Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ibadah kurban: Syariat umat Nabi Muhammad dan umat terdahulu

Avatar photo
56
×

Ibadah kurban: Syariat umat Nabi Muhammad dan umat terdahulu

Share this article

Menyembelih hewan kurban merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan ketika hari raya Idul Adha. Ibadah ini sejatinya telah memiliki fondasi kuat dan mempunyai akar sejarah panjang dalam tradisi bangsa-bangsa terdahulu. Ajaran kurban dan prakteknya telah ditunjukkan secara sinergik oleh para nabi dan rasul hingga Rasulullah Muhammad saw.

Sebagaimana dalam Alquran diterangkan bahwa kurban telah menjadi tradisi keagamaan dengan mengorbankan sesuatu sebagai persembahan kepada Tuhan. “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.”(QS. al-Hajj [22]: 34)

Termaktub pada QS. al-Maidah [5]: 27 kurban pertama kali dilakukan oleh kedua putra Nabi Adam, yakni Qabil dan Habil. Kemudian firman Allah QS. as-Shaffat ayat 102 mengisahkan peristiwa penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap Nabi Ismail. Keduanya dengan penuh iman dan keikhlasan bersedia untuk melakukan perintah Allah tersebut, namun kemudian Ismail diganti menjadi seeokor domba sebagai kurban.

Setelah fase dakwah Nabi Ibrahim usai, ibadah kurban mengalami transformasi. Seperti diantaranya kaum Yahudi meyakini bahwa kurban yang dibakar dengan api menjadi tolak ukur diterimanya kurban. Adapun bangsa Mesopotamia hingga wilayah benua Amerika yang dihuni oleh suku Aztec dan suku Maya, memiliki tradisi mengorbankan manusia setiap tahun untuk dipersembahkan kepada dewa matahari.

Sementara orang-orang Mesir menghanyutkan perempuan perawan di sungai Nil untuk memohon hujan kepada dewa-dewi Mesir ketika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Demikian pula dengan masyarakat Arab Jahiliyah, sebelum Islam datang mereka telah melaksanakan kurban dengan menyembelih hewan ternak yang kemudian darah dan dagingnya dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir yang mengutip cerita Ibnu Juraij mengatakan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah membanjiri Kakbah dengan meletakkan daging kurban dan memercikkan dengan darah kurban pada berhala-berhala mereka.

Ketika banyak sahabat Nabi yang telah memeluk agama Islam dan ingin melakukan seperti yang mereka lakukan pada masa jahiliyah, mereka mengatakan, “Kami lebih berhak memercikkan darah hewan kurban ke Ka’bah.” (Tafsir al-Quran al-Adzim Jilid 5)

Keterangan yang sama dari Ali As-Shabuni dalam Tafsir Rawa’iul Bayan (1/499) yang menukil pendapat Mujahid bahwa para sahabat rasul awalnya ingin melakukan penyembelihan kurban, mencincang daging, menempatkannya di sekitar Kakbah, dan memercikkannya dengan darah kurban sebagai bentuk ketakziman terhadap Kakbah dan bentuk taqarrub kepada Allah.

Allah kemudian menurunkan wahyu Surah al-Hajj ayat 36 untuk menegur mereka atas maksud tersebut dan memberi petunjuk mereka dengan praktik ibadah kurban yang lebih layak dan patut bagi mereka.

“Telah Kami jadikan unta-unta itu sebagian syi’ar Allah untuk kamu. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Oleh karena itu, sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Jika telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang qana’ah dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. al-Hajj:37)

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa sebelum Islam hadir, syariat kurban memang telah diberikan kepada tiap umat. Hanya saja, di antara mereka ada yang bertindak menyimpang dari ajaran yang seharusnya, pelaksanaan kurban menjadi tidak sesuai dengan prinsip awal yakni mempersembahkan hal paling berharga kepada Rabb al-‘alamin dengan ketentuan di masing-masing ajaran. Terlebih lagi tradisi seperti yang dilakukan bangsa Mesir dahulu yang tidak manusiawi dengan mengurbakan manusia.

Kurban yang disyariatkan Islam berusaha merubah praktik melenceng tersebut dan meluruskan kembali ke esensi kurban yang semestinya, seperti esensi kurban yang diajarkan Nabi Ibrahim dan nabi-nabi sebelumnya.

Allah berfirman dalam QS. al-Hajj: 36, “Daging (kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Abu Hayyan dalam Tafsir Al-Bahrul Muhith menjelaskan bahwa tolak ukur diterimanya kurban bukanlah dari fisik kurban yang disembelih,  melainkan ketaqwaan seorang hamba: menjaga niatnya, keikhlasan, serta kehati-hatian dalam menjaga kaidah-kaidah syariat dan kewara’an. Sementara dalam tafsir Ibnu Asyur, bahwa ayat diatas merupakan negasi terhadap kebiasaan berkurban dalam masyarakat Jahiliyah juga tradisi masyarakat yang menggantungkan diterimanya kurban dengan kekuatan alam, seperti api dan lain sebagainya.

Ketakwaan dalam ayat ini menunjukkan bahwa yang dinilai oleh Allah dari ibadah kurban ialah ketulusan niat orang yang berkurban. Sebagaimana Ibnu katsir yang mengutip hadits Rasulullah, “Sungguh, Allah tidak melihat bentuk dan hartamu, tetapi melihat hati dan perbuatanmu.” Juga hadits lain yang diriwayatkan Siti Aisyah, “Sungguh, sedekah itu akan sampai di ‘tangan’ Allah yang bersifat rahman sebelum sampai di tangan pengemis. Sungguh, darah hewan kurban menetes lebih dahulu di sisi Allah sebelum tumpah ke tanah.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

Kontributor