Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Penentang tasawuf yang berubah menjadi sufi besar

Avatar photo
43
×

Penentang tasawuf yang berubah menjadi sufi besar

Share this article

Siapa yang tidak mengenal Ibnu Athaillah as-Sakandari? Seorang Sufi besar dari Mesir, penerus tarekat Syadziliyah, dan pengarang kitab al-Hikam yang banyak dibaca di pesantren-pesantren Indonesia.

Melalui karya-karyanya, tarekat Syadziliyah menjadi semakin masyhur di kalangan umat Islam dan berkembang ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Sebut saja al-Hikam, Lathâ`if al-Minan, Tâjj al-‘Arusy al-Hâwi li Tadzhîb an-Nufûs, At-Tanwîr fî Isqâth at-Tadbîr, ‘Unwan at-Taufiq, dan lain-lain. Namun siapa sangka jika Ibnu Athaillah Ketika mudanya begitu menentang ajaran tasawuf?

Ya, anda tidak salah dengar. Hal ini diakui sendiri oleh Ibnu Athaillah dalam kitab Lathâ`if al-Minan. Sebelum menjadi sufi besar Ibnu ‘Atha`illah merupakan seorang penentang ajaran tasawuf. Menurutnya, para sufi terlalu membesar-besarkan hal-hal yang tidak penting, dan melupakan hal yang besar yaitu fikih.

Baginya tidak ada ilmu yang penting kecuali ilmu fikih. Ibnu Athaillah sendiri memang dibesarkan dalam lingkungan keluarga ahli fikih dan tidak banyak mengenal tasawuf kecuali hanya dari kata orang-orang. Kakeknya adalah seorang ulama fikih madzhab Maliki. Oleh keluarganya Ibnu Athaillah diharapkan menjadi penerus dinasti kefakihan sang kakek.

Namun takdir Allah telah membawanya bertemu dengan seorang guru bernama Abu al-Abbas al-Mursi. Pertemuannya ini berawal dari perdebatannya dengan salah seorang murid Abu al-Abbas. Ibnu Athaillah menyatakan kepada murid Abu al-Abbas bahwa tidak ada ilmu yang penting dipelajari selain ilmu fikih, sementara para sufi hanya menyibukkan diri dengan hal-hal remeh dan melupakan hal terpenting dalam syariat yaitu fikih. Murid Abu al-Abbas itu tidak mau memperpanjang perdebatan tersebut dan menyarankan agar Ibnu Athaillah bertemu sendiri dengan gurunya dan mendiskusikan masalah relasi fikih dan tasawuf.

Akhirnya Ibnu Athaillah pun bersedia menghadiri majelis pengajian Abu al-Abbas al-Mursi di kota Iskandariyah, Mesir. Pada kehadiran pertamanya di majelis tersebut, Abu al-Abbas al-Mursi seolah sudah mengetahui bahwa majelisnya hari itu akan dihadiri oleh orang yang menentang ajaran-ajarannya. Padahal Abu al-Abbas sama sekali belum pernah bertatap muka langsung dengan Ibnu Athaillah, dan keduanya belum saling mengenal secara pribadi. Abu al-Abbas al-Mursi di kesempatan itu pun menjelaskan perihal tingkatan seorang hamba dalam mengenal Tuhannya.

Ada tiga tingkatan pengenalan hamba terhadap Tuhannya; pertama, tingkatan Islam, yaitu tingkatan terendah, di mana seseorang baru mengetahui mana yang halal mana yang haram, mana wajib mana sunah, bagaimana seharusnya orang beribadah dan semacamnya. Tingkatan kedua adalah tingkatan iman, yaitu tahapan di mana seorang hamba mengetahui hakikat di balik semua ibadahnya dan segala konsekuensi ‘ubudiyah. Tingkatan tertinggi yaitu tingkatan Ihsan, yaitu di mana seorang hamba menyaksikan Allah swt. di dalam kalbunya dan telah bisa merasakan kehadiran Tuhan di setiap sendi kehidupannya.

Mendapatkan penjelasan seperti itu untuk pertama kalinya, Ibnu Athaillah pun tergugah hatinya untuk mengenal ilmu tasawuf lebih dalam. Ia pun memutuskan hadir kedua kalinya di majelis Abu al-Abbas al-Mursi. Di pertemuan keduanya, Ibnu Athaillah berkesempatan masuk ke ruang pribadi Abu al-Abbas dan dijamu dengan penuh keramahan oleh Abu al-Abbas al-Mursi. Hal ini sampai membuat Ibnu Athaillah merasa malu dan tidak pantas diperlakukan dengan begitu terhormat oleh orang yang ajarannya ia tentang selama ini.

Ibnu Athaillah pun berkata, “Demi Allah, aku sangat mencintaimu Syeikh.”

Abu al-Abbas al-Mursi menjawab, “Perbuatan yang harus kita lakukan di dunia itu cuma empat. Pertama, bersyukur ketika mendapatkan nikmat, kedua, bersabar ketika mendapatkan musibah, ketiga mempersaksikan anugerah Allah ketika kita sedang taat menjalankan syariat-Nya, dan keempat, segera bertobat jika kita terlanjur melakukan maksiat.”

Seketika segala kegundahan hati Ibnu Athaillah selama ini tentang masalah relasi fikih dan tasawuf sirna tak tersisa. Ia menggambarkan hilangnya kegelisahan itu bagaikan orang yang beranjak dan pakaiannya tanggal dari tubuhnya. Setelah itu Ibnu Athaillah as-Sakandari pun mantap menempuh jalan tarekat melalui gurunya Abu al-Abbas al-Mursi, dengan tetap mengajarkan ilmu-ilmu fikih kepada umat Islam di Mesir.

Wallahu a’lam bish shawab.

Disarikan dari kitab Latha`if al-Minan.

Kontributor

  • Zulfahani Hasyim

    Alumni Universitas al-Azhar Mesir. Suka menerjemah kitab-kitab klasik. Sekarang tinggal di Banyumas Jawa Tengah.