Allah Swt. adalah dzat Yang Maha Esa. Segala yang terkait dengan Allah adalah Esa, baik Esa dzat-Nya, sifat-Nya serta perbuatan-Nya. Sifat tentang keesaan Allah digambarkan dengan jelas dalam surat Al-Ikhlas, mulai dari sejak awal hingga akhir ayatnya. Lalu bagaimana memaknai keesaan ini? Dan bagaimana penafsiran yang tepat untuk surat Al-Ikhlas?
Syahdan. Memang bisa saja ada orang berkata “saya bisa buktikan bahwa tidak ada Tuhan”. Dan, memang kita tidak bisa melayani akal dengan akal. Akal yang membuktikan adanya Tuhan (wujudnya Tuhan), akal orang lain pun yang dia gunakan juga bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Akan tetapi, coba tanya atau coba perhatikan ketika dia dalam keadaan krisis. Misalnya, anaknya sakit pasti dia pergi ke dokter, kalau sudah sembuh dia ke dukun dulu.
Bahwa bukti yang paling kuat tentang wujud Tuhan itu di hati manusia. Kaum musyrik juga digambarkan seperti itu. Jelasnya, kalau mereka sudah di laut dan ombak membahana, maka ketika itu tinggalkan semua sembahannya. Mereka hanya akan ingat Tuhan.
Makna Qul Huwal laahu Ahad
Allah Swt. berfirman:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ. اَللّٰهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ ۙ وَلَمْ يُوْلَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.” “Allah tempat meminta segala sesuatu.” “(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.” “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Kata Quraish Shihab, sebenarnya kata “Ahad” berakar dari kata “Wihdah”. Ia serupa dengan kata “Wahid”. Akan tetapi, kata Ahad berbeda dengan kata Wahid. Jangan artikan “Qul Huwal laahu Ahad” bahwa Allah itu satu. Kenapa demikian? Jika Anda berkataa, satu, apakah bisa terbayang nol? Apakah bisa ada penambahannya jadi dua? Demikian pula jika Anda berkata satu-satunya apakah bisa terbayang nol? Apakah bisa terbayang dua?
Menarik untuk kita ketahui bahwa kata Ahad itu bisa berfungsi sebagai nama dan sifat. Jika Anda berkata “Yaumul Ahad” (hari Ahad), apakah ahad di sini sifat atau nama? Yang jelas, kalau “Allahu Ahad” maka dia sifat. Jadi sifat-Nya itu Ahad. Apa yang berkaitan dengan-Nya, semua satu-satunya tidak ada duanya, dan sekaligus tidak bisa tidak ada (Qul Huwal laahu Ahad).
Memang, al-Qur’an juga menyatakan “Wahid” (Wa Ilaahukum Ilaahun Waahid). Wahid di sini maksudnya adalah sifat-sifat-Nya plus Dzat-Nya. Jika Anda berkata Ahad itu hanya menunjuk yang satu-satunya. Kalau Anda berkata Wahid, maka disitu menunjuk sifat-sifat-Nya dan Dzat-Nya.
Jika ditanya Allah Maha Esa, apakah ada sifat-Nya? Jawabannya ada. Lalu apakah Allah melihat dengan penglihatannya dan mendengar dengan pendengarannya? Namun demikian, ada faham yang menyatakan kalau Anda berkata “Tuhan punya sifat dan banyak sifat-Nya, maka itu berarti banyak Tuhan” ini paham Muktazilah. Ada lagi yang berkata “Tuhan punya mata, apakah Tuhan ada matanya?” Ini paham salaf. Ada yang berkata lagi “Tuhan punya mata tetapi bukan mata seperti makhluk”.
Bahwa, lanjut Quraish Shihab, sangat populer dalam pandangan kelompok Asy’ariyah bahwa Tuhan punya sifat-sifat yang berbeda dengan Dzat-Nya (ada Dzat-Nya dan sifat-Nya). Allah Maha Esa.
Pertama, Esa dalam Dzat-Nya, tidak ada yang sama dengan Dzat Tuhan. Dan, Dzat Tuhan itu tidak terdiri dari bagian-bagian-Nya. Misalnya, jam tangan satu, apakah ada bagian-bagiannya? Jawabannya ada. Tuhan “satu”, apakah ada bagian-bagian-Nya atau tidak? Jawabannya tidak ada. Jam tangan yang satu itu ada rantai, kaca, jarum dan lainnya. Lalu apa bisa dia jadi jam tangan jika tidak ada jarumnya? Tentunya tidak bisa. Makanya dia membutuh jarum dan lain sebagainya.
Kalau kita berkata Tuhan itu Esa dalam Dzat-Nya, lantas ada oknum-oknum-Nya, ada bagian-bagian-Nya, maka berarti Tuhan itu butuh. Jadi kita percaya bahwa Dia tidak terdiri dari bagian-bagian apapun. Dia Maha Esa dalam Dzat-Nya. Tentunya, kita tidak bisa membayangkan, sekalipun Anda mencari maka tidak akan ketemu. Yang jelas mengherankan!
Kedua, Dia Esa dalam sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan sifat Allah. Bisa jadi ada sesuatu yang sifatnya memiliki nama yang sama dengan nama sifat Allah, tetapi substansinya berbeda. Contohnya, Rasulullah itu rahiim atau bukan? Ya rahiim. Allah juga rahiim. Apakah sama rahmat Rasulullah dengan rahmat Allah? Tidak. Jadi artinya, walaupun penamaan dari sifat itu sama, tetapi substansinya berbeda. Maha Esa dalam sifat-sifat-Nya itulah Tuhan.
Ketika Allah berfirman “Ahad”, Esa dalam perbuatannya, tidak ada yang terjadi di alam raya ini atau di luar alam raya, kecuali atas izin-Nya. Dia yang melakukan itu bisa jadi secara langsung atau melalui sistem yang ditetapkannya. Artinya, apapun yang kita lakukan, maka itu tidak bisa terjadi kecuali atas izin-Nya. Jadi, yang memberi Anda kekuatan dan pengetahuan untuk melakukan ini dan itu adalah Allah.
Ketiga, karena Dia satu-satunya, Dia Maha Esa dalam Dzat-Nya dan perbuatan-Nya. Misalnya, Anda taat pada sesuatu itu, sebabnya apa? Kenapa taat? Kenapa misalnya seorang anak disuruh oleh orang tuanya lakukan ini, lantas dia patuh? Kenapa dia patuh? Bisa jadi karena cinta dan takut. Namun, kalau karena takut, apakah ketakutan itu ada sebabnya atau tidak? Yang jelas pasti ada sebabnya.
Karena itu, dalam hidup ini, orang yang lemah secara sadar atau tidak, maka harus lebih patuh kepada yang lebih kuat dari dia (hukum alam). Kalau Anda percaya bahwa Dia yang satu-satunya, Dia yang memiliki sifat yang tidak bisa dimiliki oleh siapapun, Dia yang menguasai alam raya ini termasuk diri Anda, apakah Anda wajar patuh atau tidak? Jawabannya ya harus patuh. Anda wajar patuh sama Dia dan sama yang lain atau tidak?
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Artinya: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepad sang Khaliq (Allah).” (Shohih al-Bukhori Akhbarul Ahad (6830), Shahih Muslim al-Imaroh (1840), Sunan an-Nasa’i al-Bai’ah (4205), Sunan Abi Daud al-Jihad (2625) dan Musnad Ahmad bin Hanbal (1/94).
Jika demikian, kepercayaan kita tentang keesaan Allah Swt. yang tiga itu, mengharuskan kita patuh hanya pada Dia. Ibadah hanya untuk Allah Swt. Keesaan dalam kepatuhan dan keesaan dalam beribadah kepada Allah itulah ahad.
Lalu apa artinya Shamad?
Shamad itu artinya “padat”. Sangat padat sehingga berpori-pori pun tidak. Itu artinya, jika sesuatu itu tidak berpori-pori, apakah bisa ada sesuatu yang masuk ke dalamnya? Bisakah sesuatu keluar darinya? Dia tidak makan, minum, dan bahkan berkeringat. Itulah shamad.
Shamad dalam bahasa berarti tokoh yang diandalkan. Allahu as-Shamad adalah wujud yang diandalkan semua makhluk dan tumpuan harapan. Anda boleh mengharap pada manusia, tetapi ketika mengharap pada manusia, maka arahkan harapan Anda kepada Tuhan. Kenapa demikian? Sebab, boleh jadi manusianya banyak kemungkinan. Misalnya, saya berharap si A membantu saya, dan boleh jadi si A tidak mau bantu, bahkan tidak mempunyai apa-apa untuk membantu.
Jadi, akhirnya semua mengarah kepada Allahu Shamad. Begitu Anda mengharap kepada orang lain tanpa mengingat Tuhan, maka harapan Anda belum tentu terkabul. Inilah yang dimaksud Allahu Shamad.
Kenapa Dia tidak beranak?
Jawabannya, karena anak itu naluri manusia menginginkan anak (antara lain), supaya namanya kekal berkelanjutan, dan anaknya bisa membantu dia. Lalu apakah Allah perlu dibantu? Lam yalid sekaligus lam yuulad (tidak beranak dan tidak diperanakkan).
Dari sini kita tahu, bahwa tidak ada yang setara dengan-Nya. Lalu apa maksud dari setara ini? Ada ulama mengartikan “Kufuwan” itu artinya istri. Karena pasangan hidup Anda itu harus setara dengan Anda. Namun Allah Swt. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dalam surat Al-Jinn dinyatakan, Allah Swt. berfirman:
وَّاَنَّهٗ تَعٰلٰى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَّلَا وَلَدًا
Artinya: “Dan sesungguhnya Maha Tinggi keagungan Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak beranak.” (QS. Al-Jinn [72]: 3).
Ayat ini, katanya, menafsirkan ayat: “Lam yalid wa lam yuulad Wa lam yakul-lahu kufuwan ahad.”
لَمْ يَلِدْ ۙ وَلَمْ يُوْلَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحد
Artinya: “(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 3-4).
Ada lagi yang berkata “Tidak ada yang sama dengan-Nya”. Tidak ada yang sama dalam kenyataan wujud atau dalam imajinasi Anda. Tidak sama. Sebabm imajinasi itu bisa tidak ada wujudnya. Misalnya, apakah ada kuda yang terbang? Gatotkaca apakah ada atau tidak? Jika tidak ada, kenapa Anda takut bilang tidak ada! Tetapi, manusia ingin menggambarkan ada sosok superman, iya kan? Jadi dia membuat imajinasi, yang sementara wujudnya tidak ada karena hanya ada dalam khayalan.
Ketika Allah berfirman “Tidak ada samanya”, maka itu berarti tidak ada samanya dalam kenyataan atau dalam imajinasi Anda. Begitu Anda berimajinasi Tuhan seperti ini, maka yakinlah bahwa Tuhan tidak seperti itu walaupun dalam imajinasi.
Jika demikian, berarti hakikatnya Tuhan tidak bisa diketahui karena tidak ada samanya. Terlepas dari itu, Anda harus percaya bahwa Dia wujud, tapi bagaimana Dia, jawabannya wallahu a’lam. Itu sebabnya, Al-Ghazali berkata: “Kita harus mensucikan Allah dari sifat-sifat kesempurnaan yang kita berikan pada Allah Swt., karena sifat kesempurnaan yang berikan kepada Allah itu masih belum sama hakikatnya dengan Allah Swt.” Wallahu a’lam bisshawab.