Artikel
Al-Madh An-Nabawi, Ungkapan Cinta lewat Sastra
Al-Madh (pujian) merupakan salah satu seni sastra dalam kesusastraan Arab yang sering digunakan oleh para penyair pra-Islam. Dalam sastra Arab klasik (pra-Islam), madh merupakan salah satu jenis puisi penting disamping hija’ (satire), ratsa’ (elegi), dan washf (deskripsi).
Dalam sejarah sastra Arab, penulisan puisi madh kebanyakan didorong oleh vested interest, yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan materi bagi diri sendiri, atau dengan kata lain diperdagangkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika puisi-puisi madh sarat dengan ungkapan yang dilebih-lebihkan (hiperbola atau mubalaghah).
Al-madh an-nabawi merupakan salah satu ragam sastra Arab yang berfokus pada pujian terhadap Rasulullah SAW dengan mengungkapkan kemuliaan adab dan akhlaknya, mengungkapkan kecintaan dan kerinduan untuk melihatnya, mengunjungi makamnya, dan tempat-tempat suci yang berhubungan dengan kehidupannya, menyebutkan mukjizat-mukjizatnya, menuliskan biografinya, memuji penaklukan yang ia pimpin dan sifat idealnya, serta bershalawat untuknya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan.
Dr. Zaki Mubarak mendefinisikan al-madh an-nabawi sebagai sebuah seni sastra: “Ini (al-madh an-nabawi) adalah salah satu jenis puisi yang menyebarkan tasawwf. Ini adalah wujud ekspresi keagamaan dan pintu sastra yang tinggi, karena hanya datang dari hati yang penuh kejujuran dan ketulusan.”
Al-madh an-nabawi murni berbeda dengan al-madh at-taksibi yang ditujukan untuk para sultan, pangeran, dan menteri, karena pujian ini dikhususkan untuk ciptaan terbaik, Rasulullah SAW yang didasari dengan cinta, kejujuran, kesetiaan, ketulusan, pengorbanan.
Baca juga: Mengenal Empat Penyair Rasulullah SAW
Pujian terhadap Rasulullah SAW sendiri dimulai sesaat setelah kelahirannya, ketika Abdul Muthalib mengumpamakan kelahiran Rasulullah SAW dengan cahaya yang terang benderang.
وأنت لمّا ولد أشرقت • الأرض وضاءت بنورك الأفق
فنحن في ذالك الضّياء وفي • النّور وسبيل الرّشد نخترق
Dan ketika kamu lahir, bumi bersinar dan cakrawala bersinar dengan cahayamu
Kita berada dalam terang, dalam cahaya, dan jalan bimbingan yang kita tembus
Salah satu penyair pelopor al-madh an-nabawi pada masa permulaan Islam ialah Hasan bin Tsabit, seorang penyair terkenal di kalangan Quraisy. Pada awalnya, ia berniat untuk menggubah syair untuk menghina Rasulullah, namun seketika ia terkesima saat berjumpa dan bertatapan langsung dengan Rasulullah SAW. Ia memutuskan untuk masuk Islam, mengabdikan hidupnya untuk berjuang bersama Rasulullah SAW, dan menciptakan syair-syair tentang pujian kepada Rasulullah SAW dan perjuangan Islam pada masa itu.
Ka’ab bin Zuhair juga menjadi penyair yang hidup di zaman Nabi dengan karyanya yang terkenal berjudul Bānat Suʿād. Rasulullah mengapresiasi karyanya tersebut dan memberikan jubah hijaunya pada Ka’ab, sehingga puisi ini dikenal dengan sebutan Al-Burdah.
Sepeninggal Rasulullah SAW, Al-madh an-nabawi berkembang pesat dan mengalami perluasan isi, sebagai ekspresi dari rasa cinta, sedih, kehilangan, dan kerinduan kepada Nabi yang telah tiada. Pada sisi lain, Al-madh an-nabawi tidak hanya menyebut-nyebut Nabi yang dihormati dan dicintai, tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan beliau seperti masjid, mushalla, mimbar, Al-Qur`an, dan sebagainya termasuk keluarga (ahlu bait) Nabi. Al-madh an-nabawi juga terus berkembang dengan jenis-jenis yang beragam, mulai dari syair, qashidah, hingga maulid yang ditujukan untuk Rasulullah SAW.
Imam Al-Bushairi adalah penyair yang berkontribusi besar dalam al-madh an-nabawi dan menjadi inspirasi bagi penyair-penyair di masa berikutnya. Ia adalah seorang sufi yang karya-karyanya hadir bagaikan oase di tengah kesedihan umat muslim pada masa Inhitat (kemunduran Islam). Mahakaryanya adalah Al-Kawaakib Duriyyah fii Madhi Khairil Bariyyah yang disebut juga dengan ‘Qasidah Burdah Al-Madiih’ dengan versi yang berbeda dengan milik Ka’ab bin Zuhair.
Karya-karya Al-Bushairi lainnya adalah Qashidah Hamziyyah (427 bait) yang menjadi salah satu karya terbesarnya, Qashidah Mudhariyyah (39 bait) dan Qashidah Muhammadiyyah (15 bait). Hingga saat ini, karya-karya al-madh an-nabawi miliknya terus menyebar luas dan dilantunkan di berbagai penjuru dunia. Sastrawan-sastrawan Arab modern yang juga ikut berkontribusi dalam bidang ini, di antaranya: Ahmad Syauqi, Mahmud Sami’ Al-Baroudi, Hafizh Ibrahim, dan Muhammad Halwi.
Demikianlah cara para sufi dan sastrawan Islam dalam mengungkapkan dan mengekspresikan rasa cinta dan rindu mereka pada Rasulullah SAW. Allahumma shalli alaih wa alaa aalih wa ashabih. Wallahu a’lam bisshawab.
Referensi
- Effendy, Ahmad Fuad. (2002). Sekilas tentang Madah Nabawi dalam Kesusastraan Arab. Dikutip dari https://adoc.tips.com//, pada 21 Agustus 2021.
- Hamdawi, Jamal. (2014). Syi’ir Al-Madh An-Nabawi fii Adabil Arabyi. Dikutip dari https://andalusiat.com/2014/01/16/%d8%b4%d8%b9%d8%b1-%d8%a7%d9%84%d9%85%d8%af%d9%8a%d8%ad-%d8%a7%d9%84%d9%86%d8%a8%d9%88%d9%8a-%d9%81%d9%8a-%d8%a7%d9%84%d8%a3%d8%af%d8%a8-%d8%a7%d9%84%d8%b9%d8%b1%d8%a8%d9%8a/#more-5674, pada 19 Agustus 2021.
- Jalil, Abdul. (2016). Al-Madh An-Nabawi fii Syi’ir Arabiy Al-Hadits wa Al-Mu’ashir. Dikutip dari https://www.nidaulhind.com/2016/12/blog-post_12.html, pada 21 Agustus 2021.
Asal Depok. Alumni Pondok Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor. Sekarang kuliah dan mengambil studi sastra Arab di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Baca Juga
Belajar Nahwu dulu, Balaghah kemudian
05 Nov 2024