Syekh Ahmad Abdul Ghafur mengartikan mu’jam sebagai sebuah kitab yang mengumpulkan sebanyak mungkin kata-kata bahasa Arab yang disertai dengan penjelasan singkat maknanya dan disusun dengan susunan, baik disusun sesuai huruf Hijaiyah atau sesuai dengan tema tertentu.
Bagian terpenting dari mu’jam, setelah dikumpulkan katanya dan dijelaskan maknanya adalah menguatkannya dengan berbagai dalil, biasanya dalil diambil dari al-Qur’an, kemudian hadits, kemudian syiir-syiir bahasa Arab.
Dalil ini merupakan komponen yang sangat penting dari mu’jam. Karena dengan adanya dalil, makna akan menjadi lebih jelas, dan menghilangkan kesamaran antara satu kata dengan kata yang lainnya.
Konsep mu’jam ini secara kasat mata fungsinya untuk menjelaskan makna-makna kata yang samar atau belum jelas artinya. Di sini terjadi kontradiksi antara makna etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, mu’jam ini berasal dari kalimat “عجم” yang justru bermakna samar-samar atau tidak jelas. Ibnu Jinni memaparkan kasus ini dalam kitabnya Sir Shina’ah al-‘Irab (1/36-37). Dia berkata, “Kalimat (عجم) dalam bahasa Arab dituju untuk sesuatu yang masih samar, dikatakan seseorang itu ‘Ajam jika bahasanya tidak dikenali”.
Baca juga: Bagaimana Mencegah Diri Menjadi Teroris
Ibnu Jinni melanjutkan, “Adapun kalimat mu’jam itu berbentuk isim maf’ul, dari fi’il Madhi (أعجم). Dan salah satu makna dari bentuk tersebut adalah menghilangkan makna asal fi’ilnya. Sebagaimana dalam lafadz mu’jam yang berarti menghilangkan kesamaran nya”.
Diperkirakan, para ulama lughah mulai membukukan kata-kata bahasa Arab dan menjelaskan maknanya semenjak abad ke-2 Hijriah. Namun, pada saat itu belum ada satupun kitab yang beri nama dengan “mu’jam”.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menyinggung perihal kemunculan istilah mu’jam. Beliau berkata dalam kitab Fath al-Bari (7/326), “Kami tidak mengetahui secara pasti kapan istilah mu’jam digunakan. Yang kami ketahui, ulama yang pertama kali menggunakannya adalah para ahli hadits pada abad ke-3.”
Pendapat Ibnu Hajar ini dibuktikan, dengan apa yang ada dalam kitab Tarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari. Dalam kitab tersebut, Imam al-Bukhari menyusun nama-nama periwayat hadits sesuai dengan huruf mu’jam yang dimulai dengan periwayat yang namanya diawali dengan Muhammad.
Adapun kitab yang pertama kali disebut sebagai mu’jam adalah kitab yang berjudul Mu’jam Ash-Shahabah yang ditulis oleh Syekh Abi Ya’la Ahmad bin Ali al-Mutsanna (W. 307 H).
Kemudian, Imam Abdullah bin Muhammad al-Baghawi (W. 315 H) seorang muhaddits yang terkenal mengikuti jejak Syekh Abi Ya’la dalam menulis mu’jam ash-shabah.
Kedua mu’jam tersebut akhirnya dikenal dengan sebutan al-Mu’jam Al-Kabir yang disematkan pada karya Syekh Abi Ya’la, dan al-Mu’jam ash-Shagir pada karya Syekh al-Baghawi.
Pada abad ke-4 istilah mu’jam mulai naik daun, dengan banyaknya kitab-kitab hadits dan Qiraat yang menggunakan istilah ini. Sebut saja Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Ashgar, dan Mu’jam al-Awsath yang berisi nama-nama para ahli Qiraat karya Syekh Abi Bakr Muhammad bin Hasan al-Mushili (W. 351 H). Dan kitab-kitab lainnya.
Atas sejarah tersebut, Syekh Abdut Tawwab seorang guru bahasa Arab di Universitas al-Azhar memandang bahwa ulama-ulama bahasa meminjam kalimat mu’jam pada buku-buku mereka dari kitab-kitab ahli hadits dan ahli Qiraat.
Istilah Qamus memiliki makna sama dengan isitlah mu’jam. Bedanya, Qamus muncul pada zaman jauh setelah istilah mu’jam ada.
Ulama yang pertama kali menggunakan istilah Qamus adalah Syekh Fairuz Abadi (W. 817). Istilah ini digunakan untuk sebuah karyanya yang dinamakannya dengan Qamus al-Muhith.
Baca juga: Membandingkan Ushul Nahwu dan Ushul Fikih
Qamus ini sangat terkenal, bahkan lebih terkenal dari pada buku mu’jam pendahulunya. Para intelektual menggunakannya sebuah referensi utama ketika mencari makna-makna kata yang samar atau belum diketahui artinya. Kenapa bisa lebih terkenal?
Sebab-sebab kepopuleran Qamus ini sangat banyak. Antara lain Qamus al-Muhith tidak menyebutkan dalil-dalil kata sehingga meringkas kitabnya hanya berisi makna-makna kata saja.
Ditambah buku tersebut diisi dengan ilmu baru yang padat dan sarat akan makna, menggunakan diksi yang mudah difahami, dan meringkas kalimat sedemikian rupa.
Sebab ketenaran Qamus al-Muhith ini, semua kitab yang berisi tentang bahasa pada zaman tersebut disebut sebagai “Qamus” di mana maknanya sama dengan “Mu’jam”.
Sebutan ini terus berlanjut hingga zaman sekarang, sehingga para intelektual lebih mengenal buku-buku yang menjelaskan makna kata dengan sebutan Qamus. Majma’ Lughah Arabiyyah juga sudah menetapkan secara resmi bahwa Qamus dan Mu’jam memiliki makna yang sama.
Perkembangan Mu’jam dari Waktu ke Waktu
Dalam kepenulisan mu’jam, bangsa Arab tertinggal oleh bangsa-bangsa lainnya. Seperti bangsa Asiria, China, Yunani, dan lain-lainnya dengan beberapa sebab yang nanti akan diutarakan.
Bangsa Asiria atau disebut juga bangsa Asyur, adalah salah satu kelompok etnoreligius asli Timur Tengah. Sebagian besar orang Asiria berbicara suatu bahasa Neo-Aram.
Mu’jam bangsa Asiria dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka ketika mereka meninggalkan tradisi lama; menulis dengan rumus-rumus kuno, dan menggantinya dengan potongan-potongan isyarat yang berbentuk alfabet.
Mu’jam tersebut ditulis diatas lempengan tanah liat, dan diletakkan di perpustakaan Niniwi (Ibu kota bangsa Asiria). Lempengan tersebut diperikaran ditulis pada tahun 668-625 sebelum Masehi.
Bangsa China juga telah mengenal istilah mu’jam atau kamus untuk membantu mereka menjelaskan kalimat-kalimat pada nas-nas agama mereka, diperkirakan mereka mengenal nya semenjak tahun 200 sebelum Masehi.
Di bangsa mereka ada dua mu’jam yang sangat terkenal pada saat itu. Salah satu di antaranya adalah mu’jam yang bernama Cu Fan yang ditulis oleh Hu Chin yang memuat 10600 kalimat.
Baca juga: Biografi Imam Jalaludin As-Suyuthi dalam Kitab yang Ditulisnya Sendiri
Adapun bangsa Yunani, mereka merupakan bangsa kuno yang maju dalam keilmuan. Mereka memiliki peninggalan intelektual yang sangat bersejarah dan bernilai tinggi; baik dalam bahasa, filsafat, dan lain-lainnya.
Salah satu peninggalan mereka adalah mu’jam. Di antara mu’jam tersebut ditulis dengan tuntutan huruf abjad, isinya juga hanya terbatas pada bahasa para orator pada masanya atau bahasa para filsuf dari bangsanya.
Di antara mu’jam milik bangsa Yunani yang paling kuno adalah mu’jam Yulius yang membahas tentang makna-makna lafadz. Ada juga mu’jam Hazesius pada abad ke-4 Masehi yang membahas tentang logat bahasa, dan Mu’jam lainnya.
Pada masa jahiliyah, bangsa Arab tidak memiliki tanda-tanda keberadaan mu’jam yang tertulis dan dibukukan. Kenapa? Karena pada saat itu bahasa di bangsa mereka masih bersih dari kesalahan, dan makna dari setiap lafadz tersimpan baik di ingatan mereka.
Oleh karena ini, mereka tidak membutuhkan mu’jam. Karena hanya dengan mengandalkan tajamnya ingatan bangsa Arab, bahasa mereka terjaga, dan menjadi sebuah kebanggaan bagi setiap Qabilahnnya.
Alasan yang lainnya, karena kebanyakan mereka tidak bisa menulis. Mereka pada saat itu masih tinggal di pelosok, dan menjadi Badui. Sedangkan mu’jam adalah karya tulis yang tersusun rapi dan menjadi sebuah tanda kemajuan sebuah bangsa.
Perkembangan ini dimulai ketika umat muslim mengangkat beberapa kata dalam Al-Qur’an yang tidak mereka ketahui maknanya, dan mereka menginginkan agar makna itu diperjelas dengan kalimat yang lainnya.
Dalam kitab al-Itqan (1/150), Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Dia berkata, “Saya mengetahui makna semua kata dari al-Qur’an kecuali 4 kata: (غسلين، و حنان و أوه و الرقيم).”
Kata-kata yang tidak diketahui maknanya tersebut kemudian ditanyakan kepada Rasulullah, atau kepada sahabat semisal Ibnu Abbas. Penjelasan-penjelasan seperti ini merupakan langkah awal dari terbentuknya mu’jam.
Setelah kalimat-kalimat tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dan pada sahabat, para ulama meresponnya dengan membukukan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah dan sahabat, yang disebut dengan kitab Gharib al-Qur’an.
Kitab ini pertama kali ditulis oleh seorang faqih yang ahli bahasa bernama syekh Aban bin Taglab bin Ribah al-Jariri (W. 141 H) yang diberi judul Gharib al-Qur’an.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa sebelum adanya mu’jam bangsa Arab mengandalkan ingatan mereka dalam mengingat makna-makna dari kalimat bahasa Arab.
Baca juga: Meneladani Ibnu Majid, Navigator Muslim Berjuluk Singa Lautan
Karena anugerah ingatan itulah, sumber utama dalam periwayatan makna bahasa yang ada pada mu’jam melalui dua jalur; Sama’i dan Riwayat.
Sama’i adalah mengambil makna bahasa langsung dari orang-orang yang mengucapkannya. Cara ini dipraktekkan dengan mendatangi suku-suku Arab di pedalaman, dan mendengarkan apa yang mereka ucapkan dalam keseharian.
Di antara Ulama-ulama yang pertama kali mencari makna bahasa dengan sama’i adalah Abu ‘Amr bin Al-‘Ala (W. 154 H), Al-Khalil bi Ahmad (W. 175 H), Abu Zaid al-Anshari (W. 215 ), dan banyak lainnya.
Adapun Riwayat adalah memahami bahasa dari kata-kata yang dipakai oleh para penyair pada masa lampau. Cara ini harus sangat teliti dalam melihat jalur periwayatan.
Dengan dua jalan tersebut mu’jam mulai berkembang di bangsa Arab, setidaknya ada 3 fase perkembangan Mu’jam:
Fase Pertama: mengumpulkan kata yang disepakati maknanya.
Fase ini seorang ulama akan pergi ke pelosok Arab, dan mendengar kata tentang hujan, pedang, pertanian, dan kata-kata lainnya di pelosok tersebut, dan mengumpulkannya menjadi satu tanpa ada susunan yang rapi.
Fase kedua, mengumpulkan kata-kata yang berkaitan dengan satu tema.
Di fase ini ada kitab-kitab yang mulai ditulis, seperti Abu Zaid al-Anshari yang menulis kitab tentang hujan, Imam al-Asma’i (W. 213 H) yang menulis beberapa buku kecil tentang unta, kurma, dan lain-lain.
Fase ketiga, membuat sebuah mu’jam yang mencakup banyak kata bahasa Arab yang disusun dengan cara khusus, agar mempermudah orang yang ingin mencari makna sebuah kata.
Pada fase ini mu’jam berada di titik yang hampir bisa dikatakan sempurna. Karena fase ini kata-kata bahasa Arab dikumpulkan, dijelaskan, serta dikuatkan dengan dalil Al-Qur’an, hadits dan riwayat dari syiir-syiir.
Ulama yang pertama kali menulis dengan teknik ini adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Setelahnya ada Ibnu Duraid (W. 321 H), Abi Ali al-Qali (W. 356 H) dan Ibnu al-Faris (W 395 H) yang menulis buku al-Maqayis dan al-Mujmal.
Yang perlu diperhatikan adalah, tiga fase tersebut tidak bisa ditentukan dengan kapan kitab itu ditulis, tapi dengan bagaimana teknik kitab tersebut ditulis. Karena beberapa kitab, ada yang ditulis setelah masa Ibnu al-Faris namun menulis dengan gaya fase kedua.
Dari titik inilah, mu’jam terus berkembang dari masa ke masa. Hingga saat ini, dengan inovasi-inovasi terbaru yang diterbitkan oleh para ulama dari setiap zamannya.