Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Apa Itu Jisim?

Avatar photo
47
×

Apa Itu Jisim?

Share this article

Diskusi apa pun yang tidak berangkat dari kejernihan terma akan
berakhir dengan perdebatan kusir. Dan apa yang Anda bayangkan dari diskusi
semacam itu? Ya, kekolotan yang luar biasa konyol.

Sampai sebelum buku Being and Knowledge terbit,
sebetulnya saya malas menanggapi perdebatan semacam itu. Tentu karena
perdebatan itu coba saya hadirkan secara jernih dalam buku saya yang belum
terbit. Termasuk di antaranya adalah terma jisim.

Apa itu jisim? Jisim berasal dari bahasa Arab yang berarti
tubuh. Bahasa filsafatnya adalah korporea. Bahasa Indonesia menyerap bahasa
Arab, sehingga ketika kita berbicara jisim, dalam bahasa kita, kita berbicara
jasmani. Paling tidak ada tiga definisi:

(i) Jasmani adalah benda material yang dapat diketahui dengan
indra dan terletak di suatu tempat.

(ii) Jasmani adalah substansi yang tersusun dari materia dan
forma.

(iii) Jasmani adalah segala sesuatu yang memiliki tiga dimensi
berupa: panjang, lebar, dan tinggi.

Sebenarnya masih ada lagi definisi jasmani yang diambil dari
Suhrawardi, yakni segala sesuatu yang dapat ditunjuk dengan isyarat indrawi;
hanya saja ini sama dengan definisi pertama yang diajukan di atas.

Setelah kita tahu apa itu jasmani, sebetulnya ketika kita
menunjuk sesuatu, di waktu yang sama kita sedang melekatkan sifat jasmani ke
sesuatu tersebut. Jasmani itu x, ia tidak punya eksistensi dalam realitas. Ia
adalah konsep yang menjadi sifat dari realitas eksistensial.

Tentu kita masih ingat pohon Porphyry. Pertanyaan Porphyry
berkisar pada: apakah genera atau genus dan spesies ada dalam dirinya sendiri
atau hanya ada dalam pikiran kita? Genus dan spesies itu tidak ada dalam
realitas. Yang ada dalam realitas adalah pohon ini, jeruk itu, manusia ini,
hewan itu, dan seterusnya. Oleh sebab itu, suatu X ini bisa diisi benda apa pun
yang sesuai dengan definisi yang dimaksud.

Yang lantas jadi perdebatan di antara punggawa telogi atau kalam
adalah: apakah Allah itu jisim? Pertanyaan ini tidak ada dalam tradisi syariat.
Betul, kita harus mengakui fakta ini meskipun akan banyak yang kita tabrak:
ilmu kalam beserta perdebatan yang ada di dalamnya.

Islam secara umum dan kitab suci secara khusus mengajarkan soal
tanzih, yaitu upaya penyucian Allah dari sifat-sifat kekurangan. Kita sering
mendengar ayat “Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya,” (QS.
Asy-Syura:11) sebagai ayat tanzih. Ayat ini diperkuat dengan ayat lain
misalnya: “Apakah dzat yang menciptakan sama dengan seseorang yang tidak
menciptakan?”
(QS. An-Nahl:17).

Tetapi selain ayat-ayat tanzih, kita juga sering mendengar ayat
tasybih (antropomorfisme). Bahkan tanzih dan tasybih terhimpun sekaligus dalam
satu ayat, yakni Asy-Syura:11 di atas: “Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
Dalam disiplin logika, dua proposisi ini disebut: negasi dan
afirmasi.

Jika pertanyaan apakah Allah itu jisim tidak ada dalam tradisi
syariat, maka jawaban bahwa “Tuhan bukanlah jasmani dan bukan pula bersifat
jasmaniah” juga tidak ada dalam syariat. Kenapa demikian?

Kita perlu menyelidiki jenis pertanyaan di atas. Pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan tentang esensi. Esensi adalah makna yang terpikirkan dari
sesuatu. Dalam tradisi logika, pertanyaan itu adalah pertanyaan soal ‘Ma Hiya’,
atau Apa Itu?—diambil dari Yunani, yaitu ‘quid est’ atau kuiditas.

Pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan soal identitas yang
hanya mungkin dijawab dengan definisi esensial. Jawaban soal identitas harus
dilepaskan dari relasinya terlebih dahulu. Kita harus bertanya: (i) apa itu
jasmani, dan (ii) siapa itu Tuhan? Kita sudah mendapatkan definisi jasmani,
lalu apa atau siapa itu Tuhan? Di sinilah letak masalahnya.

Syariat mengajari kita untuk tidak menyentuh wilayah esensi
Tuhan. “Berpikirlah soal ciptaan Allah dan jangan berpikir soal (esensi)
Allah”
adalah adagiumnya. Kalau kita tidak bisa menyentuh wilayah esensial
Tuhan, maka jawaban negatif (Allah bukan jasmani) adalah jawaban yang tidak
masuk di akal semua orang. Banyak orang yang menganggap bahwa yang bukan
jasmani sama saja tidak ada. Apakah syariat abai dengan jenis orang semacam
ini? Tidak. Syariat menyentuh semua lapisan, baik intelektual maupun awam.

Pertanyaan soal esensi atau kuiditas Tuhan adalah pertanyaan
yang menyentuh dimensi Ama’ (saya jelaskan secara rinci dalam Being and
Knowledge
). Ama’ adalah dimensi yang tak-diketahui kecuali oleh Tuhan itu
sendiri.

Dalam dimensi ini kita, sang makhluk daif ini, hanya mungkin
mengatakan satu hal afirmatif: Allah itu wujud. Jika dimensi ini tak diketahui,
maka tak ada pertanyaan yang dapat menyentuhnya, tidak juga jawaban yang
berusaha menyentuhnya. Lantas apa yang mungkin ditanyakan dari Tuhan? Dan
jawaban apa yang mungkin diberikan perihal ini?

Kita harus menjawabnya berdasarkan dua dimensi setelah dimensi
Ama’, yakni dimensi Uluhiyyah dan Rububiyyah. Dimensi Ama’ adalah domain bagi
dzat Tuhan, dimensi Uluhiyyah adalah domain bagi sifat dan nama Tuhan, dan
dimensi Rububiyyah adalah domain bagi tindakan Tuhan.

 Inilah yang diajarkan
syariat kepada kita. Apa jawaban syariat ketika ditanya soal Allah: “Dia
adalah Allah yang esa”
(QS. Al-Ikhlash:1)—inilah domain sifat. Apa lagi?
Allah adalah “Pemilik kerajaan langit dan bumi” (QS. Ali
Imran:26)—inilah domain nama. Apa lagi? Allah adalah “Tuhanku yang maha
menghidupkan dan mematikan”
(QS. Al-Baqarah:258)—inilah domain tindakan.

Tetapi tersisa satu hal: bagaimana dengan jawaban “Allah adalah
cahaya langit dan bumi?” (QS. An-Nur:35). Bukankah itu jawaban kuiditas yang
menyentuh dzat Tuhan? Inilah jawaban syariat yang paling menggetarkan. Jawaban
ini menyentuh semua kalangan. Tak ada yang tertinggal satu gelintir pun.

Orang awam, yang tidak bisa membayangkan eksistensi kecuali yang
terindra, akan dapat menerima jawaban afirmatif ini tanpa interpretasi. Bahwa
cahaya adalah sebab bagi penampakan segala wujud. Tanpa cahaya, apa yang dapat
diketahui? Tanpa cahaya, apa yang bisa diraih? Tanpa cahaya….

Singkatnya: tak ada yang merasa jawaban syariat itu
mengawang-awang dan spekulatif. Jawaban syariat seperti bawang merah, tiap
lapisan memiliki lapisan yang lain, sehingga ketika kita sampai di lapisan
terakhir, kita hanya menemukan kekosongan. Apa itu kekosongan? Kedaifan,
kelemahan, dan ketercengangan kita di hadapan haribaan ilahi. “[Tuhan],
buatlah aku semakin bingung pada-Mu,”
begitu Nabi berdoa.

 

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.