Artikel

Syekh Yusri Jelaskan 5 Nasihat Luqman Al-Hakim dalam Al-Qur’an

16 Jan 2022 06:03 WIB
1481
.
Syekh Yusri Jelaskan 5 Nasihat Luqman Al-Hakim dalam Al-Qur’an Luqman al-Hakim dikaruniai hikmah untuk amar ma'ruf nahi munkar kepada kaumnya. Manhaj beliau sama seperti ajaran para sufi, yaitu konsep Islam, Iman dan Ihsan.

Syekh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani hafidzahullah menjelaskan dalam pengajian tafsir Al-Qur'an bahwa di antara tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad SAW adalah beliau menceritakan kisah-kisah umat terdahulu dengan sangat detail. Mulai dari percakapan dan peran dari masing-masing tokoh, serta apa yang terjadi pada mereka. Padahal jarak antara Nabi dengan mereka terpaut masa sangat jauh, dan mereka bercakap dengan bahasa yang bukan bahasanya.

Di antara kisah yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW adalah sosok Luqman al-Hakim. Beliau seorang ahli hikmah yang berasal dari suku Nubian, tepatnya di kota Aswan. Suku Nubian merupakan salah satu suku tua yang berada di perbatasan negara Mesir dan Sudan.

Sosok Luqman al-Hakim

Menurut pendapat yang kuat, Luqman bukan nabi, akan tetapi seseorang yang telah diberi hikmah oleh Allah SWT, hingga namanya diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai salah satu dari nama suratnya.

Syekh Yusri menambahkan bahwa Luqman adalah seorang yang memiliki kulit hitam seperti halnya mayoritas dari suku Nubian. Beliau dikaruniai hikmah oleh Allah untuk amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan berbuat kebaikan dan melarang perbuatan mungkar) kepada kaumnya. Manhaj atau metode yang beliau pakai sama seperti apa yang diajarkan para ulama tasawuf, yaitu konsep Islam, Iman dan Ihsan.

Allah SWT telah berfirman:

وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ 

“Dan sesungguhnya Kami telah karuniakan hikmah kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia telah bersyukur untuk (kemaslahatan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang kufur (atas kenikmatan Allah) maka sesungguhnya Allah Dzat yang Mahakaya lagi Maha Terpuji."(QS. Luqman: 12)

Hikmah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ajaran tentang Islam, Iman dan Ihsan. Ketiganya adalah kunci kebahagiaan di dunia dan kemuliaan di akhirat.

Konsep Iman Luqman al-Hakim

Konsep iman diajarkan Luqman al-Hakim kepada anaknya, yaitu tentang ketauhidan (Keesaan Tuhan), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: ‘Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, karena sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13)

Ketauhidan merupakan harga mati, yang tidak bisa digantikan oleh suatu apapun dan siapapun, yang harus tetap dipegang erat hingga ajal menjemput. Allah SWT berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Tuhanmu hingga sesuatu yang yakin (kematian) datang kepadamu." (QS. Al-Hijr: 99)

Kemuliaan (karamah) seorang mukmin tidaklah tampak, hingga dirinya meninggal dalam keadaan Islam. Karamah yang hakiki, adalah ketika seseorang meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

Konsep Islam Luqman al-Hakim

Konsep Luqman berikutnya adalah Islam, yaitu berisikan ajaran-ajaran syariat yang bersifat amaliah. Dalam hal ini disimbolkan dengan shalat, yaitu ibadah yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap hamba-Nya melalui para nabi dan rasul-Nya. Inilah yang disebut dengan fikih. Setiap nabi datang membawa syariat yang berbeda dari nabi-nabi lainnya.

Luqman Al Hakim berkata kepada anaknya:

 يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ

“Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan perintahkanlah untuk berbuat kebaikan dan cegahlah dari perbuatan kemungkaran, serta bersabarlah terhadap apa yang telah menimpa dirimu, karena sesungguhnya hal yang demikian merupakan perkara-perkara yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17)

Syekh Yusri menambahkan, bahwa di dalam beramar ma'ruf dan nahi mungkar, pastilah akan menghadapi kesulitan dan rintangan. Semua rintangna yang ada janganlah sampai membuat kita putus asa. Justru kita harus bersabar, karena ini merupakan azimah (kewajiban), dan tidak ada rukhsah (keringanan) di dalamnya.

Di dalam amar ma'ruf dan nahi mungkar, hendaklah sesuai dengan adab yang telah diperintahkan oleh Allah melalui hikmah Luqman al-Hakim. Di antara adab ini adalah tidak memaksakan apa yang kita dakwahkan kepada mereka, akan tetapi kewajiban kita hanyalah sebatas menyampaikan.

Perintah Berbakti kepada Orang Tua walau Kafir

Luqman al-Hakim mengajarkan kepada anaknya, apabila kedua orang tua memaksakan anaknya untuk menyekutukan Allah, maka tidaklah wajib menaati mereka. Namun hal itu tidak menafikan untuk berbuat baik kepada mereka di dunia, bahkan wajib hukumnya.

Allah SWT memerintahkan:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Apabila mereka (kedua orang tua) memaksamu untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka janganlah kamu menaati mereka. Dan berbuat baiklah kepada mereka di dunia." (QS. Luqman: 15)

Allah menggunakan kata shahibhuma yang berasal dari kata shuhbah yang artinya selalu bersama dan tidak berpisah. Dengan kata lain, berbuat baik kepada kedua orang tua yang kafir hukumnya wajib di manapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun.

Karena orang tua merupakan nikmat Allah kepada seorang hamba, yang wajib disyukuri. Mereka adalah sebab kita ada di dunia. Kita wajib berterima kasih kepada mereka dengan berbuat baik kepada mereka. Baginda Nabi SAW bersabda:

 مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ

“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah."(HR. Turmudzi)

Karena besarnya hak kedua orang tua atas anaknya, Allah menyebutkan kewajiban berterima kasih kepada mereka langsung setelah kewajiban bersyukur kepada-Nya. Dalam Al-Qur'an disebutkan:

وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami telah berwasiat kepada manusia terhadap kedua orang tuanya (untuk berbuat baik). Ibunya telah mengandungnya dengan payah di atas kepayahan, dan menyapihnya setelah dua tahun, maka bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu. Kepada-Kulah tempat kembali.” (QS. Luqman: 14)

Allah tidak memerintahkan kepada anak melakukan amar ma'ruf hingga orang tuanya yang  kafir beriman, apalagi dakwah kepada selain orang tuanya.

Berbeda dari orang-orang yang masuk kelompok ISIS, dimana mereka menganggap semua orang adalah kafir kecuali golongan mereka dan menghalalkan darah orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Konsep Ihsan Luqman al-Hakim

Adapun konsep yang ketiga adalah Ihsan, yaitu sulukiat (adab), atau yang biasa dikenal dengan tasawuf (pembersihan jiwa). Luqman al-Hakim memberikan nasihat kepada anaknya tentang beberapa hal. Di antaranya adalah apa yang difirmankan Allah SWT:

وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan jangan pula kamu berjalan di muka bumi ini dengan rasa angkuh, karena sesungguhnya Allah tidak suka terhadap setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)

Syekh Yusri menafsirkan bahwa larangan tidak memalingkan muka dari manusia memiliki dua arti. Yaitu larangan sombong dan larangan tidak merendahkan diri di hadapan orang lain.

Adapun larangan berikutnya adalah seorang mukmin tidak boleh melakukan sesuatu tanpa tujuan yang mulia, sebagaimana Al Qur'an mengungkapkannya dengan kata maraha yang berasal dari kata al-marah yang berarti tempat peristirahan hewan apabila sudah selesai digembala. Hewan notabenenya bermain-main, tanpa ada tujuan ataupun faidahnya. “Kata ini juga mengisyaratkan bahwa jangan sampai kita seperti hewan, yang tidak memiliki tujuan hidup kecuali hanya untuk memenuhi kebutuhan perut dan syahwatnya saja,” tegas syekh Yusri.

Imam Ghazali mengatakan:

مَنْ لَيْسَ لَهُ وِرْدٌ فَهُوَ قِرْدٌ

“Barang siapa yang tidak memiliki wirid maka dia adalah monyet."

Beliau mencontohkan, di antara makhluk Allah yang menunjukan bahwa dirinya tidak memiliki tujuan hidup adalah monyet, yang hanya mengisi kehidupannya dengan makan, syahwat, dan bermain-main, pindah dari ranting ke ranting untuk menghabiskan hari-harinya.

Maka dari itu para ulama tasawuf membebankan kepada para muridnya untuk mengamalkan wirid dan zikir, mengisi setiap waktunya dengan berzikir kepada Allah serta membantu agar senantiasa istiqamah dalam menjalankan tugas ubudiyahnya (kehambaan) melakukan perintah dan menjauhi larangan Tuhannya.

Seorang murid tidak merasa memiliki waktu kosong yang bisa ia gunakan untuk melakukan sesuatu yang tidak ada faidahnya (laghwu). Karena sesungguhnya,  tidaklah setiap nafas terhembus, kecuali ada kewajiban yang harus dilakukan. Dan apabila tidak dilakukan, maka kewajiban itu akan terus menumpuk dan tidak akan pernah bisa untuk diqadhanya. “Waktu tidak akan pernah bisa terbeli, meski kita membayarnya dengan dunia beserta isinya, pesan syekh Yusri.

Berlaku Sederhana dalam Segala Hal

Nasihat berikutnya dari Luqman Al Hakim kepada anaknya adalah sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam (cara) berjalan, serta pelankanlah suaramu, karena sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai." (QS. Luqman: 19)

Syekh Yusri mengatakan, kesederhanaan tidak hanya dalam berjalan, akan tetapi juga dalam semua hal. “Janganlah berambisi untuk menjadi orang yang paling kaya, jangan pula menjual apa yang dimiliki hingga menjadi orang yang paling fakir. Jangan sibukkan diri untuk bekerja setiap waktu sehingga lalai dari Allah, akan tetapi yang sedang-sedang saja," pesan beliau.

Pada ayat tersebut Allah memerintahkan untuk melunakkan atau memelankan suara, dan tidak mengeraskannya, baik ketika belajar, mengajar, mendidik anak, ataupun menasihati. Karena sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai, dimana sangat keras dan juga menunjukkan ia sedang melihat makhluk Allah yang paling buruk, yaitu setan.

Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

“Apabila kalian mendengar suara ayam jago maka memohonlah kepada Allah atas karunia-Nya, karena ia sedang melihat malaikat. Dan apabila kalian mendengar suara keledai maka memintalah perlindungan kepada Allah dari setan, karena sesungguhnya ia telah melihat setan."(HR. Bukhari)

Pada ayat ini, Allah memperingatkan agar jangan sampai suara seorang mukmin keras seperti keledai, akan tetapi lemah lembut dan dengan penuh adab. Allah mencela salah satu sifat keledai, yaitu suaranya. Begitu pula ketika kita mencela atau mengingkari sebuah kemungkaran, maka kita juga hendaknya mengingkari kemungkaran itu sendiri, bukan kepada orang yang melakukannya.

Kita benci kepada kemaksiatan, bukan kepada orang yang melakukannya, karena dia masih dalam satu ikatan tali persaudaraan, yaitu ukhuwah islamiah. Bahkan ketika kita benci kepada orang kafir, yang harus kita benci adalah sifat kekufurannya sedangkan orangnya masih memiliki ukhuwah insaniyah (hubungan kemanusiaan), yaitu sama-sama anak keturunan nabi Adam AS.

Di dalam amar ma'ruf nahi mungkar, kita bermuamalah dengan melihat sifat (perilaku), bukan dengan pribadi seseorang. Apabila tidak demikian, maka kita tidak mengenal Allah. Bahkan iblis sekalipun, kita membencinya karena sifatnya yang menyesatkan, bukan karena ia makhluk yang diciptakan dari api.

Lihatlah Nabi Luth saat berkata kepada kaumnya:

قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ

“Telah berkata Nabi Luth: Sesungguhnya saya termasuk orang yang membenci perbuatan kalian." (QS. As Syu’ara: 168) Wallahu a'lam.

Antony Oktavian
Antony Oktavian / 28 Artikel

Alumni MA Al Hikmah 2 Benda Brebes. Sekarang menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: