Maklum kita ketahui bahwa salat maktubah (salat fardu 5 waktu) memiliki waktu khusus. Artinya, kewajiban salat 5 waktu harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan oleh syariat.
Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ dalam surat an-Nisa’ ayat 130:
فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)
Ayat ini memerintah kita untuk salat sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh syariat, baik rukun, syarat, atau waktu pelaksanaan. Dalam konteks pembahasan kali ini, fokus pada waktu pelaksanaan salat. Lebih fokus lagi, artikel ini akan mengulas hukum menunda salat, baik hukum asal menunda salat dan apa saja syarat-syarat sehingga kita diperbolehkan menunda salat.
Jika ditinjau dari sisi kajian ushul fiqih, apabila ada suatu perintah (seperti perintah dalam ayat di atas), maka harus ditinjau terlebih dahulu, apakah perintah tersebut menuntut untuk segera dilaksanakan atau tidak. Ternyata, dalam permasalahan waktu salat, kewajiban salat tidak dituntut untuk segera dilaksanakan. Dalam konteks ini, Imam Syairazi mengatakan:
أن الأمر هل يقتضي الفعل على الفور أم لا …. وجوب الفعل في أول الوقت وجوبا موسعا
Artinya: “Apakah perintah (kewajiban waktu salat fardu) itu segera dilaksanakan atau tidak? … Kewajiban melaksanakan (perintah) salat itu kewajiban yang memiliki tenggang waktu yang luas.” (al-Luma’ fi Ushul Fiqih, karya Imam Abi Ishaq Ibrahim bin Ali Yusuf as-Syairazi, halaman 15—16)
Artinya, ketika waktu salat masuk maka perintah kewajiban melaksanakan salat juga masuk, tapi tidak diperintah untuk segera dilaksanakan. Awal salat Duhur pukul 11:30 WIB, misalnya, tidak harus dilaksanakan pas pukul 11.30. Boleh dilaksanakan pukul 12.00, 13.30, sampai habis waktu Duhur atau masuknya waktu Asar.
Jadi, sesuai dengan kajian ushul fiqih ini, dalam kajian fiqih berkaitan dengan hukum asal menunda salat dijelaskan bahwa hukum asal menunda salat diperbolehkan. Sebab, yang dimaksud kewajiban waktu salat yang sudah ditentukan adalah kewajiban waktunya bersifat luas. Perhatikan uraian Imam Nawawi radhiyallāh ‘anhu dalam kitab Raudhah berikut:
تجب الصلاة بأول الوقت وجوبا موسعا ، بمعنى أنه لا يأثم بتأخيرها إلى آخره . فلو أخرها من غير عذر ، فمات في أثناء الوقت ، لم يأثم بتأخيرها على الأصح.
Artinya: “Salat (fardu) hukumnya wajib sebab masuknya awal waktu dengan kewajiban waktunya yang bersifat luas. Artinya, seseorang tidak berdosa sebab mengakhirkan (menunda) salatnya sampai akhir waktu salat. Jadi, andaikan mengakhirkan salat dengan tanpa uzur sekalipun, lalu dia mati pada pertengahan waktu (waktu salat belum berakhir), maka dia tidak berdosa menurut kaul ashah.”
Namun demikian, walaupun menunda salat hukumnya boleh, tapi ada syaratnya. Syarat ini sering dilupakan atau bahkan cenderung diabaikan. Syarat tersebut adalah ber-azem/niat pada saat waktu salat masuk. Berniat untuk melaksanakannya dalam waktu yang telah ditentukan. Pada pukul 11.30 masuk waktu Duhur, misalnya, maka pada saat itu, bagi kita yang ingin menunda salat atau tidak melaksanakan pada awal waktu, disyaratkan untuk berniat. Misalnya, “saya akan salat nanti pukul 13.00/13.30.” azem/niat ini adalah syarat yang hukumnya wajib bagi seseorang yang ingin menunda salat.
Bagaimana jika tidak berniat? Tentu hukumnya tetap berdosa dari sisi dia tidak melakukan kewajiban berupa niat/azem, bukan dari sisi dia tidak melakukan salat di awal waktu. Berkaitan dengan konsep ini, Imam Nawawi Banten dalam kitab Nihāyatuz Zain mengatakan:
لَكِن إِذا أَرَادَ تَأْخِير فعلهَا عَن أول الْوَقْت لزم الْعَزْم على فعلهَا فِي الْوَقْت على الْأَصَح فَإِن أَخّرهَا عَن أول وَقتهَا مَعَ الْعَزْم على ذَلِك وَمَات فِي أثْنَاء الْوَقْت قبل فعلهَا لم يكن عَاصِيا بِخِلَاف مَا إِذا لم يعزم الْعَزْم الْمَذْكُور فَإِنَّهُ إِذا مَاتَ فِي أثْنَاء الْوَقْت قبل فعلهَا كَانَ عَاصِيا
Artinya: “(Memang diperbolehkan menunda/mengakhirkan salat), tapi bagi seseorang yang hendak mengakhirkannya, wajib ber-azem/niat melaksanakannya dalam waktu salat menurut kaul ashah. Sehingga, jika dia sudah ber-azem, lalu wafat pada pertengahan waktu salat (waktu salat belum habis), maka dia tidak berstatus bermaksiat (karena belum salat). Akan tetapi, jika tidak ber-azem, dia berstatus bermaksiat.”
Senada dengan apa yang dijelaskan Imam Nawawi Banten, yaitu uraian yang ditulis Syekh Zainuddin dalam kitab Fathul Mu’in berikut:
وَاعْلَمْ أَنَّ الصَّلاَةَ تَجِبُ بِأَوَّلِ الوَقْتِ وُجُوْباً مُوَسَعاً فَلَهُ التَّأْخِيْرُ عَنْ أَوَّلِهِ إِلىَ وَقْتٍ يَسَعُهاَ بِشَرْطِ أَنْ يَعْزَمَ عَلَى فَعْلِهاَ فِيْهِ
Artinya: “Ketahuilah bahwa salat (fardu) hukumnya wajib sebab masuknya awal waktu dengan kewajiban waktunya yang bersifat luas. Oleh sebab itu, boleh mengakhirkan salat dari awal waktu (tidak langsung melaksanakan pada saat waktu salat masuk) sampai akhir waktu dengan syarat berazem/niat melaksanakannya dalam waktu salat.”
Kesimpulannya, hukum menunda salat boleh dengan syarat ber-azem saat masuk waktu salat, seperti keterangan di muka. Jadi, praktiknya adalah pada saat waktu salat masuk, kita memiliki dua kewajiban opsional, yakni langsung melaksanakan salat pada awal waktu atau kalau tidak, artinya menunda salat, maka wajib ber-azem. Wajib melakukan salah satunya pada saat waktu salat masuk.
Semoga bermanfaat. Wallāhu `A’lam.