Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ketika Trans7 Salah Membaca Dunia Pesantren

Avatar photo
1955
×

Ketika Trans7 Salah Membaca Dunia Pesantren

Share this article
Di pesantren tunduk bukan berarti takluk. Mencium tangan bukan perbudakan, tapi cara tubuh berbicara tentang hormat.
Di pesantren tunduk bukan berarti takluk. Mencium tangan bukan perbudakan, tapi cara tubuh berbicara tentang hormat.

Kadang ada yang menuduh, bahwa pesantren adalah ruang yang feodal. Bahwa di sana, para santri tunduk, membungkuk, mencium tangan, seolah sedang menyembah hierarki. Tapi tuduhan itu hanya melihat gerak, tanpa membaca makna.

‎Sebab di pesantren, tunduk bukan berarti takluk. Mencium tangan bukan bentuk perbudakan, tapi cara tubuh berbicara tentang hormat. Ia lahir bukan dari ketakutan, melainkan dari cinta—cinta pada ilmu, pada yang menyalakan cahaya pengetahuan.

‎Feodalisme adalah struktur yang memaksa, sedang ta‘zim adalah kesadaran yang tumbuh dari dalam. Kata Al-Ghazali, akhlak itu bukan topeng perilaku, tapi daya spontan dari jiwa. Maka jika seorang santri menunduk saat lewat di depan kiai, itu bukan karena diperintah, tapi karena sesuatu dalam dirinya telah terdidik untuk merendah di hadapan ilmu.

‎Jangankan kepada kiai, kepada seorang non-Muslim yang berilmu pun santri akan bersikap sama: menghormati, menahan diri, tidak lancang. Itu sudah mendarah daging—sebuah habitus yang terbentuk dari lembar-lembar kitab Ta‘limul Muta‘allim, dari kisah para ulama yang hidupnya adalah cermin adab.

‎Aku masih ingat, dulu di pesantren, kami para santri justru sering ‘kabur’ ketika kiai lewat. Bukan karena benci, tapi karena sungkan. Seolah di hadapan beliau, dosa-dosa kami tiba-tiba tampak jelas. Entah mengapa, ada rasa malu yang lembut, ada daya yang tak bisa dijelaskan logika: bahwa kiai, bagi kami, adalah wasilah ruhani untuk mengingat Tuhan.

‎Ada hadis yang selalu terlintas di kepala: tentang seseorang yang diminta Nabi untuk berhenti berbohong. Hanya itu. Tapi karena takut berbohong, ia akhirnya tak lagi berbuat maksiat. Sebab setiap kali ia akan berdusta, ia ingat Nabi. Begitu juga kami di pesantren: setiap kali melihat kiai, kami seolah diingatkan bahwa hidup ini diawasi, ada yang lebih tinggi, lebih suci.

‎Dan di tengah semua itu, tiba-tiba sebuah stasiun televisi nasional—Trans7—menyimpulkan lain. Dengan ringan, mereka memberi framing bahwa hubungan santri dan kiai adalah feodal. Entah kenapa, kesimpulan itu terasa tergesa. Seolah dibangun bukan dari proposisi yang benar, tapi dari prasangka yang dipoles jadi narasi. Fatalnya, yang dijadikan contoh justru pesantren sebesar Lirboyo—yang bagi banyak santri adalah simbol keluhuran adab dan keluasan ilmu.

‎Aku menduga, konsultan keagamaan di sana bukan santri. Atau mungkin santri, tapi kehilangan rasa terhadap dunia yang melahirkannya. Dunia yang tak bisa dibaca dengan kacamata politik sosial semata, karena ia berdenyut dengan nilai-nilai spiritual yang lebih halus dari sekadar relasi kuasa.

‎Sebab kalau mereka mau datang dan melihat, pesantren justru tempat paling egaliter yang bisa dibayangkan. Lihatlah forum bahtsul masail, bagaimana seorang kiai bisa didebat oleh santri, bagaimana pendapat diuji, dan kebenaran dicari bersama. Tapi di luar forum itu, di jalan, di halaman masjid, para santri tetap mencium tangan. Karena bagi mereka, ilmu adalah ruang diskusi, tapi adab adalah napas.

‎Barangkali dunia modern memang kesulitan memahami sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh teori sosial. Dunia yang terbiasa mengukur segalanya dengan struktur, lupa bahwa ada yang disebut kehalusan jiwa.

‎Ta‘zim bukan feodalisme. Ia adalah bentuk keindahan batin yang menjadikan pengetahuan bukan hanya sesuatu yang dipelajari, tapi sesuatu yang dimuliakan. Dan mungkin, di sanalah letak kemanusiaan kita yang tersisa.

Trans7 harus berbenah—bukan sekadar karena salah menyimpulkan, tapi karena kesalahan itu lahir dari ketidaktahuan terhadap dunia yang mereka tafsirkan. Sudah sepatutnya mereka mengganti konsultan keagamaan di programnya dengan sosok yang benar-benar memahami kultur keilmuan pesantren. Agar media tak hanya pandai membentuk opini, tapi juga jujur dalam memahami ruh kehidupan yang ingin mereka bicarakan.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.