Rasanya peringatan Maulid Nabi tahun 2021 ini belum sepenuhnya usai. Masih terdengar dari segelintir toa masjid lantunan shalawat, pembacaan kitab Maulid Al-Barzanji, Maulid Ad-Dîba’i maupun pembacaan kitab Simtuddurar yang ditulis Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, kakek Habib Anis, Solo. Walaupun sudah lewat tanggal 12, toh bulan Rabiul Awal tahun 1443 H belum habis.
Tindakan-tindakan tersebut merupakan aktualisasi seorang muslim sebagai bukti kecintaannya kepada baginda Nabi. Tidak hanya sebatas itu saja, mengikuti sunnah-sunnah beliau juga menjadi sarana mencintai Rasullullah. Ada yang lebih mudah yaitu dengan membaca shalawat. Sebab Allah dan para malaikat-Nya senantiasa bershalawat kepada Rasulullah, sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya.
Ngobrolin Nabi, memang tidak ada habisnya. Apalagi jika kita ingin mengambil keteladanan dari beliau, dari sisi manapun kita dapat memetik pelajaran berharga yang bisa kita jadikan teladan dalam kehidupan. Di sisa bulan Rabiul Awal ini, jika kita belum sempat membaca Maulid kanjeng Nabi, atau belum mengamalkan sunnah-sunnah, mari kita ambil keteladanan Nabi yang bisa bikin adem ayem.
Baca juga:
Salah satu teladan yang membuat orang lain senang bahkan mudah mencintai Nabi adalah karena seni bercerita/berdialog Nabi. Beliau sering memberikan solusi bagi permasalahan umat dengan bercerita maupun berdialog.
Suatu ketika Nabi menerima wahyu QS. Al-Anfal ayat 70 yang berkaitan tentang tawanan perang. Saat itu Nabi tertawa melihat keadaan para tawanan, khususnya Abbas, paman Nabi yang menangis meraung-raung sepanjang malam. Gara-gara terbelenggu dan tidak bisa berbuat apapun.
Melihat kejadian itu, salah seorang tawanan berkata, “Lihatlah, ia menunjukkan sifat kemanusiannya. Pernyataan bahwa ia manusia luar biasa tidaklah benar. Lihatlah, ia di sana menatap dan memperhatikan kita yang sedang terbelenggu dengan rantai ini. Ia menikmatinya tak ubahnya budak-budak hawa nafsu yang ketika berhasil menaklukan musuh-musuhnya dan melihat mereka dalam keadaan tak berdaya, ia tertawa riang dan bahagia.”
Nabi lantas menimpali, “Bukan begitu. Aku tertawa bukan karena melihat musuh-musuhku yang takluk di hadapanku. Atau atau melihat mereka tak berdaya dan hina. Namun aku senang bahkan tertawa karena aku melihat dengan mata batinku. Aku mengajak dan menarik-narik sejumlah orang dengan penuh tenaga, bahkan dengan belenggu rantai keluar dari kepulan neraka Jahanam yang hitam menuju surga, menuju keridhaan Allah. Akan tetapi mereka justru mengeluh dan meraung-raung sembari berkata, ‘Mengapa engkau menyeret kami dari tempat kebinasaan menuju taman-taman bunga dan tempat paling aman?’
“Meski demikian, karena kalian tidak dianugerahi kemampuan untuk melihat yang dapat aku lihat dan tidak memahami apa yang baru saja aku katakan, Allah memerintahkanku untuk menyampaikan ini kepadamu. Pada mulanya, kalian susun kekuatan membangun para tentara dan membuat formasi kemiliteran. Kalian begitu percaya diri dengan kejantanan, keberanian dan kekuatan yang kalian miliki. Lalu berkata pada diri kalian sendiri, ‘Inilah yang akan kami lakukan. Kami akan hancurkan orang-orang Islam dan menaklukan mereka.’ Tapi kalian tidak melihat keberadaan Allah Yang Maha Kuasa yang lebih berkuasa dibanding kalian.”
“Aku bertobat. Saat ini aku berpaling dari keyakinanku yang terdahulu.” Sahut Abbas dengan cepat.
Nabi menimpali, “Pengakuan tobat yang baru saja kamu ucapkan butuh bukti. Menyatakan cinta adalah satu hal yang mudah. Namun pernyataan itu butuh bukti.”
Abbas membalas, “Dengan menyebut nama Allah, bukti apa yang engkau inginkan?”
“Jika kamu benar-benar telah menjadi seorang muslim dan menginginkan kebaikan pada umat Islam, berikanlah sejumlah harta yang tersisa dari dirimu kepada tentara Islam sehingga tentara kita bisa lebih kuat.” Jawab Nabi.
“Wahai Rasulullah, harta apalagi yang tersisa dariku? Semua milikku telah dirampas, bahkan mereka tidak menyisakkan apa-apa selain karpet lusuh ini.”
“Lihatlah, kamu tidak jujur. Kamu belum kembali dari kebiasaan burukmu. Kamu belum melihat cahaya kebenaran. Haruskah aku katakan kepadamu seberapa banyak harta yang kamu miliki, di mana kamu menyembunyikannya, kepada siapa harta itu kamu titipkan dan di tempat yang seperti apa kamu menguburnya?”
“Tidak, sungguh aku tidak punya apa-apa lagi.”
“Bukankah kamu menitipkan sejumlah harta kepada ibumu? Bukankah kamu mengubur hartamu di tempat ini dan itu? Bukankah kamu mengatakan secara rinci kepada ibumu, ‘Jika aku kembali, kembalikan semua harta ini kepadaku. Jika aku tidak kembali dengan selamat, belanjakanlah dari harta ini untuk kepentingan tertentu. Berikan untuk si Fulan dan bagianmu sekian.’”
“Ya Rasulullah, dahulu aku selalu yakin bahwa dirimu mengawasi nasib baik para raja terdahulu seperti Haman, Syadad, Namrud dan lainnya. Tetapi setelah engkau mengatakan hal-hal tadi, aku langsung percaya dan yakin bahwa yang baru saja engkau katakan adalah rahasia Allah.”
“Kau benar. Kali ini aku mendengar gemeretak keraguan di dalam hatimu yang gemanya terdengar di dalam gendang telingaku. Aku memiliki telinga tersembunyi di balik jiwaku yang terdalam. Dengan telinga itu, aku dapat mendengar geretak keraguan, kemusyrikan dan kekafiran di dalam hati semua orang. Suara-suara itu terdengar oleh telinga jiwaku. Sekarang kamu telah benar-benar telah melepas masa lalumu dan menjadi seorang mukmin.” Jawab Nabi sembari mengakhiri.
Baca juga:
Melalui kisah ini, Nabi mencontohkan kepada kita bahwa bercerita, berdialog dan mengobrol merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan. Bahkan Abbas yang saat itu masih kafir mau menyatakan keislamannya dengan wasilah ini.
Tidak sedikit permasalahan besar dalam hidup kita, seringkali justru terselesaikan dari obrolan-obrolan ringan dengan anggota keluarga, kawan sekantor maupun tetangga sekitar. Hal ini membuktikan bahwa seni bercerita/ berdialog yang diajarkan Nabi menjadikan hati adem dan sekaligus membuat kehidupan umat jadi ayem nan tentrem. Tentu hal baik yang datang dari Nabi Muhammad Saw seperti ini perlu dilestarikan demi menggapai hidup yang bahagia. Wallâhu a’lam.