Yang selalu membuat kagum dari guru kami, Habib Abdullah bin Ahmad Al-Jufri, ialah beliau begitu tertata rapi dan detail ketika mengkaji ensiklopedia kitab fikih.
Wawasannya begitu luas dan komprehensif. Tidak heran jika beberapa masyayikh menjuluki beliau “Ifrit”-nya fikih Syafi’i.
Saya sempat bertanya, “Maulana, kitab apa yang perlu diprioritaskan dalam belajar ilmu fikih mazhab Syafi’i sesuai tahapan serta bagaimana urutannya?”
“Ikhlaskan niat lllahi ta’ala serta habibina Al-Musthofa.” prolognya.
Lalu lanjut beliau: sebagaimana yang diajarkan guru-guru kami di Hadramaut, sebagai kitab pembuka adalah:
1. Ar-Risâlah Al-Jâmi’ah karya Al-Habib Ahmad Alawi Al-Habsyi (w. 1144 H) sebagai pengantar memasuki bahasan fikih.
2. Lalu tanamkan dasar kitab Safînah An-Najâh karya Syeikh Salim bin Abdullah bin Sumair. Untuk syarah, beliau biasa menggunakan kitab Nailu Ar-Rajâ’ karya Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiri (w. 1360 H) karena penjelasannya detail.
3. Setelah itu buka Al-Muqaddimah As-Sughra: Al-Mukhtashar Al-Lathîf karya Al-Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (w. 918 H). Kitab ini akan memberikanmu mukaddimah dan mengantarkan pada Al-Muqaddimah selanjutnya, yaitu Al-Kubra.
4. Barulah ke Al-Kubra: Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah karya Al-Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (w. 918 H). Dengan syarah Al-Busyâ Al-Karîm karya Syeikh Said Ba’isyin (w. 1270 H), sebagai syarah paling mutakhir serta merangkum beberapa metode ulama sebelumnya. Syarah ini tidak memiliki Hasyiyah.
Adapun terkait rekomendasi hasyiyah sebagai penunjang dan penambah wawasan, Habib Abdullah bin Ahmad Al-Jufri berkata:
Jika ingin ringkas dan padat, maka baca Hâsyiyah Al-Jarhazi ‘alâ Al-Manhaj Al-Qawîm li Ibnu Hajar Al-Haitami karya Imam Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi (w. 1201 H).
Jika ingin yang luas faidah dan maklumatnya, baca Hâsyiyah At-Tarmasī ‘alā Al-Manhaj Al-Qawîm karya Syeikh Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Manan Dipomenggolo At-Tarmasi – Pacitan (w. 1338 H).
Sementara yang mencakup kumpulan dan pengelompokan perspektif para fukaha terdahulu seperti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Ar-Ramli, Imam Khatib Asy-Syirbini, Imam Asy-Syibramilsi, Imam Az-Ziyadi, dll, maka baca Hâsyiyah Al-Kubrâ ‘alā Al-Manhaj Al-Qawîm [Al-Mawâhib Al-Madaniyah] karya Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi (w. 1194 H).
Ketika mensyarah Muqaddimah Hadhramiyah, beliau banyak menukil dari kitab yang ketiga saking luasnya maklumat yang didapat.
Lalu apa setelahnya?
Beliau mengatakan bahwa setelahnya ialah Matan Abi Syujâ’ dengan syarahnya yang tidak asing, yaitu Fathu Al-Qarîb Al-Mujîb karya Ibnu Qasim Al-Ghazzi (w. 918 H).
Untuk penunjang pada tahapan kitab ini bisa baca Al-Iqnâ’ karya Syeikh Muhammad Khatib Asy-Syirbini (w. 979 H), juga Hâsyiyah Al-Bâjûrī ‘alā Fathi Al-Qarîb karya Grand Syekh al-Azhar Ibrahim Al-Bajuri (w. 1276 H).
Dengan catatan sembari mengkaji kitab Fathu Al-Qarîb dianjurkan juga dibarengi dengan membaca kitab Al-Yâqût An-Nafîs karya Syeikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri (w. 1360 H).
Kemudian Matan Zubad Ibnu Ruslan bisa dipelajari usai Matan Abi Syuja’. Namun Matan Zubad cocok untuk memperkokoh malakah (naluri kefikihan). “Dan yang paling utama untuk ini, harus dihafal!” Tegas beliau. Bukan ahli fikih kalau tidak hafal ini.
Selanjutnya seorang pelajar bisa memilih antara dua: mengkaji kitab ‘Umdatu As-Sâlik karya Ibnu An-Naqib Al-Mashri (w. 769 H) atau mengkaji kitab Fathu Al-Mu’în karya Syeikh Ahmad Zainuddin Al-Malibari (w. 987 H). Keduanya sama.
Untuk hasyiyah atas kitab Fathu Al-Mu’în, yang direkomendasikan oleh guru kami Habib Abdullah Al-Jufri adalah kitab Tarsyîh Al-Mustafîdîn karya As-Sayyid Alawi bin Ahmad As-Saqaf (w. 1335 H). Kitab ini memuat berbagai macam faidah yang tidak didapati dalam kitab I’ânah Ath-Thâlibîn karya Syeikh Abu Bakar Syatho Ad-Dimyathi (w. 1310 H).
Sementara I’ânah Ath-Thâlibîn sendiri, kata beliau, penjelasannya begitu banyak dan terlalu melebar. Seringkali beliau ketika mengisi pengajian merujuk ke kitab Tarsyîh dibanding I’ânah.
Ssetelah itu seorang pelajar bisa memasuki kitab Al-Minhâj [Minhâj Ath-Thâlibîn] karya Imam An-Nawawi (w. 676 H).
Jika semua itu usai terlewati—dengan mutqin atau tuntas—maka dia bisa dikatakan lulus dalam mempelajari ilmu fikih mazhab Syafi’i.
Dalam hal ini beliau mewanti-wanti tentang pentingnya Syaikhun Fattah (seorang guru yang mumpuni) dalam membimbing hingga gerbong akhir fikih mazhab Syafi’i.