Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Imam Malik dan orang-orang yang menangis ketika menyebut Rasulullah

Avatar photo
58
×

Imam Malik dan orang-orang yang menangis ketika menyebut Rasulullah

Share this article

Salah satu murid Imam Malik, Mus’ab bin Abdullah (w. 236 H) bercerita: Jika Imam Malik (w. 179 H) sudah mulai menyebut Rasulullah, kulitnya akan menguning, dan di beberapa waktu, beliau akan menangis dengan tangisan yang begitu keras.

Orang-orang yang hadir di sekitar Imam Malik merasa sedikit terkejut atau terasa aneh, hingga suatu waktu beliau ditanya, kenapa keadaan beliau seperti itu?

Imam Malik menjawab: Seandainya anda melihat apa yang pernah aku lihat tentu kalian tidak akan merasa aneh, apalagi sampai mengingkari keadaanku saat ini (karena ini hal yang biasa, yang bahkan dialami banyak orang).

Aku pernah melihat Muhammad Al-Munkadir (w. 130 H), gurunya para ahli Qira’at di masa itu, seringkali jika ia ditanya tentang sebuah hadits, pasti beliau akan menangis hingga para muridnya merasa kasian.

Aku juga pernah melihat Sayyid Ja’far al-Shadiq (w. 148 H), yang begitu terkenal dengan orang yang murah senyum dan begitu ramah, namun setiap kali nama Rasulullah disebut, ia pasti kehilangan kendali dan menangis dan terus menangis.

Aku juga pernah melihat Abdurrahman bin al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Al-Shiddiq (w. 126 H), yang setiap kali mengingat Rasulullah mukanya akan memerah, dan lidahnya mengering; tidak mampu berucap apapun karena terbayang wibawa Rasulullah.

Aku juga pernah mendatangi Amir bin Abdullah bin Zubair (w. 124 H), orang yang jika disebut Rasulullah di sisinya pasti akan menangis hingga kering air matanya, tidak mampu lagi mengeluarkan air mata, yang jika keluar, justru darahlah yang akan keluar dari matanya.

Aku juga pernah melihat Al-Zuhri (w. 124 / 123 H), orang yang begitu tenang dan kalem, tapi jika sudah disebut Rasulullah, ia akan menangis, seolah kamu tak lagi mengenal dia siapa dan ia tak lagi mengenalmu lagi, sakin dahsyatnya tangisan rindu beliau.

Membaca kisah yang seperti ini, kita yang terbiasa hidup di lingkungan yang serba kacau pasti akan mengatakan “Ah, itu paling di masa lalu. Mereka dekat dengan masa Rasulullah, jadi wajar saja jika kerinduan mereka begitu dalam”, tapi bukankah kita yang seharusnya lebih merindu karena masa kita yang begitu terlampau jauh?

Dua abad sebelum masa ini, ada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penulis kitab maulid yang begitu di kenal dengan nama Simthud Durar. Habib Jindan bin Nauvel bin Salim bin Jindan, pada salah satu ceramahnya pernah memberikan gambaran tentang betapa dalamnya kerinduan Habib Ali Al-Habsyi kepada Rasulullah.

Kata Habib Jindan, “Pada diri kalian ada sebuah gelas yang ukurannya berbeda-beda. Tergantung kesiapan dan adab. Habib Ali Al-Habsyi memiliki gelas yang begitu besar yang telah terisi dengan rahasia cinta kepada Rasulullah, dan apa yang tertulis dalam Simthud Durar itu hanyalah tetesan yang tumpah dari gelas cinta tersebut.” (saya riwayatkan dengan makna)

Satu abad sebelum ini, ada Syekh Yusuf bin Ismail Al-Nabhani, seorang ulama yang dijuluki sebagai perindu sejati kepada Rasulullah. Semua hidupnya dihabiskan untuk berkhidmat kepada Rasulullah melalui karya tulis yang hingga kini tersebar luas. Sebut saja kitab Wasail al-Wushul ila Syamail al-Rasul dan Sa’adatu al-Darain fi al-Shalah ‘ala Sayyid al-Kaunain yang hingga kini masih dibaca.

Cahaya warisan para sahabat dalam mencintai Nabi masih terus diwariskan hingga saat ini, bahkan cahaya itu sebetulnya ada di diri kita sendiri, cuman karena berbagai penghalang, cahaya itu terpendam dan perlahan padam. Duduk bersama orang yang memiliki cahaya lebih terang akan menjadikan cahaya pada diri kita menjadi lebih terang.

Jumat, 03 Juni 2022.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.