Salat adalah salah satu pilar utama dalam Islam yang secara fundamental dikenal sebagai kewajiban mutlak bagi setiap Muslim. Namun, di balik pemahaman dasar ini, terdapat lapisan makna dan esensi yang sering kali terabaikan oleh banyak orang.
Menurut M. Quraish Shihab, pemahaman yang keliru mengenai perintah salat telah menyebabkan banyak umat Islam tidak hanya lalai dalam melaksanakannya, tetapi juga melakukan kesalahan mendasar yang mengurangi kesempurnaan salat itu sendiri.
Tulisan ini akan mengupas lebih dalam tentang makna salat, kebutuhan manusia akan doa, dan pentingnya melaksanakan salat secara sempurna, bukan hanya sekadar mendirikan gerakan.
Secara etimologi, salat memiliki makna yang jauh lebih luas daripada sekadar “sembahyang” atau ritual. Kata salat berasal dari bahasa Arab yang berarti “doa” atau “permohonan dari yang rendah kepada yang tinggi.” Makna ini menyoroti hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya.
Para ulama, dengan ketelitiannya, bahkan enggan menggunakan kata “agama” dan lebih memilih “din” untuk merujuk pada Islam, karena din mencakup hubungan yang lebih komprehensif, tidak hanya antara manusia dan Tuhan, tetapi juga antar sesama dan dengan lingkungan.
Salat, dalam konteks ini, adalah manifestasi dari kebutuhan jiwa dan akal manusia untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta.
Seorang filsuf psikolog bernama William James (1842-1910) pernah mencatat bahwa kebutuhan untuk berdoa adalah naluri universal manusia. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang, pasti pernah merasakan harapan atau ketakutan yang tidak bisa dipenuhi oleh kekuatan manusia semata. Dalam momen-momen kebuntuan seperti ini, jiwa manusia secara alami akan “mendongak ke atas,” mencari kekuatan yang lebih tinggi.
Kebutuhan ini diperkuat oleh filsuf Mesir, Abbas Al-Aqqad (1889-1964), yang berpendapat bahwa salat juga merupakan kebutuhan akal. Akal manusia membutuhkan kepastian akan hukum alam, dan keyakinan akan adanya satu Penguasa alam semesta yang mengatur segalanya memberikan kepastian tersebut.
Tanpa keyakinan ini, akal akan diliputi oleh kebingungan dan ketidakpastian. Dengan demikian, salat adalah sebuah respons alami dan rasional terhadap realitas eksistensial manusia.
Dalam Al-Qur’an, perintah untuk salat seringkali diungkapkan dengan kata kerja “aqimu,” seperti “aqimus shalah” (dirikanlah salat). Quraish Shihab menjelaskan bahwa “aqimu” tidak hanya berarti mendirikan secara fisik, tetapi juga “melaksanakan secara sempurna.” Ini mencakup pemenuhan seluruh rukun, syarat, sunah, dan yang paling penting, khusyuk.
Banyak orang yang salat, tetapi sedikit yang benar-benar “yuqimus shalah”–mendirikannya dengan sempurna. Salat yang sempurna bukan hanya serangkaian gerakan tanpa makna; melainkan sebuah dialog mendalam yang melibatkan hati, pikiran, dan tubuh.
Salah satu contoh kesalahan yang paling umum terjadi dalam salat adalah kurangnya perhatian terhadap rukun-rukunnya, seperti sujud yang tidak sempurna. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa sujud harus dilakukan dengan menempatkan tujuh anggota tubuh di lantai: dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari-jari kedua kaki.
Seringkali, ada orang yang sujud dengan salah satu kaki terangkat, yang dapat membatalkan salat. Pengetahuan yang kurang mengenai hal-hal fundamental ini menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang salat seringkali dangkal. Padahal, hanya dengan memahami dan melaksanakan setiap detail dengan sempurna, salat dapat menjadi ibadah yang benar-benar bermakna dan diterima.
Secara keseluruhan, salat adalah lebih dari sekadar rutinitas harian. Ia adalah ekspresi kebutuhan jiwa dan akal manusia, sekaligus sebuah perintah ilahi yang menuntut kesempurnaan.
Oleh karena itu, kita perlu terus-menerus meninjau kembali dan memperbaiki pelaksanaan salat kita. Dengan demikian, salat tidak hanya menjadi kewajiban yang ditunaikan, tetapi juga sarana untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan mendalam dengan Allah SWT. Wallahu a’lam.















Please login to comment