Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tanya Jawab

Bagaimana Hukum Menepuk Pundak bagi Makmum Masbuq untuk Ikut Shalat Jamaah?

Avatar photo
31
×

Bagaimana Hukum Menepuk Pundak bagi Makmum Masbuq untuk Ikut Shalat Jamaah?

Share this article

Ada satu pertanyaan muncul, “Sering kita lihat beberapa orang menepuk pundak seseorang yang ia ingin jadikan imam. Adakah dasar atau anjuran atas hal tersebut dalam syariat?”

Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, baiknya terlebih dahulu untuk memahami 2 poin ini:

1. Hukum niat menjadi makmum (bagi makmum).

2. Hukum niat imamah (bagi imam).

Hukum niat menjadi makmum (bagi makmum)

Tentang hukum niat menjadi makmum, ulama mengatakan bahwa diwajibkan bagi setiap makmum untuk berniat menjadi makmum. Jika tidak, shalatnya tidak dianggap jamaah, akan tetapi furada (sendiri), serta ia tidak mendapatkan fadilah (keutamaan) dari jamaah itu sendiri.

Syekh Said Ba’asyin menerangkan:

واعلم: أن النية القدوة تجب مطلقا في جمعة ومعادة ومجموعة مطر، ولا تنعقد فرادى، والمنذورة جماعة تجب فيها الجماعة، لكن تنعقد فرادى، وأما غيرها .. فإنما تجب على من أراد الاقتداء.

Adapun niat untuk bermakmum itu diwajibkan dalam shalat Jum’at, shalat Mua’dah (mengulang shalat secara jama’ah), dan shalat jama’ takdim karena hujan.

Maka jika tidak berniat makmum dalam 3 shalat ini shalatnya dianggap tidak sah secara mutlak (dikarenakan berjamaah merupakan syarat tuk melakukannya).

Adapun shalat yang dinazarkan untuk berjamaah -jika seseorang tidak berniat makmum- hukumnya sah secara munfarid bukan jama’ah.

Adapun selain 4 macam shalat ini (Jum’at, Mua’dah, Jama Takdim karena hujan, dan Mandzurah) hukum untuk berniat makmum adalah wajib bagi makmum (jika ditinggalkan maka dia tak dianggap berjamaah). (Busyro Karim, 1/347)

Hukum niat Imamah (bagi imam)

Adapun hukum niat Imamah bagi imam adalah sunnah, jika dia meniatkannya maka ia akan mendapat keutamaan jamaah, jika tidak berniat Imamah maka dia tak mendapatkannya.

وأفهم أيضا: أن نية الإمامة لا تجب على الإمام في غير ما مر، بل تسن، ولو نواها في الأثناء .. حصلت له حينئذ.

“Dipahami dari penuturan yang lalu, bahwa niat Imamah tidaklah diwajibkan bagi seorang Imam akan tetapi sunnah. Jika ia meniatkannya -walau di tengah-tengah pelaksanaan shalat- maka ia akan mendapat keutamaan jamaah.” (Busyro Karim, 1/348)

 بل هي مستحبة في حقه، فإن لم ينو فصلاته فرادى

“(Adapun hukum niat Imamah bagi imam) ialah sunnah, jika ia (imam) tak meniatkannya maka shalatnya sah secara munfarid (tak mendapat fadilah jamaah).” (Fathul Qarib, 1/92)

Hukum Menepuk Pundak Imam

Adapun menepuk pundak Imam ataupun mengeraskan takbir hanyalah sebuah cara mengingatkan Imam agar ia tahu bahwa kita hendak bermakmum dengannya, maka ia akan berniat Imamah agar mendapat keutamaan dari jamaah.

Al-Habib Zain bin Sumait menjelaskan:

قال الفقيه الحبيب زين بن سميط ولذلك ينبغي لمن أراد الاقتداء بالمنفرد ان يشير إليه بنحو ضرب كتفه لينوي ذلك المنفرد الإمامة فيحوز فضيلة الجماعة

“Maka oleh karena itu (disunnahkannya niat Imamah bagi imam), dianjurkan bagi orang yang hendak bermakmum dengan seseorang, untuk memberikan isyarat padanya (agar dia tahu, yang dengannya ia akan berniat Imamah) dengan cara menepuk pundak, supaya dia mendapat keutamaan jamaah.” (Syamsun An-Nayyirah)

Kesimpulan:

Menepuk ataupun mengeraskan takbir hanyalah bentuk isyarat atau peringatan kepada seseorang (yang akan dijadikan imam) supaya ia berniat Imamah agar mendapat fadilah dari jamaah.

Maka bagi makmum, jika merasa bahwa imam sudah menyadari akan kehadirannya dengan tanpa isyarat, maka isyarat di sini tidaklah diperlukan (dikarenakan tujuan telah tercapai, yaitu: niat Imamah dari imam).

Maka manakah yang lebih utama, menepuk pundak atau mengeraskan takbir? Kita lihat tingkat kepekaan dari imamnya. Imam yang tingkat kepekaannya rendah, kita beri isyarat dengan menepuk pundaknya.

Perlu diperhatikan juga, untuk menepuk pundak secara pelan (untuk memberi isyarat saja) bukan pukulan keras yang menganggu kekhusyukan imam tersebut serta ketentraman jamaah shalat yang lain. Karena hal ini diharamkan oleh syriat.

  ويحرم على كل أحد ( الجهر ) في الصلاة وخارجها ( إن شوش على غيره ) من نحو مصل أو قارىء أو نائم للضرر 

“Diharamkan bagi setiap orang untuk mengeraskan bacaan (baik bacaan dalam shalat atau diluarnya), jika hal tersebut menganggu ketentraman orang lain, semisal: orang yang sedang shalat, baca quran atau tidur.” (Minhaj Al Qawim, 1/126)

Jika hanya karena bacaan keras yang menganggu ketentraman jamaah shalat yang lain diharamkan, maka lebih utama dengan pukulan pundak yang keras. Wallahu A’lam bis Showab.

Referensi:

1. Busyro Al-Karim, karya: Syekh Said Baa’syin.
2. Fath Al-Qarib Al-Mujib, karya: Syekh Muhammad Qasim Al-Ghozi.
3. Minhaj Al-Qawim, karya: Imam Ibn Hajar Al-Haitami.
4. Asy-Syamsun An-Nayyirah, karya: Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith.
5. Hasyiyah At-Turmusi, karya: Syekh Mahfud At-Turmusi.

Kontributor

  • Muhammad Fahmi Salim

    Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim