Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Catatan atas Penolakan Ijasah Pesantren Sebagai Aparat Pemerintah

Avatar photo
33
×

Catatan atas Penolakan Ijasah Pesantren Sebagai Aparat Pemerintah

Share this article

“Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”  
(UU.
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal 3
)

***

Pondok Pesantren adalah salah satu
model pendidikan tertua di Indonesia yang masih terus berlangsung hingga kini. Keberadaan
Pondok Pesantren telah menghiasi model-model pendidikan yang ada, dan ia bahkan
menjadi sebuah sub-kultur dalam sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia.

Pondok Pesantren bukan hanya telah
berusia tua, namun juga telah memberikan sumbangsih nyata dalam perjalanan
bangsa. Di antaranya adalah ia telah mencetak kader-kader pemimpin yang turut
serta mengelola negara dan bangsa ini.

Selain model tertua, Pondok Pesantren
memiliki keunikan yang khas, yakni masing-masing menerapkan kurikulum
sendiri-sendiri — yang berbeda satu sama lain — namun semuanya bermuara pada
kurikulum yang mandiri dan bertanggung jawab. Fokus materi dan kompetensinya
sama, yakni pendalaman khazanah Kitab Kuning. Hingga akhir dekade 90-an, Pondok
Pesantren dengan model seperti ini masih berdiri kuat di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.

Sebelum tahun 80-an, lulusan
pesantren dapat mengakses dunia formal sama dengan lulusan lembaga lain.
Lulusan pesantren dapat melanjutkan kuliah atau melamar pegawai negeri dengan
berbekal ijasah pesantren. Dengan kondisi ini pesantren dapat mempertahankan
corak pendidikan yang dikehendakinya tanpa kehilangan akses ke dunia formal.

Tetapi sejak tahun 80-an, akses pesantren
ke dunia formal mulai berkurang. Bahkan di tahun 90-an ijasah pesantren tidak
lagi dapat diterima di dunia formal kecuali hanya di satu perguruan tinggi
negeri, waktu itu, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perubahan arah kebijkan pemerintah
yang kurang bersahabat dengan dunia pesantren ini, pada akhirnya menempatkan
pesantren pada posisi dilematis. Di satu sisi pesantren ingin mempertahankan
ciri dan karakter khasnya, tetapi di sisi lain pesantren dituntut untuk
melakukan perubahan-perubahan agar dapat diterima di dunia formal.

Tuntutan akses ke dunia formal,
khususnya dari para wali santri, mendorong pesantren melakukan penyesuaian.
Satu per satu pesantren-pesantren yang semula bercorak tradisional mulai
mengadopsi sekolah formal, baik mengikuti kurikulum Kementerian Agama ataupun
Kementerian Pendidikan. Dilihat dari berbagai perubahan orientasinya, Pondok
Pesantren kini bisa dibedakan, secara simpel, menjadi beberapa tipe sebagai berikut:

Tipe 1: Pesantren yang berorientasi
pada pendalaman materi Kitab Kuning, dengan ciri: memiliki kurikulum tersendiri
yang dilaksanakan melalui jenjang pendidikan atau madrasah di dalam internal
pesantren.

Tipe 2: Pesantren yang berorientasi
pada pendalaman materi Kitab Kuning sekaligus juga melaksanakan kurikulum
nasional, dengan ciri: memiliki kurikulum tersendiri yang dilaksanakan melalui
jenjang pendidikan (madrasah) dan juga melaksanakan pendidikan berkurikulum
nasional. Pemondokan santri kedua model pendidikan tersebut dicampur menjadi
satu.

Tipe 3: Pesantren yang secara
bertahap meninggalkan orientasi Kitab Kuning, dan lebih mendalami kurikulum
nasional, dengan ciri: melaksanakan pendidikan berkurikulum nasional total.
Kitab kuning pada tipe ini hanya sebagai materi tambahan.

***

Eksodus pesantren ke sekolah formal
semakin mempersempit habitat pesantren “model lama” yang selama ini menjadi
pemasok ahli agama yang handal dan berkarakter. Ada penilaian bahwa input IAIN
yang dari pesantren model ini lebih “mumpuni” dibanding input yang dari sekolah
formal meskipun berbasis pesantren. Demikian pula pegawai KUA dan pengadilan
agama yang dari pesantren model ini lebih berkompeten dibanding lulusan dari
lembaga lain.

Penilaian ini tidak berlebihan.
Sebab, faktanya pesantren model ini memang lebih memiliki kedalaman pengetahuan
agama dibanding lembaga pendidikan lain. Ironisnya, justru lulusan yang handal
ini tidak memiliki akses untuk memberikan sumbangsih di lembaga-lembaga yang
seharusnya menjadi dunianya. Bahkan untuk menjadi khotib di suatu masjid pun
terganjal persyaratan ijasah formal.

Sejak reformasi pemerintah telah
membuka ruang akomodasi bagi pesantren. Pengakuan terhadap pesantren sebagai
entitas pendidikan dituangkan dalam UU Sisdikanas tahun2003. Dan bentuk
pengakuan itu diatur dalam PP No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan.

Kebijakan ini disambut antusias
oleh kalangan pesantren yang selama Orde Baru terpinggirkan. Beberapa pesantren
segera menindaklanjutinya dengan menyelenggarakan Pondok Pesantren Muadalah.

Selanjutnya, pada periode Presiden
Jokowi, pemerintah bahkan telah mengeluarkan UU Pesantren. Ketika PP No 55
tahun 2007 keluar, untuk sementara waktu, model Pesantren Muadalah dapat
menjawab kebutuhan pesantren: mempertahankan kemandirian kurikulum sekaligus
memperoleh akses ke dunia formal.

Namun bukan berarti tanpa kendala
ataupun resiko. Masih ada tanda tanya besar: apakah PP No 55 Tahun 2007 atau UU
Pesantren merupakan langkah awal pemerintah membuka ruang partisipasi di dunia
formal bagi kalangan pesantren, dan karenanya perlu ditindaklanjuti dan
disempurnakan, atau justru sebaliknya, merupakan bagian dari upaya
menyeragamkan seluruh lembaga pendidikan yang ada di Indonesia dan pada
gilirannya akan menghilangkan kemandirian kurikulum pesantren?

Pada tingkat implementasi,
pengakuan kesetaraan terhadap ijasah Pesantren Muadalah belum sepenuhnya
diketahui atau diterima kalangan non pesantren. Ada banyak peristiwa di daerah
yang menunjukkan hal ini. Sebut saja: santri lulusan Madrasah Aliyah Annuqoyah
Guluk-Guluk ditolak mendaftar menjadi anggota Polri di Mapolres Sumenep dengan
alasan lembaga pendidikannya tidak diakui (2012); dan juga penolakan panitia
Pilkades di Kabupaten Pasuruan yang menolak peserta berijasah pesantren (2019).
Terakhir, di Blora, dimana seorang dianggap “tak layak sebagai perangkat desa”
hanya karena berijasah pesantren.

Sebenarnya,
permasalahan-permasalahan tersebut tak perlu terjadi  jika ada sinergi antara pemerintah daerah
dengan kebijakan pemerintah pusat. Secara ringkas, harus ada beberapa  gerakan untuk menuntaskan permasalahan ini.

Pertama, pemerintah pusat harus
terus mensosialisasikan ide-ide rekognisi negara atas pendidikan pesantren. UU
Pesantren masih harus dibumikan di Nusantara ini agar tidak ada lagi yang
dipandang sebelah mata.

Kedua, pemerintah daerah, sebagai
kepanjangan tangan pemerintah pusat, juga harus memahami semangat pemerintah
pusat untuk rekognisi negara atas pendidikan pesantren. Pemerintah Daerah tak
bisa hanya mengandalkan status legal formal sebuah lembaga pesantren, tetapi
juga memberikan petunjuk-petunjuknya sebagai bagian dari rekognisi itu.

Ketiga, lembaga pesantren harus
lebih terbuka dan aktif untuk menerima umpan dari pemerintah pusat melalui UU
Pesantren. Pesantren yang berjiwa mandiri memang tak butuh pengakuan
pemerintah, tetapi pengakuan yang telah diberikan oleh pemerintah harus
direspon lebih aktif dalam rangka distribusi kader pesantren di berbagai
lembaga milik pemerintah. 

Kontributor

  • M. Luthfi Thomafi

    Pengasuh Pondok Pesantren Al Hamidiyyah Lasem Remban. Dosen STAI Al Anwar Sarang Rembang.