Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani (w. 587 H). Dilahirkan di kota Kasan, suatu kota tua di daerah Uzbekistan kini. Tidak diketahui secara pasti tanggal kelahirannya.
Alauddin al-Kasani merupakan salah satu pemuka fikih mazhab Hanafi. Salah satu kitab karangannya, yakni Bada’i al-Shana’i’ fi Tartib al-Syara’i’ hingga kini menjadi pegangan dan rujukan otoritatif dalam kajian fikih Hanafi maupun kajian fikih lintas mazhab. Kitab itu pula yang menjadikannya mendapat restu meminang putri kesayangan Alauddin as-Samarqandi, yang tak lain adalah gurunya sendiri.
Al-Qurasyi dalam al-Jawâhir al-MudIiyyah fî Thabaqât al-Hanafiyyah menceritakan kronik kisah tersebut. Menurut catatannya, sang guru Alauddin Muhammad as-Samarqandi (w. 540 H) mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Fatimah. Selain berparas jelita, Fathimah ini juga terkenal sangat alim. Mewarisi kecerdasan serta keilmuan yang dimiliki oleh ayahnya.
Tak heran jika namanya sangat masyhur di kalangan pemuda-pemuda jomblo di Samarkand. Bahkan konon, raja-raja Romawi pernah meminang putri kesayangan Alauddin as-Samarqandi ini. Namun, semua lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh sang ayah.
.Alauddin Samarqandi tampaknya sangat selektif dalam memilih calon menantu. Ia sendiri telah bersusah payah mendidik serta membesarkan sang putri. Makanya ia juga tidak sembarang dalam memilih seorang suami yang akan meminang sang putri. Ia tentu memberikan standar yang tinggi untuk putrinya.
Putrinya tersebut juga bukan seperti pemudi pada umumnya, setelah dididik dan ditempa secara ketat oleh sang ayah, Fatimah tumbuh menjadi sosok pemudi yang sangat alim. Ia dikabarkan telah menghafal satu karya utama sang ayah. Tuhfat al-Fuqaha’ yang merupakan salah satu kitab induk mazhab Hanafi. Sebuah prestasi yang cukup prestisius pada masa itu, seorang perempuan yang menguasai bidang fikih.
Hingga akhirnya Alauddin as-Samarqandi menemukan calon menantu yang justru sangat dekat dengan dirinya. Bukan ulama besar dari Bukhara, Baghdad atau kota-kota besar lain. Justru calon menantu itu adalah salah satu muridnya sendiri.
Ia adalah Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani (w. 587 H) atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Kasani. Dia merupakan pemuda dari Aleppo Suriah. Sejak kecil telah dikenal sebagai sosok santri yang gigih dan tekun. Di usianya yang belia ia telah menghafal al-Quran secara sempurna. Semenjak kecil pula ia telah berkelana mengais ilmu dari para ulama. Mulai dari tanah kelahirannya sendiri, Aleppo hingga daerah-daerah lain seperti Bukhara dan Samarkand.
Di kota yang disebut terakhir, ia menemukan guru spiritual dan intelektual utamanya. Yakni Alauddin as-Samarqandi, sosok yang kelak akan menjadi mertuanya. Di hadapan Alauddin as-Samarqandi ia mulai menghafal berbagai disiplin keilmuan penting. Di antaranya yang paling utama adalah kitab induk fikih sang guru Tuhfat al-Fuqaha, kemudian kitab-kitab ushul fikihnya, tafsir dan lain sebagainya.
Dengan modal kecerdasan yang berlebih serta didukung kemampuan menulis yang baik, ketika masih masih nyantri di hadapan as-Samarqandi ia juga menulis syarh dari kitab karya gurunya. Ia menulis beberapa jilid besar kitab berjudul Bada’i al-Shana’i’ fi Tartib al-Syara’i’ yang menjadi penjelas atau syarh dari Kitab Tuhfat al-Fuqaha’ karangan gurunya. Kitab ini di kemudian hari menjadi salah satu kitab primer dalam Mazhab Hanafi.
Setelah rampung ditulis, ia berinisiatif menghaturkan karyanya tersebut kepada sang guru. Alauddin Samarqandi pun sangat bahagia melihat karya luar biasa yang telah dihasilkan oleh muridnya. Ia merasa berhasil mendidik murid kesayangannya tersebut. Bahkan saking bahagianya, muridnya tersebut secara khusus diberikan hadiah berupa dinikahkan dengan putrinya. Al-kasani pun tidak menyangka akan mendapat kehormatan menjadi menantu sang guru. Akan tetapi karena patuh, sam’an wa tho’atan kepada sang guru, al-kasani pun mengiyakan permintaan sang guru.
Sehingga ulama-ulama sejawatnya berkelakar:
شرح تحفته وزوجه ابْنَتهّ
“Ia (al-Kasani) berhasil mensyarahi kitab Tuhfahnya sekaligus mengawini putrinya.”
Setelah menikah al-Kasani begitu menghormati dan memuliakan sang istri. Wajar saja, tentu pertama karena istrinya adalah putri sang guru. Kedua istrinya juga merupakan sosok yang sangat ia akui kealimannya. Tak heran jika setelah menikah banyak sekali fatwa-fatwa yang ia keluarkan mendapat sedikit banyak masukan dari sang istri. Ia seringkali meminta pertimbangan istrinya dalam memutuskan atau memberi fatwa.
Wafat
Ketika memasuki usia senjanya, Alauddin al-Kasani seakan merasakannya. Beliau suatu ketika bergegas membaca surat Ibrahim. Ia membacanya dengan penuh takzim dan khusyuk seakan-akan itu adalah saat terakhir membaca kalam Allah.
Hingga sampailah ia pada ayat:
يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة
Sejurus setelah ia selesai membaca ayat tersebut, ia dengan tenang meninggalkan segala pernik dunia dengan keyakinan yang mantan. Sebagaimana makna ayat yang ia baca terakhir kali. Peristiwa itu bertepatan pada 10 Rajab 587 H. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman ulama Hanafi di Kota Halb (Aleppo) Suriah.