Sekilas, frasa “modernitas tasawuf” memang
tampak ambigu. Karena frasa ini mengandaikan tasawuf mengandung modernitas atau
kemodernan. Sementara modernitas sendiri atau kemodernan adalah sesuatu yang
muncul jauh setelah kelahiran tasawuf sebagai paham spiritual Islam. Dalam
pengertian yang populer, modernitas adalah produk era modern. Sedangkan tasawuf
merupakan paham spiritual yang lahir di era Islam Klasik.
Pandangan mainstream terkait modernitas
dan tasawuf juga menunjukkan relasi keduanya yang kontradiktif, meskipun ada
sebagian kalangan yang memandang keduanya bisa bersandingan dengan keyakinan
bahwa manusia modern membutuhkan tasawuf untuk meraih ketenangan jiwa dalam
menjalani kehidupan modern. Adanya kebutuhan manusia modern terhadap tasawuf
bisa dibuktikan dengan banyaknya masyarakat modern, terutama di daerah
perkotaan, yang mengikuti tarekat atau memasuki arus urban sufisme.
Setidaknya ada dua cara pandang dalam melihat
modernitas dan tasawuf. Pertama, ada sebagian orang yang memandang
tasawuf tidak sesuai dengan semangat modernitas karena tasawuf dianggap
memiliki doktrin anti duniawi/zuhūd (Muh. Gitosaroso, 2016). Kedua,
ada sebagian lain yang membela tasawuf dan menolak cara pandang pertama, sebab zuhūd
bukan berarti menolak perubahan zaman di era modern (Ahmad Sidqi, 2015).
Sehingga ada upaya untuk menegaskan tasawuf dan modernitas bisa bersanding atau
tidak saling menolak satu sama lain.
Jika ditelaah, dua cara pandang tersebut
sama-sama menegaskan tasawuf sebagai suatu hal, sedangkan modernitas sebagai
suatu hal yang lain. Salah satunya bukan merupakan bagian dari salah satu yang
lain, atau salah satunya tidak inheren di dalam salah satu yang lain.
Oleh karena itu, ada upaya untuk membangun argumentasi sebagai jembatan antara
tasawuf dan modernitas, sekaligus menegaskan relevansi tasawuf di zaman modern.
Upaya tersebut kemudian melahirkan konsep “tasawuf modern” yang beberapa tahun lalu
cukup populer.
Namun bagaimana jika mengandaikan modernitas
dan tasawuf memiliki spirit yang sama, atau modernitas telah inheren di dalam
tasawuf? Apakah pengandaian ini bisa dimungkinkan? Apakah frasa “modernitas
tasawuf” bisa menemukan maknanya? Tentu dalam hal ini, saya tidak sedang berupaya
mengatakan tasawuf dan modernitas sebagai dua hal yang sama, melainkan sebatas
upaya telusur sederhana dengan cara pandang berbeda terkait fenomena masyarakat
modern memilih jalan tasawuf.
Saya memulai telurus sederhana ini dengan fakta
bahwa tasawuf di zaman kiwari tetap eksis sebagai warna lain dari spiritualitas
manusia modern. Hal ini bisa dilihat dari semakin berkembangnya gerakan tarekat,
seperti tarekat Qadiriyyah, Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Tijaniyyah,
Naqsyabandiyyah, Khalwatiyyah, Tijaniyyah, Syadziliyyah, Mawlawiyyah dan
lainnya, baik dalam skala global maupun lokal. Fenomena urban sufisme juga ikut
mewarnai corak spiritualitas manusia modern. Bahkan urban sufisme dipandang
sebagai bentuk kebangkitan tasawuf di daerah perkotaan (Rosidin, 2009).
Jika mengikuti pandangan mainstream, maka
merebaknya fenomena tarekat dan urban sufisme saat ini menunjukkan bahwa
tasawuf masih relevan di era modern dengan keyakinan bahwa manusia modern
membutuhkannya untuk mengisi kekosongan jiwa yang ditinggalkan oleh modernisme.
Namun saya mencoba menawarkan hipotesis yang berbeda, bahwa fenomena tersebut
bukan sekadar karena tasawuf masih relevan dengan zaman modern, melainkan ada
spirit yang sama dalam tasawuf dan modernitas. Spirit itu ialah spirit
perubahan.
Saya mengambil sampel dari fenomena
salah satu tarekat di Cirebon, yaitu Tarekat Qādiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN)
Astana Gunung Jati. Saya melihat beberapa pengikut TQN Astana Gunung Jati
menempuh jalan tasawuf yang sakral, tapi tetap semangat menjalani kehidupan
modern yang profan dengan segala problemnya yang rumit. Hal ini memberi
gambaran seakan-akan kehidupan modern tidak menjadi momok yang harus dijauhi
secara total oleh mereka. Karena mereka tetap menyatu dengan realitas modern.
Dalam arti lain, mereka tidak menempatkan diri mereka sebagai entitas yang
terpisah dari realitas dunia saat ini (alam semesta).
Dalam doktrin TQN sendiri, saya
menemukan spirit perubahan yang dimaksud di atas, misalnya dalam konsep Tujuh
Tingkatan Lathīfah dan Dua Puluh Tingkatan Murāqabah. Keduanya
merupakan tahapan perubahan spiritual yang dilalui oleh para pengikutnya untuk
menuju kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial (Abdurrochman Asyiqin,
2015). Selain itu, dalam setiap halakah, seorang mursyid tentu memberi wejangan
kepada para peserta halakah untuk senantiasa menata diri; mengubah diri menjadi
pribadi yang baik secara individu dan sosial.
Jika kita melihat kembali sejarah
tasawuf, kita bisa melihat bahwa gerakan tasawuf dalam masyarakat Islam
merupakan salah satu kekuatan yang dinamis. Para sufi membawa semangat
kebaruan, yaitu kreativitas (ibdâ’) dan perubahan dari sesuatu yang lama
menuju sesuatu yang baru (tahawwul min al-Qadīm ila al-Hadīts). Mereka
bergerak menuju totalitas pengetahuan dalam memahami dua dimensi agama yang tak
terpisahkan, yaitu eksoterik dan esoterik atau syariat dan hakikat. Mereka juga
menawarkan sesuatu yang disebut sebagai “prinsip identitas manusia yang berubah”
atau “mabda’ al-Huwiyyah al-Mutaghâyirah” (Ali Ahmad Sa’id, 1979). Mereka
juga mendialogkan antara diri, yang lain (the other) dan realitas
antar budaya yang beragam (Zacky Khairul Umam, 2011).
Bahkan di tengah-tengah kebudayaan Arab-Islam
klasik; di mana kekuatan kaum konservatif mulai menguat, kaum sufi menawarkan
perubahan pemikiran Islam tentang Al-Haqq (Allah) serta memberikan cara
pandang yang baru dalam memahami relasi antara Allah dan alam semesta. Mereka memaknai
relasi antara Allah dan alam semesta sebagai relasi saling berhubungan [ittishāl],
karena alam semesta adalah teofani Allah. Sementara kaum konservatif memahami
Allah terpisah dari alam semesta [infishāl] (Ali Ahmad Sa’id, 1979).
Apa yang ditawarkan oleh kaum sufi pada waktu
itu merupakan perubahan pemikiran dan pengetahuan yang cukup besar dalam tubuh
Islam. Karena menyentuh hal yang paling dasar, yaitu terkait relasi seorang
hamba dengan Allah. Relasi ini pada tataran sosial punya implikasi positif
terhadap relasi manusia dengan yang lain dan alam semesta. Karena dengan
ini, manusia bisa menjalin hubungan baik, penuh kasih dan terbuka dengan
sesama.
Dalam hidup keseharian, tasawuf juga
mengajarkan untuk senantiasa memandang realitas secara utuh, baik dari segi
lahir maupun batinnya. Realitas memiliki dua dimensi, yaitu zahir dan batin.
Dalam tataran batin, pengalaman sufistik tidak pernah jumud dan berpotensi
berubah. Karena seorang sufi berpotensi mengalami perubahan pengalaman sufistik
dari satu maqām ke maqām lainnya, atau dari satu ahwal ke ahwal
lainnya. Selain itu, pengalaman sufistik merupakan pengalaman personal,
sehingga setiap sufi memiliki pengalaman yang berbeda. Dalam arti lain
masing-masing sufi mengalami perubahan pengalaman sufistik yang tidak
sama.
Di sisi lain, spirit perubahan juga
menjadi karakter utama modernitas. Meskipun modernitas memiliki banyak
pemaknaan, tetapi punya satu karakter utama, yaitu kesadaran terkait perubahan.
Oleh karena itu, pembaruan, perubahan, kemajuan, revolusi dan pertumbuhan
merupakan istilah-istilah kunci kesadaran modern (Muh. Gitosaroso, 2016).
Dengan demikian, modernitas dalam
pengertian yang fundamental adalah gerak perubahan (harakah at-Taghayyur)
yang dalam bahasa Arab disebut hadātsah; gerak perubahan dari sesuatu
yang telah berlalu (qadīm) menuju sesuatu yang baru (hadīts).
Modernitas dalam hal ini, tidak dibatasi ruang dan waktu (Ali Ahmad Sa’id,
1980).
Pada titik ini menjadi jelas bahwa modernitas
yang saya maksud tidak dinisbatkan pada modernisme yang lahir di Eropa pasca
era renaisans; yang bertumpu [hanya] pada nalar rasional Eropa. Melainkan
modernitas sebagai gerak perubahan yang terjadi di semua zaman dan dimiliki oleh
seluruh manusia dengan berbagai macam corak epistemologis mereka.
Jika spirit utama modernitas adalah spirit
perubahan, maka modernitas dalam tataran praktis adalah gerak perubahan itu
sendiri. Dan jika tasawuf memiliki spirit perubahan, maka modernitas—dalam arti
gerak perubahan—telah melekat atau inheren dalam tasawuf. Dengan demikian,
relasi antara tasawuf dan modernitas seperti relasi substansi dan aksiden.
Jika tasawuf adalah substansi (jauhar), maka modernitas adalah aksiden
yang melekat padanya (‘ardh). Berdasarkan pengertian ini, frasa
“modernitas tasawuf” bisa menemukan maknanya. Wallāhu A’lam.
Sumber Bacaan
Anis, Muhammad, Spiritualitas di
Tengah Modernitas Perkotaan, Jurnal Bayan, Vol. II No. 4, 2013.
Asyiqin, Abdurrochman, Tarekat
Qādiriyyah wa Naqsyabandiyyah Astana Gunung Jati Cirebon: Ajaran dan Amalan
Keseharian, Cirebon, Yayasan Asyiqin, 2015.
Gitosaroso, Muh., Tasawuf dan
Modernitas: Mengikis Kesalahpahaman Masyarakat Awam Terhadap Tasawuf, Jurnal
al-Hikmah, Vol. 10 No. 1, 2016.
Rosidin, Sufisme Perkotaan dan
Nalar Beragama Inklusif: Studi atas Peran Majelis Jamuro dalam Upaya
Deradikalisasi Gerakan Keagamaan di Surakarta, Jurnal Analisa, Vol. 21 No.
1, Juni 2009.
Sa’id, Ali Ahmad, Fātihah li Nihāyāt
al-Qarn: Bayānāt min Ajli Tsaqāfah Arabiyyah Jadīdah, Beirut: Dār
al-‘Audah, cet. 1, 1980.
———, ats-Tsābit
wa al-Mutahawwil: al-Kitāb
al-Awwal, Beirut: Dār al-‘Audah, cet. ke 3, 1979.
Sidqi, Ahmad, Wajah Tasawuf di Era
Modern: Antara Jawaban dan Tantangan, Jurnal Episteme, Vol. 10 No. 1, Juni
2015.
Umam, Zacky Khairul, Adonis: Gairah
Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab-Islam, Depok: Penerbit Kepik, 2011.