Artikel
Wujud Cinta Tanah Air
Ketika cinta tanah air adalah cinta yang fitri, maka peran agamalah yang meluruskan, memberi rambu-rambu supaya tidak melenceng. Pada surat At-Taubah ayat 24, Allah menerangkan bahwa cinta kepada komponen-komponen tanah air dan negeri tidak boleh melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain harus berlandaskan cinta dan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Inilah yang dengan tegas dinyatakan oleh Mbah Wahab dalam lagu Ya Lal wathan. Di dalamnya ada diksi hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Artinya dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti ajaran-ajaran-Nya, maka akan menumbuhkan cinta kepada tanah air. Apalagi ketika itu diperintahkan atau mendapatkan apresiasi yang tinggi dalam agama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Barang siapa meninggal karena membela hartanya maka dia mati syahid. Barang siapa meninggal karena membela keluarganya maka dia mati syahid. Barang siapa meninggal karena karena membela agamanya maka dia mati syahid.”
Baca juga: Cinta Baginda Nabi kepada Negerinya: Tinjauan Islam Nusantara
Perjuangan dan pengorbanan untuk tanah air harus berlandaskan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena di samping bisa mengantarkan orang-orang yang berkorban sebagai syahid, juga supaya ketika ada satu atau dua alasan duniawi yang muncul, tidak menjadikan gugur kesyahidan orang tersebut.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Atha Al-Khurrasani. Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai Bani Salamah yang berperang dan mati. Di antara mereka ada yang berperang karena dunia, gelar kemuliaan, dan ada pula yang murni karena Allah SWT. Pertanyaannya, siapa di antara mereka yang mati syahid? Rasulullah SAW bersabda, “Semuanya mati syahid, jika niat awal mereka adalah untuk mengagungkan kalimah Allah (Islam).”
Mendoakan Negeri
Bentuk lain dari wujud cinta tanah air adalah mendoakan kemakmuran negeri. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)
Doa ini ditengadahkan oleh Nabi Ibrahim untuk negeri tempat keluarganya tinggal, yakni Makkah. Kemakmuran yang dimohonkan oleh Nabi Ibrahim tidak hanya terbatas kepada keluarganya tapi kepada seluruh penduduk yang tinggal di dalamnya. Dan ketika beliau hanya memohon untuk orang-orang yang beriman kepada Allah, sebagai bentuk tawaduk, justru Allah menambahi bahwa yang diberi kemakmuran adalah semua penduduk, baik mukmin maupun kafir. Seakan-akan ini menegaskan bahwa kemakmuran yang hanya dinikmati oleh satu segmen masyarakat, meski itu orang-orang beriman, maka tidak akan tercapai kemakmuran dan kesejahteraan hakiki. Cinta pada negeri, berjuang untuk negeri, artinya untuk semuanya. Tidak boleh membatasi satu segmen dari segmen lain dari masyarakat.
Baca juga: Meneladani Nasionalisme Para Nabi
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman orang yang malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.”
Keumuman tetangga dalam hadits ini (tanpa diberi keterangan mukmin atau bukan) juga praktik yang dilakukan oleh Nabi. Perlakuan baik beliau kepada tetangga non muslim menunjukkan bahwa perbuatan baik yang dilakukan di sini adalah karena alasan tempat, negeri tempat kita tinggal, bukan karena alasan yang lain. Inilah wujud yang nyata dari cinta tanah air.
Kendati perbuatan baik bisa dilakukan kepada siapapun dan di manapun, tapi agama mengajarkan agar memprioritaskan orang-orang yang tinggal di mana kita juga tinggal, orang-orang yang menghirup udara yang sama dengan kita, orang-orang yang menikmati hangatnya sinar matahari yang sama dengan kita.
Nama lengkapnya adalah Dr. KH. Muhammad Saifuddin, Lc. MA., seorang doktor lulusan Al-Azhar Mesir yang mendalami ilmu tafsir. Selain mengisi kajian dan seminar, sehari-harinya mengasuh Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang dan mengajar di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024