Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Merunduk untuk Terangkat: Etika Murid di Tengah Budaya Sombong Intelektual

Avatar photo
587
×

Merunduk untuk Terangkat: Etika Murid di Tengah Budaya Sombong Intelektual

Share this article
Adab dan hierarki moral dalam menuntut ilmu, tampaknya sudah mulai pudar.
Adab dan hierarki moral dalam menuntut ilmu, tampaknya sudah mulai pudar.

Saya sering gelisah melihat pemandangan yang kian lazim di dunia akademik maupun ruang publik kita: orang-orang berlomba jadi “yang paling tahu”, bukan “yang paling mau belajar”. Media sosial sudah seperti pasar pendapat, semua bicara, sedikit mendengar. Orang mudah menyepelekan guru, dosen, bahkan ulama, dengan dalih “kita sudah punya akses ilmu di internet”. Tapi saya selalu teringat pesan para ulama klasik: ilmu itu bukan sekadar informasi, ia adalah nur, cahaya yang tak akan masuk ke hati yang sombong.

Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, menulis satu bagian yang membuat saya sering menunduk lama ketika membacanya. Beliau berkata:

وينبغي أن يتواضع لمعلمه ويطلب الثواب والشرف بخدمته

“Seharusnya seorang murid bersikap tawaduk kepada gurunya dan mencari kemuliaan dengan melayaninya.”

Lalu al-Ghazali menukil kisah yang indah tentang dua sahabat besar Nabi:

قال الشعبي صلى زيد بن ثابت على جنازة فقربت إليه بغلته ليركبها فجاء ابن عباس فأخذ بركابه فقال زيد خل عنه يا ابن عم رسول الله ﷺ فقال ابن عباس هكذا أمرنا أن نفعل بالعلماء والكبراء فقبل زيد بن ثابت يده وقال هكذا أمرنا أن نفعل بأهل بيت نبينا ﷺ

Suatu hari, Zaid bin Tsabit sedang shalat jenazah. Setelah selesai, kudanya didekatkan agar ia bisa naik. Datanglah Ibnu ‘Abbas, seorang ulama muda dan sepupu Rasulullah, lalu memegang tali kekang kuda Zaid agar ia mudah naik. Zaid menolak dengan hormat, “Wahai putra paman Rasulullah, jangan lakukan itu.”

Namun Ibnu ‘Abbas menjawab, “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama dan orang-orang besar.”

Mendengar itu, Zaid turun, mencium tangan Ibnu ‘Abbas, dan berkata, “Dan beginilah kami diperintahkan memperlakukan keluarga Nabi kami.”

Kisah itu bagi saya bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah teguran lembut tentang adab dan hierarki moral dalam menuntut ilmu, sesuatu yang tampaknya sudah mulai pudar. Ibnu ‘Abbas dan Zaid bin Tsabit sama-sama ulama besar. Tapi keduanya justru berlomba merendah di hadapan yang lain. Dalam dunia modern yang haus “pengakuan”, adab seperti ini terdengar langka.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ليس من أخلاق المؤمن التملق إلا في طلب العلم

“Bukan termasuk akhlak orang beriman sikap ‘tamalluq’, kecuali dalam menuntut ilmu.”

Kata tamalluq di sini bermakna tadharra‘ lahu fauqa mā yanbaghī, merendahkan diri melebihi kadar yang seharusnya. Menariknya, dalam konteks biasa, sikap seperti ini dilarang karena mendekati kemunafikan. Tapi dalam menuntut ilmu, justru disunnahkan. Karena ilmu tidak akan bersemayam di hati yang keras dan penuh keangkuhan.

Saya jadi berpikir, mengapa para ulama menekankan hal ini dengan begitu kuat? Sebab, bagi mereka, ilmu bukan semata hasil rasionalitas, tapi juga hasil tazkiyah, penyucian jiwa. Ketika seseorang menuntut ilmu dengan hati sombong, maka ia hanya akan mendapat “teks”, bukan “makna”.

Itulah sebabnya, Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata,

أنا عبدُ مَنْ علمني حرفًا واحدًا إن شاء باع، وإن شاء استرق

“Aku adalah hamba bagi siapa pun yang mengajariku satu huruf…”

Kalimat sederhana, tapi sarat makna. Ia menyadarkan saya bahwa belajar sejatinya adalah proses perhambaan, bukan pada guru, tapi pada kebenaran yang diwakilinya. Dalam budaya Islam klasik, guru bukan sekadar “penyampai materi”, tapi perantara barakah ilmu. Maka, ketika kita merendahkan guru, sebenarnya kita sedang menutup pintu keberkahan itu sendiri.

Saya pernah mendengar seseorang berkata dengan nada sinis, “Sekarang bukan zamannya mencium tangan guru, yang penting punya argumen.” Pernyataan ini terdengar logis di permukaan, tapi ada kesombongan halus di baliknya. Tentu, berpikir kritis itu wajib. Tapi kritik tanpa adab hanya akan melahirkan arogansi intelektual.

Di kampus-kampus hari ini, saya melihat banyak mahasiswa (termasuk mungkin saya sendiri di masa lalu) yang lebih sibuk “menandingi” dosennya daripada menyerap ilmunya. Semangat akademik sering kali berubah menjadi ego kompetitif. Kita bangga dengan gelar, tapi lupa bahwa gelar bukan ukuran kedalaman, melainkan hanya tanda telah “menyelesaikan” sesuatu, bukan berarti telah “memahami”.

Imam al-Ghazali pernah menulis bahwa di antara penyakit penuntut ilmu adalah hubb al-jāh, cinta pada kedudukan dan pengakuan. Orang belajar bukan untuk mendekat kepada Allah atau memperbaiki diri, melainkan untuk tampil pintar. Ilmu pun akhirnya menjadi alat status sosial, bukan jalan menuju kebijaksanaan.

Saya suka membayangkan perbedaan antara dua jenis murid: yang satu datang ke majelis ilmu dengan dada terbuka, yang lain datang dengan dada membusung. Yang pertama haus akan kebenaran, yang kedua haus akan pengakuan. Padahal, keduanya bisa membaca buku yang sama, tapi hasilnya berbeda.

Murid yang tawaduk akan mendapat “cahaya” ilmu. Ia membaca dengan hati yang lembut, sehingga setiap kata bisa menumbuhkan hikmah. Sedangkan yang sombong hanya mendapat data, kering dan tak menyentuh jiwa.

Kita bisa melihat fenomena ini bahkan di dunia digital. Banyak orang fasih berbicara agama di media sosial, tapi kurang memiliki kerendahan spiritual. Mereka pintar berdebat, tapi miskin adab. Sementara para ulama dulu, meski tak banyak bicara, justru menyalakan cahaya bagi generasi setelahnya.

Saya kira inilah paradoks zaman kita: ilmu mudah diakses, tapi sulit menumbuhkan kebijaksanaan. Semua bisa menjadi “cerdas”, tapi sedikit yang benar-benar “berilmu”. Dan akar masalahnya sering kali satu, hilangnya tawaduk.

Tawaduk bukan berarti rendah diri, melainkan sadar diri. Ia bukan tanda kelemahan, tapi tanda kematangan. Orang yang benar-benar berilmu justru makin merasa kecil di hadapan keluasan pengetahuan.

Saya selalu teringat nasihat Imam al-Ghazali di bagian lain: “Ilmu itu tak akan diberikan kecuali kepada orang yang mau merendah sebagaimana air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah.”

Maka, kalau saya merasa sulit memahami sesuatu, mungkin bukan karena teksnya yang rumit, tapi karena hati saya belum cukup rendah untuk menerimanya.

Tawaduk pada guru adalah bentuk pengakuan atas keterbatasan diri. Dan pengakuan itu, justru awal dari kebebasan intelektual. Karena hanya orang yang sadar bahwa dirinya “tidak tahu” yang bisa terus tumbuh belajar.

Saya menulis ini bukan karena saya sudah sempurna dalam adab menuntut ilmu. Justru karena saya terlalu sering lupa menunduk di hadapan ilmu itu sendiri. Saya pernah merasa cukup pandai untuk berdebat, tapi lupa bahwa setiap kata bisa kehilangan ruhnya jika diucapkan tanpa hormat.

Kisah Zaid bin Tsabit dan Ibnu ‘Abbas bukan sekadar romantika klasik; ia adalah cermin tempat kita melihat diri sendiri, apakah kita masih tahu bagaimana caranya menghormati sumber ilmu? Hari ini kita sibuk mengkritik guru, menertawakan ustaz di media sosial, bahkan mengoreksi ulama hanya bermodal cuplikan video tiga menit. Kita mengaku mencari kebenaran, padahal yang kita cari sering kali hanya pembenaran.

Padahal, ilmu tidak akan pernah tunduk kepada orang yang datang dengan dada membusung. Ia hanya akan bersemayam di hati yang tahu cara berlutut. Sebab cahaya tidak akan jatuh ke tempat yang lebih tinggi; ia selalu turun ke tanah yang rendah.

Maka saya belajar satu hal yang sederhana tapi menampar: kadang untuk terangkat, kita harus rela merunduk. Kadang untuk menjadi cerdas, kita harus belajar menjadi rendah. Dan kadang, untuk benar-benar tahu, kita harus berani mengakui bahwa kita belum tahu apa-apa.

Kalau setiap murid, dosen, dan pencari ilmu di zaman ini kembali menanamkan rasa takzim itu, rasa bahwa guru bukan lawan debat, tapi perantara rahmat, mungkin wajah ilmu akan kembali bercahaya. Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi yang menerangi jalan.

Karena sejatinya, menuntut ilmu bukan tentang siapa yang paling tinggi berbicara, tapi siapa yang paling dalam menunduk.

Kontributor

  •  Wandi Isdiyanto

    Saat ini menjadi tenaga pengajar Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur. Meminati kajian tafsir, hadits, fikih, ushul fikih dan sejarah.