Seorang hamba sepastinya bahagia setiap kali menunaikan ibadah kepada Allah SWT. Bukan karena mengejar keinginan pribadi seperti berharap pahala atau terhindar dari siksa, namun lebih karena dirinya sudah ditakdirkan beribadah.
Beribadah kepada Allah memang harus disertai keikhlasan. Bila dibumbui niat selain Allah, ibadah yang dilakukan tidak akan membuahkan keridhaan-Nya.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Artinya, “Allah SWT berfirman, ‘Aku tidak membutuhkan sekutu dan kesyirikan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang dicampuri dengan kesyirikan kepada-Ku, maka Aku akan meninggalkannya bersama kesyirikannya.’” (HR. Muslim).
Untuk meraih keikhlasan, perlu kiranya untuk menata niat. Ibadah dengan niat karena Allah akan sampai kepada Allah. Kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya murni karena Allah kendati Allah sama sekali tidak membutuhkan amal ibadah yang kita lakukan.
Jika hamba sudah meraih derajat ikhlas, niscaya ia akan menerima segala ketetapan Allah atas dirinya. Termasuk apa yang bakal dialaminya di akhirat, apakah akan masuk surga atau neraka.
Keikhlasan mengajarkan seorang mukmin untuk tidak memedulikan kepentingan pribadi, karena motivasi ibadahnya sudah jauh dari sekadar menginginkan surga.
Dalam banyak kitab ulama, ada dikisahkan seseorang yang tekun beribadah dan berpribadi shaleh bertemu dengan seorang wali yang kemudian memberitahunya bahwa dia termasuk golongan yang celaka. Dengan kata lain, dirinya akan masuk neraka di akhirat kelak.
Karena hamba shaleh sudah mencapai derajat ikhlas, kenyataan itu tidak lantas membuatnya berubah. Dia tetap menunaikan ibadah dan kewajibannya tanpa kurang dari biasanya.
Mengapa dia melakukan itu? Karena dia menyadari dia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya yang berhak berbuat sesuatu apapun itu terhadap dirinya. Termasuk memasukkan dirinya ke neraka.
Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi memetik pelajaran berhaga dari kisah ini yang layak untuk kita renungkan. Beliau justru membenarkan apa yang dikatakan oleh hamba shaleh itu.
Bagaimana selayaknya kita menjadi hamba Allah yang sejati? Apa yang harus kita tempuh agar beribadah tidak berharap surga dan takut neraka? Bagaimana kita merasakan Allah begitu dekat dengan kita?
Simak penjelasan Syekh Ramadhan al-Buthi berikut: