Tanya Jawab
Benarkah Azan di Indonesia Tidak Mengikut Mazhab Imam Syafi’i?
Seorang sahabat bertanya tentang isi ceramah seorang ustadz yang beredar di media sosial. Dalam ceramah tersebut, sang ustadz menyebut bahwa azan yang digunakan di Indonesia tidak mengikut mazhab Imam Syafi’i.
Kenapa demikian? Karena lafaz azan yang dikumandangkan para muazin di negeri ini adalah lafaz azan Bilal. Sementara azan yang diakui oleh Imam Syafi’i adalah azan Abu Mahdzurah, bukan azan Bilal. Berangkat dari perbedaan ini, sang ustadz lalu menyimpulkan bahwa: “Kita tidak wajib bermazhab.”
***
Perbedaan antara azan Abu Mahdzurah dengan azan Bilal sebenarnya hanya terletak pada satu poin saja yaitu masalah tarji’. Adapun tarji’ adalah membaca kalimat syahadat secara pelan (sirr) sebelum membacanya dengan suara tinggi.
Kalimat syahadat yang dimaksud adalah kalimat أشهد أن لا إله إلا الله yang dibaca dua kali dan kalimat أشهد أن محمدا رسول الله juga dibaca dua kali. Keempat kalimat ini dibaca secara pelan terlebih dahulu, baru setelah itu dibaca secara keras.
Karena perbedaan ini maka jumlah kalimat dalam azan Abu Mahdzurah adalah 19. Sementara jumlah kalimat dalam azan Bilal adalah 15.
***
Secara umum memang azan yang digunakan di banyak daerah di Indonesia adalah azan Bilal. Tapi ini tidak berarti bahwa azan Abu Mahdzurah tidak digunakan sama sekali.
Sebagian masjid di kampung-kampung masih menggunakan azan Abu Mahdzurah. Hanya saja, karena tarji’ itu dibaca secara pelan sehingga tidak terdengar jelas, apalagi dari kejauhan. Masih ada para muadzin, sebelum membaca kalimat syahadat dengan keras, ia baca dulu dengan pelan. Ini artinya ia menggunakan azan Abu Mahdzurah.
Namun demikian, katakanlah sang muadzin tidak memakai azan Abu Mahdzurah, dan malah menggunakan azan Bilal, apakah itu berarti ia tidak lagi bermazhab Syafi’iyyah? Apakah untuk bermazhab Syafi’iyyah seseorang mesti mengikuti pendapat Imam Syafi’i seorang dan apa adanya, lalu mengabaikan pendapat ulama Syafi’iyyah yang lain?
Ini yang tidak dipahami sang ustadz secara baik dan juga orang-orang yang anti mazhab. Mereka mengganggap bahwa kalau bermazhab dengan mazhab tertentu, berarti mesti ikut seluruh pendapat sang pendiri mazhab. Dari anggapan inilah muncul kesan dan penilaian keliru bahwa bermazhab itu identik dengan ta’ashub (fanatik).
Andaikan saja sang ustadz mau mengkaji mazhab secara lebih objektif dan mendalam, tentu kesimpulan seperti itu tidak akan muncul. Karena sesungguhnya bermazhab tidak berarti mengikuti pendapat pendiri mazhab secara membabi-buta tanpa dikaji kekuatan dalil dan argumentasinya. Maka, bermazhab sesungguhnya tidak identik dengan fanatik.
Para ulama yang datang setelah imam-imam pendiri mazhab, sebenarnya bisa saja membuat mazhab baru, karena banyak dari mereka yang sampai ke derajat mujtahid. Tapi mereka menemukan bahwa ushul yang akan mereka pakai tidak banyak berbeda dari ushul yang telah dibangun secara kokoh oleh para pendiri mazhab.
Kalau demikian, hasrat untuk mendirikan mazhab sendiri sementara pondasi dan akarnya sama dengan mazhab sebelumnya, tentu bisa menjadi nafsu dan syahwat ingin dikenal dan dikenang.
Perhatikan mazhab Hanafiyyah. Meskipun antara Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan dengan guru mereka sendiri Imam Abu Hanifah sang pendiri mazhab terdapat banyak perbedaan, tapi mereka tetap menisbahkan diri pada mazhab imam dan gurunya. Tidak pernah kita mendengar ada mazhab Yusufiyyah atau Hasaniyyah.
Namun demikian, bernaungnya mereka di bawah panji mazhab sang guru tidak menghalangi mereka untuk berbeda dengan sang guru dalam banyak masalah. Kenapa? Karena memang bermazhab itu tidak berarti fanatik dan harus sama seratus persen.
***
Kembali ke masalah azan. Imam Syafi’i memang lebih memilih azan Abu Mahdzurah yang jumlah kalimatnya 19. Tapi ini tidak berarti orang yang menggunakan azan Bilal yang jumlah kalimatnya 15 tidak lagi mengikuti mazhab Syafi’iyyah. Kenapa? Karena memang tarji’ itu sendiri dalam mazhab Syafi’iyyah hanyalah sunnah, bukan wajib.
Imam Nawawi, salah seorang rujukan utama dalam mazhab Syafi’iyyah menulis:
وَهَذَا التَّرْجِيعُ سُنَّةٌ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الَّذِي قَالَهُ الْأَكْثَرُونَ فَلَوْ تَرَكَهُ سَهْوًا أَوْ عَمْدًا صَحَّ أَذَانُهُ وَفَاتُهُ الْفَضِيلَةُ
“Tarji’ ini hukumnya sunnah menurut pendapat yang shahih yang disampaikan banyak ulama. Kalau seorang (muazin) meninggalkannya karena lupa atau sengaja, azannya tetap sah meski memang ia kehilangan fadhilah.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: 3/91)
Apakah Imam Nawawi tidak tahu kalau pendapat Imam Syafi’i dalam masalah ini cukup ‘keras’? Menurut Imam Syafi’i, kalau tarji’ ditinggalkan maka azan tidak sah.
Imam Nawawi tentu tahu hal itu. Tapi Imam Nawawi bermazhab tidak seperti yang dipersepsikan sebagian orang; jumud dengan pendapat pendiri mazhab lalu mengabaikan dalil dan argumentasi yang boleh jadi lebih kuat.
Setelah menjelaskan hukum tarji’ di atas, Imam Nawawi menulis:
قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ نَقَلَ أَحْمَدُ الْبَيْهَقِيُّ الامام عن الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إنْ تَرَكَ التَّرْجِيعَ لَا يَصِحُّ أَذَانُهُ
Al-Qadhi Husein berkata, “Imam al-Baihaqi menukil dari Imam Syafi’i bahwa jika seseorang meninggalkan tarji’ maka azannya tidak sah.”
Perhatikan bagaimana beliau mengomentari hal ini:
وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ جَاءَتْ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ بِحَذْفِهِ مِنْهَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ فِي أَوَّلِ الْبَابِ وَلَوْ كَانَ رُكْنًا لَمْ يُتْرَكْ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي حَذْفِهِ إخْلَالٌ ظَاهِرٌ بِخِلَافِ بَاقِي الْكَلِمَاتِ
“Yang jadi pegangan dalam mazhab adalah yang pertama (bahwa tarji’ itu hukumnya sunnah) karena ada banyak hadits yang tidak mencantumkan tarji’, di antaranya hadits Abdullah bin Zaid yang telah kita kemukakan di awal bab. Kalau tarji’ itu adalah rukun tentu tidak akan pernah ditinggalkan sama sekali. Di samping itu juga, menghilangkan tarji’ ini tidak terlalu berpengaruh, berbeda dengan kalimat-kalimat yang lain.”
***
Bukan hanya masalah tarji’, dalam masalah tatswib juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan Syafi’iyyah. Tatswib artinya membaca الصَّلاةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ setelah kalimat حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ .
Imam Syafi’i memakruhkan membaca kalimat ini dalam azan subuh. Tapi pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafi’iyyah, hal ini adalah sunnah.
Imam al-Baghawi, salah seorang ulama Syafi’iyyah menulis:
والتثويب سنَّة في أذان الصُّبح؛ وهو أن يقول بعد الفراغ من الحيعلتين: الصَّلاةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ مرتين
وكرهه في الجديد؛ لأن أبا محذورة لم يحكه. فمن أصحابنا من جعله على قولين. والصحيح: أنه سنةٌ قولاً واحداً. روي ذلك عن عمر، وابن عمر، وبه قال ابن المبارك، وأحمد. والشافعي إنما كرهه في الجديد؛ لأنه لم يبلغه عن أبي محذورة، وقد ثبت عن أبي محذورة؛ أن رسول الله- صلى الله عليه وسلم- قال له: "فإن كان صلاة الصُّبح، قلت: الصلاة خيرٌ من النوم، الصلاة خير من النوم، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله".
“Tatswib itu sunnah dalam azan subuh, yaitu membaca الصَّلاةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ dua kali setelah hay’alatain. Imam Syafi’i memakruhkan ini dalam qaul jadid, karena Abu Mahdzurah tidak ada menyebutkan lafaz ini. Sebagian ulama Syafi’iyyah ada yang menjadikan hal ini dua pendapatnya. Tapi yang benar adalah tatswib tetap sunnah. Ini sudah disepakati. Ini diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Umar. Ini juga pendapat Ibnu al-Mubarak dan Ahmad. Imam Syafi’i memakruhkannya dalam qaul jadid-nya karena hadits Abu Mahdzurah (mengenai lafaz ini) tidak sampai kepadanya. Padahal ada hadits yang kuat dari Abu Mahdzurah, Rasulullah Saw bersabda padanya: “Kalau (azan) shalat subuh ucapkanlah: الصلاة خيرٌ من النوم، الصلاة خير من النوم، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله.”
***
Di bagian akhir penjelasan, sang ustadz melantukan lafaz azan Abu Mahdzurah. Entah khilaf atau memang demikian yang beliau tahu, azan Abu Mahdzurah yang ia lantunkan berbeda dari azan Abu Mahdzurah yang ada di berbagai riwayat dan yang juga digunakan banyak muazin bermazhab Syafi’iyyah.
Dalam lantunan sang ustadz, kalimat takbir di awal azan dibacanya sebanyak 8 (delapan) kali. Sementara di riwayat yang shahih, dalam azan Abu Mahdzurah, takbir di awal hanya empat kali (dalam riwayat Abu Dawud) atau dua kali (dalam riwayat Muslim).
Adapun yang sampai delapan kali seperti yang dilantunkan sang ustadz, bukanlah azan Abu Mahdzurah (أبو محذورة), melainkan azan Mahdhur (محظور). Mahdhur sendiri artinya terlarang. Wallahu ta’ala a’lam wa ahkam.
Bernama lengkap Yendri Junaidi, Lc., MA. Pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang, kemudian meraih sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.