Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Madinah dan Harmonisasi Semangat Keagamaan-Intelektual

Avatar photo
29
×

Madinah dan Harmonisasi Semangat Keagamaan-Intelektual

Share this article

Fenomena
kemalasan
intelektual
yang dibungkus dengan semangat keagamaan menjadi hal yang
menarik untuk dibahas, setidaknya untuk masa sekarang ini. Misalnya, beberapa
hari yang lalu terjadi penyerangan di Mabes POLRI oleh seseorang yang mendaku
dirinya sebagai seorang
jihadis.

Lucunya
adalah isi dari secarik surat yang dibawa oleh pelaku ini. Konsep-konsep
pemahaman Islam yang tidak didasari dengan keilmuan akan berimbas pada
kesalahpahaman memahami ajaran agama Islam itu sendiri. Tidak ayal, orang-orang
yang memakai kacamata intelektual akan tertawa terbahak-bahak setelah membaca
isi surat pelaku ini.

Tak
hanya tertawa terpingkal, di sisi lain mereka juga dirundung kekhawatiran
terhadap generasi-generasi berikutnya—yang bukan tidak mungkin—akan terjadi hal
serupa atau bahkan lebih parah lagi.   

Problematika
di atas, sudah semestinya harus diselesaikan dari akarnya. Dalam hal ini adalah
ilmu pengetahuan; memahami ajaran Islam dengan dasar ilmu pengetahuan terkait.

Atas
dasar ini, saya hanya akan mencoba menampilkan dua hal yang akan mejadi sangat
‘luar biasa’ bila digabungkan, boleh jadi dua hal ini menjadi sesuatu yang
sedang dirindukan oleh umat islam itu sendiri: shaleh ritual (agama) dan shaleh
intelektual. Keduanya bisa saling berkolaborasi secara epik. Sampel yang akan
saya ambil adalah
kota
Madinah
.       

Madinah
adalah satu dari sekian kota yang mengalami perkembangan pesat keilmuan Islam
pasca Nabi hijrah. Selain itu, banyak penduduknya yang memiliki semangat
keagamaan yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya mereka yang ingin
bertetangga dengan Nabi Saw. agar bisa menimba ilmu dan beribadah secara
langsung bersama beliau.

Sesudah
Nabi Saw. wafat, kota ini menjadi pusat pemerintahan Khulafâ’ al-Râsyidîn.
Khalifah kedua: Umar bin Khatab Ra penah memberi kebijakan terkait masalah
penempatan para tawanan perang di Madinah. Kebijakan tersebut memberi dampak
yang sangat besar bagi kota ini.

Para
tawanan perang tersebut kebanyakan orang-orang Persia dan Romawi kelas atas
(aristokrat). Mereka masuk Islam dan membawa pemikiran-pemikiran bangsanya.
Ajaran-ajaran Islam yang sudah mereka dapatkan pun dikemas dan dikombinasikan
dengan pemikiran masing-masing, hingga lahirlah berbagai diskursus keilmuan
baru yang belum ada sebelumnya. Selanjutnya mereka tuangkan kedalam berbagai
buku.

Fenomena
pembukuan berbagai diskursus ilmu ini tidak dijumpai di Makkah, sehingga
Madinah pada saat itu dapat dikatakan lebih unggul dalam bidang keilmuan
dibandingkan Makkah. Sampai-sampai para muhajirin yang dulunya orang Makkah
enggan balik lagi ke tanah kelahiran mereka dengan alasan di Madinah banyak
dijumpai berbagai keilmuan yang melimpah.        

Sebelum
Islam datang, Madinah tidak begitu ‘wah’ bila dibandingkan dengan Makkah.
Jangankan ilmu agama, keilmuan sastra yang menjadi primadona bangsa Arab saat
itu pun kurang banyak didengar. Berbeda dari Makkah yang sedari dulu banyak
melahirkan para penyair ulung.

Namun
siapa sangka seiring berjalannya waktu, perlahan Madinah mengalami perubahan
yang signifikan. Di masa permulaan Islam hingga masa Khulafâ’ al-Râsyidîn,
kota ini tidak hanya dikenal sebagai kota dengan segudang ilmu pengetahuan
Islam maupun sastra, bahkan masyarakatnya tergolong memiliki semangat keagamaan
yang kuat. Semangat keagamaan yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu yang
menjauhkan nilai-nilai toleransi, akan tetapi justu sesuatu yang membawa spirit
toleransi itu sendiri.

Berbicara
mengenai semangat keagamaan, konotasi makna yang ditimbulkan di era modern saat
ini cenderung dibenturkan dengan nilai toleransi. Misalnya seseorang dianggap
memiliki semangat keagamaan yang tinggi ketika ia rajin beribadah seperti
salat, puasa, zikir, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan Islam, ibadah yang
semacam ini disebut dengan ibadah mahdlah.

Sebenarnya
anggapan seperti ini tidak masalah, yang menjadi masalah adalah ketika semangat
keagamaan dijadikan tempat berlindung dari kemalasan intelektual. Seorang
dengan semangat keagamaan tinggi dan mengesampingkan intelektual akan berdampak
pada lahirnya agama yang tekstualis bukan kontekstualis. Dan imbas yang
ditimbulkan bisa dilihat sendiri akhir-akhir ini, pengatasnamaan jihad yang
salah kaprah. Atas dasar ini, orang yang shaleh secara ibadah digambarkan
sebagai sosok yang sempurna dan lebih baik daripada yang lain, meskipun secara
intelektual lemah.

Kajian-kajian
agama di Madinah didekati dengan lintas disiplin: historis, sosiologis, dan
literari. Pendekatan historis dibuktikan dengan lahirnya fikih Umar bin Khattab,
dengannya kita dapat memahami bagaimana suatu konsep agama berkembang dari masa
ke masa, lalu muncul setelahnya keilmuan-keilmuan seperti Ushul Fikih, ilmu Tafsir,
ilmu Mushthalah Hadis, dan lainnya.

Pendekatan
sosiologi dibuktikan dengan lahirnya ilmu Faraid (ilmu tentang pembagian
warisan) oleh Zaid bin Tsabit. Pendekatan literari dibuktikan dengan sastra
Hasan Bin Tsabit, dengannya kita dapat memahami formasi teks tertentu. Kemudian
muncullah ilmu Balaghah sebagai sebuah pisau analisis terhadap keindahan ayat
Al-Qur’an dan penelusuran maknanya lebih dalam.

Dengan
beberapa pendekatan ini, peluang terjadinya penyalahartian terhadap ajaran
agama Islam akan semakin menyempit. Menyadarkan masyarakat awam tentang hal ini
sangat diperlukan dan harus senantiasa digalakkan.   

Madinah,
sebuah kota dengan seabrek keilmuannya, telah membuat orang yang datang ke sana
tidak akan merasa kering dengan nuansa intelektualnya. Ditambah lagi,
penduduknya yang senantiasa antusias terhadap keilmuan dan semangat keagamaan yang
tinggi menjadikan kota ini mampu menciptakan ruang harmonisasi antara keagamaan
dan intelektual. Adakah wilayah ataupun negara dengan latar belakang agama
Islam di masa modern sekarang ini yang benar-benar menciptakan ruang
harmonisasi antar keagamaan-intelektual?

 

Kontributor

  • Ahmad Khikam

    Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Penyuka sastra Arab, pecinta kaligrafi