Di era globalisasi semua orang dapat dengan mudah untuk memperoleh dan menyebarkan informasi, baik dari lintas daerah, provinsi, maupun lintas negara begitu cepat dan realtime dengan menggunaakan media smartphone. Cepatnya akses jaringan memberikan kemudahan kepada para pengguna internet dalam memperoleh dan menyebarkan informasi pada masa kini, hingga pada akhirnya masifnya peredaran informasi di kalangan masyarakat tidak dapat dibendung.
Pada era sekarang di mana teknologi sudah sangat maju dan canggih, apabila tidak diimbangi dengan etika dalam menyebarluaskan informasi, ditambah dengan melekatnya budaya copy paste menyebabkan maraknya informasi hoaks atau tidak valid beredar di kalangan masyarakat. Kejadian ini tentu saja sangat meresahkan dan dapat berakibat fatal yang pada akhirnya dapat merugikan orang lain dan masyarakat luas.
Hal tersebut kemudian menjadi perhatian khusus dari berbagai kalangan, baik negara maupun ulama. Dibuktikan dengan adanya regulasi dari pemerintah sebagaimana yang tertuang dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
Menyikapi fenomena tersebut, Islam memiliki prinsip dasar yang cukup relevan untuk dijadikan pedoman bagi seseorang ketika memperoleh dan menyebarkan informasi. Tuntutan Al-Qur’an dirasa perlu didialogkan dengan masyarakat modern, supaya kita bisa mengetahui bagaimana seharusnya bersikap ketika menghadapi berita bohong dan terhindar darinya.
Istilah berita bohong (hoaks) dalam Al-Qur’an bisa diidentifikasi dari pengertian al-ifk yang berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan negeri). Tetapi yang dimaksud di sini ialah sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta. Sedangkan munculnya hoaks (sebuah kebohongan) disebabkan oleh orang-orang pembangkang.
Kata al-ifk dalam berbagai bentuknya disebutkan sebanyak 22 kali dalam Al-Qur’an. Dalam Hoaks dalam Kajian Pemikiran Islam dan Hukum Positif yang dimuat dalam Jurnal Salam 2018, disebutkan bahwa kata al-ifk digunakan dalam Al-Qur’an untuk arti sebagai berikut:
- Perkataan dusta, yakni perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ia disebutkan dalam kasus istri Rasulullah, Aisyah ra. (QS. An-Nur:11)
- Kehancuran suatu negeri karena penduduknya tidak membenarkan ayat-ayat Allah, (QS. At-Taubah: 70)
- Dipalingkan dari kebenaran karena mereka selalu berdusta, (QS. Al-Ankabut:61)
Baca juga: Apakah Menjadi Sunni Harus Berakidah Asy’ari?
Solusi Al-Qur’an Menyikapi Hoaks
Senantiasa berhati-hati dalam menerima berita, sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 6,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Yunan Yusuf dalam Tafsir Al-Qur’an menyebutkan bahwa ayat ini memberikan pedoman bagaimana bersikap agar tidak ceroboh menerima informasi yang tidak jelas duduk perkaranya. Terlebih apabila informasi tersebut berasal dari sumber-sumber yang tidak bertanggung jawab.
Ini adalah pendidikan dan pelatihan jiwa yang sangat tinggi. Di era teknologi komunikasi yang sudah sedemikian canggih, setiap orang dengan mudah dalam mengakses berita atau informasi dari berbagai sumber. Kualitas dan tingkat kebenaran berita atau informasi ini juga sangat beragam, dari berita bohong, berita provokasi, sampai berita yang benar.
Dalam menerima berbagai macam berita itulah setiap mukmin diingatkan agar tidak menerimanya dengan mentah-mentah tanpa saringan.
Al-Qur’an menggunakan kata tabayyun yang mengandung makna perjelaslah terlebih dahulu, jangan diterima begitu saja. Lakukanlah dulu penyelidikan dan pemeriksaan apakah beritanya ini benar atau tidak.
Banyak orang mengalami kerugian setelah memercayai iming-iming yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini, melakukan klarifikasi terhadap berita atau informasi yang diterima merupakan hal yang sangat krusial.
Bisa jadi dampak yang terjadi dari berita yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu mendatangkan kerugian pada dua sisi. Terlebih pada pihak yang mengambil tindakan, pastilah akan timbul penyesalan, disebabkan tindakan yang dia ambil tidak sesuai dengan apa yang direncanakan.
Baca juga: Ketika Khalifah Al-Makmun Dibuat Ketawa oleh Nabi Palsu
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah mengatakan perlunya memilah informasi apakah itu penting atau tidak dan memilah pula pembawa informasi apakah dapat dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi dari siapapun yang tidak penting bahkan didengarkan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Lebih lanjut, ayat ini merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengamalan suatu berita.
Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan pada hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring, khawatir jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat ini bi jahalah.
Surat Al-Hujurat ayat 6 di atas menjelaskan apabila ada seseorang yang fasik datang membawa suatu berita, maka jangan langsung diterima, namun diteliti kebenaran atau validitas dari informasi tersebut.
Ayat ini memiliki keserasian makna dengan surat al-Isra’ ayat 36,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan jangalah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Keserasian maknanya yaitu untuk tidak mengikuti segala sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya.
Quraish Shihab dalam menafsirkan surat al-Isra’ ayat 36 mengatakan bahwa ayat ini memerintahkan untuk melakukan apa yang telah Allah perintahkan dan hindari apa yang tidak sejalan dengannya. Jangan berucap apapun yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu atau mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani masing-masing pemiliknya akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan bagaimana ia menggunakannya.
Di satu sisi, tuntunan ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, berburuk sangka, kebohongan dan kesaksian palsu. Di lain sisi, ia memberi tuntunan untuk menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-alat untuk meraih pengetahuan.
Baca juga: Somalia, Negara Miskin Pencetak Ribuan Penghafal Al-Qur’an
Maka dalam hal ini, telah jelas bahwasanya Islam melarang kaum muslimin dari menyampaikan informasi yang tidak valid, merugikan nama orang lain dan menyebabkan kerusakan.
Sebagai umat muslim, dalam menerima suatu informasi hendaknya selalu melakukan tabayyun (melakukan klarifikasi, melakukan kroscek dan menganalisis masalah dengan cermat). Harus selalu bersikap hati-hati dan mengamati informasi yang kurang bermanfaat dan belum jelas kebenarannya.
Ayat-ayat di atas menjadi nasehat dan peringatan untuk tidak menerima informasi begitu saja, terkecuali telah diteliti dan dicek kebenaran hakikat dan kandungannya. Terutama pada saat ini dengan penyebaran informasi yang kian masif, konsep tabayyun atau klarifikasi harus benar-benar diterapkan, mengingat banyaknya isu-isu yang memicu kebencian antar sesama.