan memiliki peran yang efektif dan signifikan dalam memerangi ekstremisme.
Masalah hidup rukun damai dalam lingkup bernegara dan penerimaan terhadap yang lain, lanjut lembaga think tank al-azhar kontra ekstremime itu, selalu menjadi sasaran tembak dan serangan ekstremis, baik dalam aspek teori maupun praktik.
Penguatan nilai-nilai kebebasan beragama akan berkontribusi dalam membangun gambaran obyektif sebanyak mungkin tentang “yang lain” yang berbeda-beda dan beragam dalam menghadapi dualisme biner yang selalu mengunggulkan “yang aku” secara superior dan memandang “yang lain” sebagai inferior. Sebuah prinsip yang biasanya diimani kelompok-kelompok ekstremis.
Dikutip harian Mesir Shorouknews, Observatorium al-Azhar menunjukkan bahwa prinsip kebebasan berkeyakinan merupakan asas Islam yang otentik dan dikukuhkan oleh al-Qur’an dalam ayat,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (QS. al-Baqarah [2]: 256)
Ayat tersebut menegaskan bahwa Islam telah menjadikan masalah beriman atau tidak sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kemauan dan keyakinan batin manusia itu sendiri. Seperti dikatakan oleh Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq (w. 2019 M), hal itu sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam al-Qur’an, “Barang siapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” (QS. al-Kahfi [18]: 29)
Observatorium al-Azhar kemudian menukil pernyataan Imam Besar al-Azhar Grand Syeikh Mahmoud Shaltout (W. 1963 M) dalam bukunya Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, bahwa Islam tidak memaksa ketika meminta orang untuk mempercayai keyakinannya. Menurut beliau, itu karena sifat iman menolak paksaan, dan keyakinan yang dipaksakan tidak akan terwujud.
Syeikh Mahmoud menambahkan bahwa banyak ayat al-Qur’an menolak pemaksaan dalam agama. Selain yang telah disebutkan di atas, di antaranya adalah ayat,
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS. Yunus [10]: 99)
Observatorium al-Azhar menegaskan bahwa institusi al-Azhar sudah mulai menyoroti serius problem kebebasan beragama karena meyakini bahwa pengakuan atas kebebasan beragama merupakan prinsip luhur agama Islam. Dan perjuangan al-Azhar dalam aspek ini telah mengkristal pada era Imam besar Grand Syeikh Ahmed at-Tayeb setelah memaklumatkan Piagam al-Azhar untuk Kebebasan pada 2012.
Salah satu bunyi Piagam al-Azhar untuk Kebebasan adalah “Kebebasan berkeyakinan dan hak berkewarganegaraan adalah hak semua manusia, dengan berdasar pada prinsip emansipasi hak dan kewajiban. Dan hak ini dijamin secara lugas oleh hukum negara dan teks-teks agama.”
Dengan demikian, Piagam al-Azhar untuk Kebebasan di atas menilai segala paksaan dalam agama, penindasan dan diskriminasi karena agama yang dipeluk seseorang merupakan tindak kejahatan. Setiap individu dalam masyarakat berhak memeluk agama yang dia inginkan, tanpa ada perenggutan atas hak-haknya sebagai warga negara.