Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah Imam Mawardi enggan menerbitkan kitabnya

Avatar photo
32
×

Kisah Imam Mawardi enggan menerbitkan kitabnya

Share this article

Ada banyak orang yang punya prinsip bahwa segala hal yang ia perbuat haruslah semata karena Allah, bukan karena alasan yang lain. Sebab ikhlas adalah intisari dan syarat tunggal diterimanya amal. Jika amal itu fisik, maka ikhlas adalah ruhnya. Tanpa ruh, apalah arti fisik. Apalagi jika ikhlas dikaitkan dengan ilmu.

Ibnu Ajurum harus melempar risalah yang ia tulis dalam Ilmu Nahwu ke sungai untuk menilai ikhlas tidaknya saat ia menulis. Termasuk juga Imam Mawardi (w. 450 H). Sangat produktif menulis, dan kitabnya kemudian tersebar dan menjadi induk di bidangnya. Dalam Ilmu Politik Islam jelas tak bisa mengesampingkan al-Aḫkām as-Sulthāniyyah. Dalam Fikih Syafii, al-Ḫāwī adalah kitab yang sangat penting.

Terlepas dari kontroversi beliau Muktazilah atau bukan, meski Imam Tajuddin as-Subki dalam ath-Tabaqāt al-Kubrā menyatakan dengan tegas bahwa Imam Mawardi tidak Muktazilah murni sebab mengingkari banyak ushul Muktazilah. Dan kita tahu bahwa dalam Islam kealiman dan kesalehan tidak dimonopoli oleh sebagian kelompok saja, dan tidak bagi kelompok yang lain.

Nyaris literatur turas yang mengangkat profil seorang hakim agung tersebut menceritakan sisi kesalehan beliau dalam menjaga hatinya dalam menyampaikan ilmu. Yaitu beliau enggan mengedarkan kitab-kitabnya saat masih hidup, sebab khawatir saat menulis bukan semata Allah.

Semua kitab yang ditulis ia kumpulkan dalam satu tempat, ketika ia merasa kematian kian mendekat, ia berpesan kepada orang yang dipercaya.

“Kitab-kitab yang ada di tempat itu,” beliau menyebut tempatnya, “adalah kitab-kitab tulisanku. Sengaja saya belum mengorbitkannya sebab saya rasa saya tak betul-betul ikhlas dalam menulisnya.”

“Kelak, jika saya sekarat, mendekatlah padaku, dan berikan tanganmu ke tanganku. Jika saat terangkat nyawaku tanganku menggenggam erat tanganmu, maka itu artinya kitab-kitab itu tidak diterima oleh Allah sebab saya tidak ikhlas dalam menulisnya. Angkut kitab-kitab itu dan lemparkan ke sungai Tigris (Dajlah). Namun jika tanganku justru terbuka dan tidak menggamit tanganmu, maka itu artinya kitab-kitab itu telah diterima dan saya telah dengan sangat ikhlas.”

Orang yang ia percaya melaksakan wasiatnya. Saat ajal menjelang di umur 86 tahun beliau membuka tangannya yang artinya keikhlasan yang diharapkannya ternyata ada. Dan disebarknlah kemudian kitab-kitabnya.

Kisah ini, baik di Wafayātul A’yān Ibnu Khalikan (w. 681 H) atau di ath-Thabaqāt al-Kubrā Imam Ibnu As-Subki (w.771 H) dimulai dengan shīghat tamrīdh berupa qīla, yaitu sebuah frasa yang menunjukkan bahwa keotentikan kisah itu masih konon katanya. Sebagaimana kebanyakan kisah yang dituturkan dan sampai pada kita, tapi dikisahkan dengan menghilangkan shīghat tamrīdhnya sehingga seolah menjadi kisah yang otentik.

Karena itulah kisah ini terdengar ganjil, sebab saat beliau masih hidup, kitab-kitabnya sudah sangat populer di masyarakat. Dari keganjilan itu, Ibnu as-Subki memberi komentar, “Mungkin maksudnya adalah kitab beliau yang berjudul al-Ḫāwī.” sebab kitab-kitab yang lain telah lebih dulu familiar. Dengan demikian, kisah itu tidak sepenuhnya tidak berdasar.

Kontributor

  • Alfan Khumaidi

    Alumni Blokagung yang kini berdomisili di Mesir. Meminati kajian keislaman dan aktif di PCI NU Mesir.