Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Gus Baha: Isra Mikraj sebagai momentum Nabi sowan Allah

Avatar photo
38
×

Gus Baha: Isra Mikraj sebagai momentum Nabi sowan Allah

Share this article

Umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad pada 27 Rajab 1445 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 8 Februari 2024. Peristiwa Isra Mikraj merupakan perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Kemudian dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah salat lima waktu secara langsung dari Allah.

KH. Bahauddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam pengajian rutinannya kitab Tafsir Jalalain menjelaskan peristiwa Isra Mikraj ketika Nabi Muhammad sowan kepada Allah. Beliau juga menceritakan sanad kisah yang didapatkan dari guru-gurunya tentang dialog dari audiensi Nabi Saw dengan Allah sejatinya terekam dalam bacaan tasyahud yang selalu dibaca dalam tiap salat umat muslim.

Pertemuan Nabi Muhammad dengan Allah

Gus Baha dengan sanad yang sampai pada Syekh Mahfudz at-Tarmasi menjelaskan bahwa salah satu dialog Nabi Muhammad dengan Allah tersebut ialah ketika beliau bertemu dengan Allah di maqam al-mukahafah, Nabi Muhammad berkata kepada Allah, “Attahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah.”

Artinya “Bahwa segala penghormatan, segala keberkahan, segala kesucian semuanya hanya milik Allah,” tutur Gus Baha dalam menerjemahkan salam Nabi Muhammad kepada Allah.

Kemudian, Allah membalas salam penghomatan Nabi dengan balasan, “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wabarokatuh (rahmat keselamatan atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatan-Nya).”

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengatakan sebab budi pekertinya yang agung, dan kebaikan, serta welas asihnya kepada umat, Rasulullah tidak ingin jika rahmat Allah hanya untuk beliau saja, maka Nabi Saw menjawab, “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis solihin (semoga rahmat keselamatan juga ada pada hamba-hamba yang saleh),”

Rasulullah di momen spesial berada di hadapan Allah berkeinginan supaya keselamatan itu tidak khusus untuk beliau, tetapi juga merambah ke umat-Nya yang lain, beliau Saw ingin agar rahmat Allah untuk siapa saja mereka yang saleh. Gus Baha lalu menjelaskan makna saleh tersebut, “Saleh itu ukurannya macam-macam, muslim, apa pun fasiknya, dia tetap masuk (kategori) orang saleh, saleh itu bermakna orang yang pantas,”

Kiai kenamaan asal Rembang ini menjelaskan bahwa makna saleh itu didapat dari sebuah perbandingan, jika orang mukmin yang mempunyai perilaku fasik, serusak apa pun dia tetap lebih saleh dari orang yang tidak beriman. Perbandingan saleh juga terdapat dalam komunitas mukmin itu sendiri. Mukmin yang rajin salat dan tidak rajin salat, tentu saleh yang rajin salat. Orang yang rajin ibadah dan ahli ilmu, tentu dia lebih saleh dari orang yang rajin salat tapi bukan ahli ilmu.

Dalam ceramahnya beliau juga melarang kita untuk membandingkan orang dengan seenaknya sendiri. Sebagaimana penjelasannya tadi, orang mukmin yang ahli maksiat tentu lebih baik dari orang yang tidak beriman. Akan tetapi penjelasannya tersebut bukan untuk melegitimasi orang untuk bermaksiat, tetapi selagi dia masih beriman, tentu masih terdapat nilai lebih dimata Allah untuk dimasukkan ke surgaNya.

Setelah tahiyat dan salam penghormatan antara Allah dan Rasul, kemudian Nabi Muhammad bersama para malaikat mengucapkan kalimat.

“Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rosuulullah. Allahumma sholli ‘alaa Muhammad.”

Gus Baha mengatakan salat itu hasil dari Mikraj, maka kalimat-kalimat itu ditetapkan oleh ulama sebagai kaifiyahnya tasyahud dan beliau menyebutkan bahwa gaya duduknya Nabi ketika sowan kepada Allah adalah sebagaimana posisi duduk kita saat duduk tawaruk.

Ibrah Yang Dapat Dipetik

Oleh karenanya sudah seharusnya bagi hamba ketika mendirikan salat harus yakin bahwa salat merupakan sarana untuk komunikasi dengan Allah. Sebagaimana sang Nabi yang sowan kepada Allah dalam mikrajnya, orang yang beriman juga melakukan seperti yang dicontohkan Nabi. Sebab dikatakan Assholatu Mikrajul Mu’minin.

Terlebih saat tahiyat, mushalli dalam duduk tasyahudnya menghadirkan hati dan penuh rasa tawadhu mengucapkan tahiyat dan penghormatan kepada Allah, juga salam kepada Nabi Saw, dan mendoakan keselamatan untuk sesamanya.

Gus Baha di dalam kesempatan yang lain juga mengatakan bahwa pahala orang yang melakukan salat sama seperti halnya orang haji dan umrah. Hal itu dijelaskan dalam kitab Qunudus Sa’adah KH Hamid Pasuruan. Setiap bacaan salat memiliki makna yang luar biasa, jika seorang meniatkan ‘Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah’  maka pahalanya setara dengan haji dan umrah.

Menurutnya keistimewaan para auliya adalah negosiasinya dengan Allah sebagaimana hal itu juga dilakukan Rasulullah, agar ibadah yang dikerjakan oleh umat bisa lebih mudah. Sehingga Nabi Saw mati-matian memohon kepada Allah agar umatnya diberikan pertolongan oleh-Nya.

“Berkat rahmat dan syafaat Rasulullah tersebut, yang Islam akan masuk surga, yang penting bukan kafir. Namun hal ini jangan dijadikan dalil untuk kita melakukan maksiat hanya fasilitas saja,” pungkas Gus Baha. Wallahu a’lam bisshowab.

Kontributor