Di berbagai pesantren di Indonesia, lazim diadakan sebuah tasyakuran ketika mengkhatamkan sebuah kitab. Acara tersebut digelar secara beragam, tergantung tradisi masing-masing pesantren. Ada yang mengadakan acara itu dengan acara besar-besaran mengundang wali santri. Ada pula yang hanya digelar secara sederhana, sambil berziarah di makam kiai setempat.
Namun pada umumnya, ketika sudah dikhatamkan sebuah kitab semua akan merayakan dan mensyukuri khataman tersebut dengan cara masing-masing. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk luapan rasa syukur atas nikmat berupa masih bisa mengaji dan mengkaji suatu kitab hingga tuntas.
Apalagi jika kitab yang dikaji adalah kitab-kitab kuning tingkat lanjut yang ketebalannya bisa berjilid-jilid. Rasanya tasyakuran atas khataman kitab tersebut mutlak harus dilakukan. Mengingat perjuangan serta pengorbanan dalam mengaji tersebut merupakan anugerah yang luar biasa yang telah Allah berikan. Selain itu khataman juga dilakukan sebagai forum untuk mengirim doa khusus kepada mushonnif atau pengarang kitab yang dikaji.
Awal Mula Khataman Kitab
Tidak diketahui secara jelas, kapan awal mula budaya tasyakuran kitab ini telah dilakukan. Akan tetapi yang jelas, Islam sendiri memang telah mengajarkan bahwa dalam segala aspek kehidupan, bersyukur adalah salah satu cara terbaik dalam mengelola sebuah kenikmatan. Berbahagia atas sesuatu hal yang telah diberikan Allah juga merupakan salah satu bentuk cinta dan penghormatan kita atas nikmat Allah tersebut.
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
“Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 53)
Akan tetapi salah satu yang bisa dilacak dalam literatur sejarah adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika menyelesaikan mengkaji surat al-Baqarah. Imam Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsur mengutip riwayat dari al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman. Di situ Abdullah bin Umar berkata:
تعلم عمر سورة البقرة في اثنتي عشرة سنة فلما ختمها نحر جزورا
“Sesungguhnya Sayyidina Umar RA mempelajari Surat al-Baqarah selama 12 tahun, kemudian ketika sudah menyelesaikannya beliau menyembelih seekor unta.”
Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ini kemudian tampaknya menjadi salah satu inspirasi dari para sahabat untuk menapaktilasinya. Hal tersebut dibuktikan pada kurun tabi’in ada satu sosok yang melakukan hal serupa.
Abi Muslim al-Kajji (w. 292 H) salah seorang pembesar hadis sengaja membuat jamuan makanan kepada segenap muhaddits pada masanya dalam rangka beliau telah rampung dalam menulis dan membacakan kitab kompilasi hadis miliknya yang berjudul “As-Sunan”. Dalam jamuan itu Abi Muslim menghabiskan dana sampai 1000 dinar
Pada abad kelima, Imam al-Haramain (w. 478 H) pun melakukan hal yang sama. Ketika ia berhasil menuntaskan salah satu karya monumentalnya, yakni Nihayat al-Mathlab fi Dirayat al-Madzhab. Guru Imam al-Ghazali itu mengadakan sebuah perkumpulan yang mengundang segenap murid dan para ulama setempat.
Tidak hanya itu, Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani ketika menyelesaikan kitab syarh atau komentar atas Shahih Bukhari bahkan membuat pesta besar-besaran. Setelah berjuang menulis dan mengkaji selama 25 tahun, kitab Fathul Bari yang telah lama ia pikirkan pun selesai. Untuk itu guna mensyukuri pencapaiannya itu Ibnu Hajar membuat semacam acara pesta di Kairo. Konon menurut catatan sang murid; As-Sakhawi, perhelatan tersebut menghabiskan dana hingga 500 dinar. Bahkan bisa dibilang acara tersebut merupakan acara terbesar yang pernah diadakan oleh masyarakat Mesir pada waktu itu. Hal itu sebagaimana catatan As-Sakhawi dalam al-Jawahir wa al-Durar:
وكان يومًا مشهودًا لم يعهدْ أهلُ العصر مثلَه بمحضرٍ من العلماء، والقضاة، والرؤساء، والفضلاء
“Hari itu merupakan hari besar yang disaksikan sejarah. Belum pernah pada masa itu ada sebuah pesta besar dengan didatangi begitu banyak para ulama, petinggi, serta politisi dalam satu tempat.”
Lain sosok, kini ada Muhammad bin Ya’qub Fairuzabadi sosok linguis Arab yang terkenal dengan Kamus al-Muhith. Ketika selesai menulis kitab al-Is’ad ‘ila Rutbat al-Ijtihad beliau sangat bahagia. Bahkan Untuk menunjukkan rasa kebahagiaan dan raya syukur yang begitu besar ia membawa kitab tersebut kepada sultan setempat dengan diarak dan diiringi berbagai nyanyian dan instrumen. Beliau juga mengundang para ulama semasanya untuk ikut serta dalam peristiwa bersejarah dalam hidupnya tersebut.
Sayyid Murtadlo Zubaidi (w. 1790 M) ketika selesai menulis Tajul Arus seperti yang dicatat oleh sejarawan Mesir Abdurrahman al-Jabarti (w. 1822 M) dalam Ajaib al-Atsar. Dan masih banyak lagi kronik-kronik serta cerita para ulama yang sengaja mengadakan acara khusus sebagai bentuk syukur atas keberhasilan menulis, mengkaji atau mengkhatamkan kitab.
Dalam perkembangannya, di era modern ini bentuk dari syukuran kitab ini kemudian berkembang menjadi sangat variatif. Jika syukuran ini diadopsi dalam lembaga modern acara tersebut dibingkai dalam satu rangkaian wisuda khataman akhir tahun yang meriah. Jika dalam lembaga pesantren tradisional khataman kitab biasanya digelar secara sederhana, namun syarat akan makna dan doa.
Namun terlepas dari semua itu, budaya ini adalah salah satu geliat ilmiah yang mesti terus dijaga kelestariannya. Karena dengan semakin banyaknya syiar-syiar keilmuan tentu akan semakin memancing masyarakat untuk tertarik untuk kemudian ikut andil dalam kajian-kajian keilmuan.