Esai

“Miniatur Indonesia” Dalam Al-Qur'an

27 Jul 2021 01:55 WIB
1807
.
“Miniatur Indonesia” Dalam Al-Qur'an

Minggu-minggu ini saya sedang konsen meneliti dan menulis tentang toleransi beragama. Potret ‘Indonesia Mini’ ini sebagian saya saksikan dan peroleh datanya di kecamatan Kaloran, kabupaten Temanggung. Baik melalui pelaksanaan kegiatan keagamaan yang dilaksanakan semua pemeluk agama, instansi pendidikan Islam yang menerima siswa Budha, jilbab yang digunakan wanita non-muslim dan lain sebagainya.

 Ahmad Syarif Yahya dalam bukunya ‘Ngaji Toleransi’ menyebut masyarakat Kaloran sudah lama memiliki seni keindahan hidup laksana pelangi. Keberagamannya berasal dari perbedaan keyakinan. Bukan ras atau bahasa, karena semuanya adalah suku Jawa yang berkulit sawo matang. Data pada 2017, penduduk Kaloran yang mayoritas Islam berjumlah 36.563 jiwa, disusul umat Budha 7897 jiwa, Kristen Protestan berjumlah 892 jiwa dan Katolik berjumlah 775 jiwa. Mereka hidup rukun, sakinah (damai), mawaddah (saling menyayangi) dan rahmah (tentram).[1]

Dalam Islam, toleransi tidak dibenarkan jika diterapkan pada ranah teologis. Ada batas-batas yang jelas antara muslim dan non-muslim, yaitu aktifitas religiusitas dan spiritualitas. Praktik dalam ranah ini yang dulu pernah ditawarkan Walid bin Mughirah bersama koleganya supaya Nabi menyembah Tuhan mereka selama satu tahun, dan sebaliknya mereka akan menyembah Allah selama satu tahun. Kisah ini yang menjadi sebab turunnya surat Al-Kafirun.

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi umat Islam dalam menjalankan interaksi sosial. Nabi pernah memulai model sistem toleransi bernegara dengan mengundang pembesar Yahudi untuk bermusyawarah dan menghasilkan Piagam Madinah. Sebuah hasil musyawarah mufakat yang oleh pengamat modern dicatat sebagai teks klasik yang mengandung pemikiran canggih dalam mengatasi pluralisme dalam sebuah negara.

Model berinteraksi dalam wadah plurasime telah diterapkan di dalam seni kehidupan masyarakat Kaloran. Sebagaimana yang Nabi contohkan, membangun masyarakat bukan dengan merobohkan tatanan yang sudah ada, namun mendialogkan perbedaan dan permasalahan antar umat beragama sehingga mengikis perselisihan. Toh umat Islam tetap berpegang teguh pada keyakinan dengan shalat, membaca Al-Qur’an, mendengarkan ceramah pengajian, dsb.

Salah satu bentuk toleransi yang dilakukan umat Islam adalah menghindari kata ‘kafir’ saat berkumpul dengan umat non-muslim. Sungguh kata ini menyakiti hati mereka. Walaupun sebenarnya penyebutan itu benar dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an, namun penyebutan kata tersebut tidak tepat tempat dan waktunya. Kata itu akan elegan disampaikan para dai dihadapan umat Islam yang sedang mengikuti pengajian maupun tabligh akbar. Namun kata itu akan terasa ‘sesak’ di hati non-muslim saat disampaikan di pengajian yang pendengarnya plural seperti di desa Getas, Kaloran.[2]

Maka kesadaran terhadap Indonesia yang plural harus ditanamkan di berbagai lini masyarakat. Bukan sekedar pemahaman, namun praktek dalam keseharian ketika menjumpai perbedaan dalam keyakinan, suku, ras, budaya dan bahasa. Hal ini demi menjaga keseimbangan hidup. Dimana masyarakat Indonesia telah lama hidup dan eksis dari keberagaman.

 

Rute Al-Qur’an bagi Seorang Muslim dalam Bertoleransi

Selain memiliki pendirian yang kokoh dalam berakidah, seorang muslim harus memiliki etika yang baik kepada sesama muslim maupun non-muslim. Dalam berakidah, seorang muslim harus totalitas dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya. Hanya agamanyalah yang benar. Akan tetapi dalam bertoleransi, tidak diperkenankan menyebutkan agama lain salah di hadapan penganutnya. Islam mengajarkan untuk santun kepada mereka dengan mengatakan: “Untukmu agamamu”.

Al-Qur’an telah memberikan garis-garis bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya supaya tidak tercampur-aduk keyakinannya dengan toleransi yang kebablasan. Hal tersebut demi mencapai tujuan utama yaitu terciptanya masyarakat heterogen yang harmonis. Maka dibutuhkan toleransi yang bersumber dari ayat Al-Qur’an yang memiliki nilai dan ajaran Islam,[3] di antaranya;

Pertama, Surat Al-Kafirun ayat 1-6. Ayat-ayat ini menegaskan kepada umat Islam untuk bertanggungjawab terhadap keyakinan dan perbuatannya masing-masing. Dalam ayat terakhir yang berbunyi “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” menandakan bahwa masalah akidah adalah tanggungjawab personal. Perbedaan dalam keyakinan bukan untuk saling menjatuhkan, akan tetapi perbedaan bisa dijadikan ajang untuk menumbuhkan rasa hormat tanpa harus mengikuti atau mencampuradukkan dari nilai-nilai dan ajaran masing-masing.

Kedua, Surat al-Baqarah ayat 256 dan Surat Yunus ayat 99. Kedua ayat ini berisi tentang larangan melakukan paksaan dalam menganut agama. Artinya, Islam memberikan kebebasan dalam memilih dan menjalankan keyakinan tanpa adanya paksaan. Karena kehendak, ketetapan dan hidayah (petunjuk) merupakan hak priogratif Allah sebagai yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Pemaksaan akan menimbulkan kesan intoleransi antarumat beragama. Sebaliknya, toleransi yang sejalan dengan Al-Qur’an yang berdasarkan nilai-nilai, ajaran Islam dan takwa kepada Allah akan menciptakan perdamaian antarumat beragama.

Ketiga, Surat Al-An’am ayat 108 dan Surat Al-‘Ankabut ayat 46. Kedua ayat ini mengajarkan umat Islam sebagai langkah konkrit dalam bertoleransi yaitu supaya saling menghormati dan menghargai keyakinan. Melalui surat Al-An’am ayat 108, Allah melarang memaki dan mencela sesembahan non-muslim karena akan berakibat saling melontarkan hina dan terjadi perpecahan antarumat beagama. Larangan ini merupakan bentuk pendidikan toleransi yang diharapkan untuk dilaksanakan dan dijiwai setiap manusia dalam berinteraksi sosial antarumat beragama.

Kemudian turunnya surat Al-‘Ankabut ayat 46 untuk membenarkan seluruh kitab samawi yang diturunkan; Taurat, Zabur dan Injil yang diimani kaum Nasrani dan Yahudi. Membenarkan dalam artian menghormati dan menghargai keyakinan yang mereka anut dengan batasan bahwa kitab-kitab tersebut merupakan firman Allah yang diturunkan sebelum nabi Muhammad namun telah dihapus hukum dan syariatnya saat Al-Qur’an diturunkan .

Keempat, Surat As-Syura ayat 15 dan Surat Al-Mumtahanah ayat 7-9. Ayat-ayat ini mengajarkan umat Islam untuk senantiasa berbuat adil dan baik kepada sesama manusia. Surat pertama berisi tentang anjuran untuk bersikap adil di antara umat manusia walaupun berbeda agamanya. Namun dengan mengedepankan kebenaran dan keadilan dalam menetapkan keputusan.

Adapun dalam surat Al-Mumtahanah ayat 7-9, Allah mempersilahkan umat Islam untuk berlaku adil dan baik terhadap non-muslim selama mereka tidak memerangi jalan Allah dan mengusir orang-orang muslim dari kampung halamannya. Karena peperangan di kampung damai dan pengusiran terhadap penduduk yang telah bermukim lama merupakan bentuk kedhaliman.

Dengan dasar-dasar ini, umat Islam Indonesia hendaknya bisa menjalin interaksi di berbagai level kehidupan masyarakat. Dimana Al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu dalam menjalani kehidupan yang beragam.

Tidak dipungkiri bahwa menyikapi pluralitas tidak semudah membalikkan kedua tangan. Karena setiap masalah yang datang, sewaktu-waktu bisa menjadi ‘bom atom’ apalagi dikaitkan dengan isu keagamaan. Mungkin kita bisa berguru pada masyarakat Islam Kaloran yang telah bergumul dengan semua itu. Mereka mampu memberikan contoh yang baik bagi kita dalam mengharmonisasikan ‘Indonesia Mini’ di kecamatan Kaloran, kabupaten Temanggung. Wallâhu A’lam.



[1] Ahmad Syarif Yahya, Ngaji Toleransi, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017, Hlm. XIII - XIV

[2] Ibid, Hlm. XX

[3] Muhammad Rifqi Fachrian, Toleransi Antarumat Beragama Dalam Al-Qur’an (Telaah Konsep Pendidikan Islam), Depok: RajaGrafindo Persada, 2018, Hlm. 88-92


Andi Luqmanul Qosim
Andi Luqmanul Qosim / 29 Artikel

Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: