Artikel
Bijak dalam Beragama dan Berdakwah
"Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan buat mereka lari." Begitu salah satu pesan Rasulullah saw kepada para sahabatnya.
Pesan itu diterjemahkan dalam aturan syariat yang Nabi Muhammad saw sampaikan selama 23 tahun, kurang lebih.
Artinya, hendak mempermudah, ada syariatnya; hendak mempersulit, ada syariatnya; dan hendak memberi kabar gembira pun ada syariatnya.
Semua kemudahan dan kabar gembira diikat oleh syariat. Karenanya, esensi syariat adalah kemudahan dan kebahagiaan.
Sampai-sampai, para ulama memiliki prinsip, "Jika di sana ada maslahat, maka itu tanda bahwa di sana ada syariat Islam."
Mudah, salah satu cara menandai mana syariat Islam dan mana yang bukan. Lihat saja, ada maslahat atau tidak. Walaupun perlu ada pertimbangan lebih dalam lagi tentang kadar maslahat dan barometer-barometernya kemudian.
Lalu, siapa yang berhak dan bisa menimbang besar kecil maslahat itu? Ulama, seorang yang alim saja yang bisa.
Jika semua orang bisa menimbang maslahat sebagai acuan syariat Islam, maka tidak akan ada bedanya antara orang berilmu dan tidak. Dan kerancuan dalam beragama adalah akibatnya.
Tidak semua orang berhak berbicara syariat Islam. Memang begitu, Islam adalah agama yang berdiri di atas ilmu. Sehingga orang alim yang paham ilmu saja yang akan menjaganya.
Seorang ulama ternama dalam madzhab Maliki, Syekh Zarruq rahimahullah berkata dalam Qawaid Tasawufnya:
على المتكلم في العلم أن يلحق فروعه بأصوله، ويصل معقوله بمنقوله
المتكلم في فن من فنون العلم، إن لم يُلحق فرعه بأصله ويحقق أصله من فرعه، ويصل معقوله بمنقوله، وينسب منقوله لمعانيه، ويعرض ما فهم منه على ما علم من استنباط أهله، فسكوته عنه أولى من كلامه فيه، إذ خطأه أقرب من إصابته، وضلاله أسرع من هدايته.
"Bagi seorang yang hendak menyampaikan agama, hendaknya dia bisa menghubungkan masalah-masalah cabang dengan kaidah induknya, menyatukan antara logika dengan teks-teks al-Quran dan Hadits, dan memahami jembatan antara teks-teks itu dengan maknanya. Jika tidak, maka diamnya lebih baik dari pada berbicara."
Pun orang alim, yang memenuhi syarat menyampaikan agama juga hendaknya bijak. Hendaknya memiliki filter untuk menimbang kembali, apakah kebenaran yang Allah swt. titipkan kepadanya layak untuk disampaikan di waktu tertentu dan kepada orang tertentu atau tidak.
Boleh jadi, sebuah kebenaran yang disampaikan kepada orang yang salah, akan berubah menjadi kebatilan. Boleh jadi, kebenaran yang disampaikan di waktu yang tidak tepat, akan berubah menjadi kebatilan.
Mengutip kata mutiara dari Sayyida Ali radhiyallahu 'anhu:
ليس كل ما يعرف يقال، وليس كل ما يقال حضر أهله، وليس كل ما حضر أهله حان وقته، وليس كل ما حان وقته صح قوله
"Tidak semua yang diketahui harus disampaikan. Tidak semua yang disampaikan, orang layak mendengarnya. Tidak semua orang yang layak, akan mendengar tepat pada waktunya. Dan, tidak semua waktu yang tepat, benar perkataannya."
Begitu kurang lebih kaidah umum dalam menyampaikan agama. Diperlukan kebijaksanaan, karena keilmuan seseorang tidak menjamin kebijaksanaannya.
Kebijaksanaan tidak selalu berbanding lurus dengan keshalihan dan kealiman seseorang. Ilmu itu sebuah berlian, dan kebijaksanaan adalah berlian yang lain. Butuh perjalanan yang tidak sebentar untuk mencapai kebijaksanaan itu.
Asal Cilacap Jawa Tengah. Alumni YPPP Al-Hikmah 2 Sirampog, Brebes. Menyelesaikan S1 di Universitas Al-Azhar dan sekarang sedang menempuh program magister S2 di universitas yang sama, Fakultas Syariah Wal Qanun, Jurusan Siyasah Syar'iyyah. Aktif menjadi imam dan khatib Masjid Sekolah Indonesia Cairo dan Pembina Umum Rumah Syariah Mesir
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024