Artikel
Syekh Yusri Jelaskan Hakikat Malu dalam Islam
Syekh Yusri Jabr al-Hasani hafidzahullah menjelaskan dalam pengajian kitab Bahjat An-Nufus bahwa slogan orang awam yang mengatakan لَا حَيَاءَ فِى الدِّيْنِ (tidak ada malu di dalam urusan agama) adalah pernyataan yang salah.
Hal ini oleh karena Baginda Nabi SAW sendiri telah bersabda:
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
Yang artinya “semua rasa malu merupakan kebaikan.” (HR. Muslim)
Nabi memuji sifat malu dalam segala hal.
Syekh Yusri menambahkan, bahwa slogan yang benar adalah:
لَا حَرَجَ فِى الدِّيْنِ
Yang artinya “tidaklah ada kesempitan di dalam urusan agama”.
Maksud dari slogan di atas adalah agama tidak melarang atau menyempitkan seseorang dengan melarang untuk bertanya tentang masalah agamanya, meskipun pertanyaan itu adalah sesuatu yang dirasa malu oleh orang-orang ketika ditanyakan.
Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari RA, bahwa Sayyidah Aisyah RA berkata:
أَنَّهَا كَانَتْ تَغْسِلُ الْمَنِىَّ مِنْ ثَوْبِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ أَرَاهُ فِيهِ بُقْعَةً أَوْ بُقَعًا
“Sesungguhnya Aisyah RA telah mencuci mani dari pakaian baginda Nabi SAW, kemudian saya melihat di satu atau beberapa tempat (dari bekasnya).” (HR. Bukhari)
Sayyidah Aisyah RA menyebutkan kata mani, di mana kata itu merupakan sesuatu yang dianggap malu ketika disebutkan sehingga Allah menyebutkan dengan kata yang lebih sopan dalam firman-Nya:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami), dan kalian adalah pakaian bagi mereka .” (QS. Al Baqarah: 187)
Baginda Nabi SAW juga menyebutkan pada haditsnya kata “ عُسَيْلَةٌ” yang berarti “madu” sebagai kinayah dari mani, dimana baginda bersabda kepada istri Rifa’ah RA:
حَتَّى تَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
“Hingga kamu merasakan madunya, dan dia merasakan madumu .”(HR. Bukhari)
Hal ini diperbolehkan, kalau memang darurat. Sayyidah Aisyah RA bertujuan untuk menjelaskan dan menguatkan sebuah hukum Islam, yaitu tentang hukum mani, sebagaimana komentar Abu Jamrah RA pada hadits di atas.
Sifat seperti inilah yang telah dipuji oleh sayyidah Aisyah RA, sehingga menjadi motifasi bagi para sahabat yang lain dan juga menjadi sunnah bagi ummat baginda. Sayyidah Aisyah RA telah memuji perbuatan Asma RA yang bertanya kepada baginda Nabi SAW tentang bagaimana cara bersuci dari haid, lalu iapun berkata:
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَسْأَلْنَ عَنِ الدِّينِ وَيَتَفَقَّهْنَ فِيهِ
“Sebaik-baik perempuan adalah perempuan dari kaum Anshar, rasa malu tidak pernah mencegahnya untuk bertanya tentang urusan agama dan mempelajarinya.” (HR. Bukhari)
Hakikat Malu dalam Islam
Sesungguhnya sifah haya’ (malu) merupakan bagian atau implementasi dari iman, sebagaimana sabda baginda Nabi SAW:
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. An-nasa’i)
Oleh karena itu, sifat haya’ merupakan sifat terpuji, yang hendaknya ditumbuhkan setiap mukmin, sebagai bentuk wujud dari keimanan itu sendiri.
Orang ketika sudah tidak memiliki sifat malu, akan melakukan sesuatu yang tidak terpuji. Entah ketika dirinya sedang berada pada tempat yang sepi, ataupun bahkan ketika berada di keramaian.
Semua ini bergantung kepada keimanan seseorang, yaitu beriman kepada Dzat yang Melihat.
Allah telah berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
“Apakah dia (manusia) tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Melihat?” (QS. Al ‘Alaq:14)
Orang yang tidak memiliki sifat malu adalah orang yang mata hatinya tertutup, sehingga tidak meyakini bahwa Allah melihat serta mengawasinya.
Hal ini sebagaimana sabda baginda Nabi SAW:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara hikmah kenabian pertama yang diketahui oleh manusia adalah apabila kamu tidak merasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki.” (HR. Abu Dawud)
Perbuatan seseorang didasarkan oleh rasa malu yang ada pada dirinya sendiri, yang telah dihasilkan dari keimanannya bahwa Allah adalah Dzat yang Melihat dan Mengawasinya.
Syekh Yusri menyebutkan dalam pengajian kitab Manazil Sairi, bahwa sifat malu merupakan termasuk di antara tingkatan pertama para ahli khusus (orang yang istimewa dalam menempuh jalan Allah), yang dihasilkan dari sifat mengagungkan Allah disertai dengan rasa cinta kepada-Nya.
Sifat malu memiliki tiga tingkatan:
Tingkatan pertama, adalah sifat malu yang keluar dari seorang hamba yang memahami bahwa Allah selalu melihatnya, sehingga sifat haya ini membuat dirinya mampu untuk berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam beribadah, menganggap jelek sesuatu yang tidak terpuji, dan menjadikan dirinya selalu tenang untuk tidak mengadu kepada kepada makhluk.
Tingkatan kedua, adalah sifat malu yang ada pada seorang hamba yang dihasilkan dari pandangan seorang hamba bahwa Allah adalah Dzat yang Mahadekat. Sehingga sifat malu ini mampu mengajak dirinya untuk menjalankan ibadah dengan cinta, mengikatnya dengan ketenangan jiwa bersama kekasihnya, dan menjadikan dirinya enggan untuk merasa tenang dengan makhluk.
Dan tingkatan terakhir adalah sifat malu yang muncul atas dasar syuhud al-hadrah (merasa dan menyaksikan Allah selalu bersamanya), yaitu sifat yang disertai dengan haibah (rasa wibawa), tidak bisa dihadapkan dengan perpisahan, dan hanya menjadikan Allah sebagai tujuan. Wallahu A’lam.
Alumni MA Al Hikmah 2 Benda Brebes. Sekarang menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024