Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Desakralisasi Pesantren dan Krisis Etika di Era Post-truth: Membaca Luka dari Kasus Trans7

Avatar photo
1123
×

Desakralisasi Pesantren dan Krisis Etika di Era Post-truth: Membaca Luka dari Kasus Trans7

Share this article
Ramai dukungan untuk seruan boikot Trans7.
Ramai dukungan untuk seruan boikot Trans7.

Pesantren dalam Arus Benturan Peradaban: Antara Adab dan Sekularisme Baru

Pesantren sejak awal berdirinya bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi pusat formasi adab, akhlak, dan pengetahuan yang menyatukan dimensi duniawi dan ukhrawi. KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim menegaskan: “Man lam yu‘azzim al-‘ilma wa ahlahu fa qad hurima barakatahu”—“Siapa yang tidak mengagungkan ilmu dan ahlinya, maka terhalang dari keberkahannya.” (Jombang: Maktabah Tebuireng, 2006, hlm. 12).

Namun, di era modern, nilai “adab” sering dipandang sebagai hierarki usang yang mengekang kebebasan individu. Di sinilah sekularisme baru beroperasi: ia menempatkan otonomi individu di atas otoritas moral. Dalam perspektif Charles Taylor (A Secular Age, Harvard University Press, 2007, hlm. 3), sekularisme bukan sekadar hilangnya agama dari ruang publik, tetapi bergesernya horizon makna manusia dari yang transenden menuju yang imanen. Tayangan Trans7 yang memotret KH. Anwar Mansur dengan framing satir adalah cermin dari horizon imanen itu—agama diperlakukan sebagai objek hiburan, bukan sumber kebijaksanaan.

Padahal, menurut Al-Ghazali (Ihya’ ‘Ulum al-Din, Dar al-Ma‘rifah, 2002, hlm. 43), ilmu harus disertai adab, karena ilmu tanpa adab adalah “keangkuhan terselubung.” Ketika adab hilang, ilmu berubah menjadi alat dominasi, dan media menjadi senjata simbolik. Edward Said dalam Orientalism (1978, hlm. 12) menulis: “To speak of the Orient is to dominate it, to restructure and to have authority over it.” Demikian pula, media sekular yang berbicara tentang pesantren kerap tanpa memahami spiritnya, tetapi justru merekonstruksi citra pesantren menurut logika pasar.

Maka, kritik terhadap pesantren dari kacamata media sekular sebenarnya adalah bentuk “orientalisme domestik”—kolonialisasi nilai dari dalam bangsa sendiri. Pesantren, yang mestinya dihormati sebagai ruang sakral pembentukan akhlak, kini diseret dalam logika tontonan. Inilah awal dari desakralisasi yang paling halus: ketika yang sakral dijadikan lucu, dan yang luhur dijadikan meme.

Etika yang Roboh di Era Post-truth: Ketika Media Menjual Luka dan Keberpihakan

Kita hidup dalam era post-truth, ketika fakta dikalahkan oleh emosi dan kebenaran dikalahkan oleh efek. Ralph Keyes menyebutnya “the age of the plausible lie”—zaman kebohongan yang tampak masuk akal (The Post-Truth Era, New York: St. Martin’s Press, 2004, hlm. 14). Dalam konteks ini, jurnalisme tak lagi mengejar kebenaran, tetapi mengejar viralitas.

Tayangan Trans7 yang memotong konteks KH. Anwar Mansur merupakan contoh nyata dari apa yang disebut Jean Baudrillard (Simulacra and Simulation, Paris: Galilée, 1981, hlm. 23) sebagai hyperreality—kondisi ketika citra menjadi lebih “nyata” daripada kenyataan. Masyarakat tidak lagi melihat kiai sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana media ingin ia tampak. Realitas digantikan oleh simulasi, dan dalam simulasi itu, etika kehilangan tempat.

Dalam tradisi Islam, kebenaran (al-ḥaqq) adalah satu kesatuan antara ucapan, niat, dan akhlak. Al-Raghib al-Asfahani dalam Mufradat al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1992, hlm. 131) mendefinisikan “ḥaqq” sebagai sesuatu yang “tidak mungkin berubah karena kejujurannya berasal dari Tuhan.” Maka, ketika media mempermainkan kebenaran, ia sedang menistakan nilai ilahiah.

Immanuel Kant mengingatkan dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (Cambridge University Press, 1997, hlm. 18): “Act only according to that maxim whereby you can at the same time will that it should become a universal law.” Prinsip ini selaras dengan maqasid Islam—bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menyalahi kaidah moral universal. Jika tayangan yang menistakan ulama dianggap “kebebasan berekspresi,” maka kita sedang menurunkan standar moral bangsa ke titik nadir.

Dalam etika jurnalisme Islam, seperti dirumuskan oleh Ziauddin Sardar (Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, London: Mansell, 1985, hlm. 72), tujuan media bukan sekadar mengabarkan, tetapi “to create a moral order through truth.” Ketika media berhenti menegakkan moralitas, ia menjadi instrumen destruktif yang memecah umat dan melemahkan adab sosial. Kasus Trans7 membuktikan bahwa kejatuhan etika lebih berbahaya daripada kejatuhan ekonomi: yang pertama menghancurkan kepercayaan, yang kedua hanya menguras harta.

Jurnalisme Provokatif dan Kematian Kebenaran: Analisis Teori Media dan Kuasa Simbolik

Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (Harvard University Press, 1991, hlm. 37) menulis: “Words do things. They impose, they authorize, they legitimate.” Media memiliki kuasa simbolik—ia tidak hanya memberitakan, tetapi juga menciptakan hierarki makna. Maka ketika Trans7 menayangkan simbol pesantren dalam bingkai penghinaan, itu bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan tindakan hegemonik: merendahkan makna sakral di hadapan logika pasar.

Dalam teori Michel Foucault (Power/Knowledge, Pantheon Books, 1980, hlm. 82), pengetahuan adalah alat kekuasaan: siapa yang mampu mengontrol wacana, ia mengontrol kebenaran. Media, dalam posisi ini, menjadi pengatur kebenaran publik. Dan di sinilah bahaya laten jurnalisme provokatif—ia menukar kebenaran dengan retorika, menggantikan pengetahuan dengan kekuasaan.

Padahal, dalam epistemologi Islam, otoritas kebenaran tidak boleh lepas dari dimensi moral. Mulla Shadra dalam Al-Hikmah al-Muta‘aliyah (Teheran: Dar al-Hikmah, 1981, jilid IV, hlm. 215) menegaskan bahwa ilmu sejati adalah “perjalanan jiwa menuju cahaya wujud.” Maka, pengetahuan yang memprovokasi kebencian bukanlah ilmu, melainkan kegelapan.

Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (Polity Press, 1989, hlm. 129) mengidealkan media sebagai arena dialog rasional (deliberative sphere). Namun, ketika jurnalisme berubah menjadi komoditas, dialog digantikan oleh sorak penonton. Maka, kasus Trans7 bukan hanya persoalan editorial, tetapi bukti bahwa ruang publik kita telah kehilangan rasa hormat epistemik—kehilangan kepekaan terhadap makna sakral dalam kata.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini juga dapat dibaca dalam kerangka Ignas Kleden (Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm. 91): “Media kita lebih senang menjadi penghasut emosi daripada pengasah nalar.” Itulah bentuk kematian kebenaran dalam masyarakat post-truth — di mana kebohongan yang disajikan dengan gaya meyakinkan lebih dipercaya daripada kebenaran yang disampaikan dengan tenang.

Rekonstruksi Moral dan Kesadaran Publik: Jalan Tengah antara Tradisi dan Kritis

Setiap krisis besar adalah panggilan untuk rekonstruksi moral. Seyyed Hossein Nasr dalam Knowledge and the Sacred (SUNY Press, 1989, hlm. 83) mengingatkan: “Once knowledge is cut off from the sacred, it degenerates into information.” Dunia modern memuja informasi, tetapi kehilangan kebijaksanaan. Karena itu, tugas umat Islam bukan menolak modernitas, tetapi menenun kembali makna sakral di dalamnya.

Pesantren harus tampil bukan hanya sebagai penjaga tradisi, tetapi juga sebagai pengawal moral publik di tengah kebisingan media. Azyumardi Azra dalam Renaisans Islam Asia Tenggara (Jakarta: Rosda, 1999, hlm. 210) menulis: “Pesantren adalah benteng spiritualitas Islam yang menghubungkan wahyu dengan akal, adab dengan ilmu, dan masa lalu dengan masa depan.” Dalam semangat ini, membela pesantren dari penghinaan bukan tindakan sektarian, tetapi upaya mempertahankan keseimbangan spiritual bangsa.

Kita pun perlu mencontoh Gus Dur, yang tidak melawan kebodohan dengan kemarahan, melainkan dengan tulisan. Ketika beliau difitnah, beliau menulis: “Yang lebih penting dari pembelaan diri adalah menjaga agar umat tetap berpikir sehat.” (Gus Dur, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hlm. 11). Maka, jawaban terhadap penghinaan bukanlah kebencian, melainkan pencerahan.

Dalam logika tasawuf, kata al-Junayd al-Baghdadi (Risalah al-Qusyairiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, hlm. 37): “As-sukut ‘inda al-jahl hikmah.”—diam di hadapan kebodohan adalah kebijaksanaan. Namun diam di sini bukan pasif, melainkan sabar yang berbuah pencerahan. Maka, umat Islam harus mengubah amarah menjadi argumentasi, dan rasa sakit menjadi tulisan.

Kesimpulan: Membangun Kembali Marwah Kebenaran

Kasus Trans7 bukan sekadar kesalahan redaksi, tetapi gejala mendalam dari krisis spiritual masyarakat modern: hilangnya rasa hormat terhadap yang sakral. Media telah menjadi cermin dari dunia yang kehilangan adab, di mana kebenaran dijual, dan ulama diparodikan.

Namun dari luka ini, kita belajar bahwa pesantren tetaplah sumber moralitas bangsa. Ia bukan musuh modernitas, tetapi ruh yang menuntun modernitas agar tidak menjadi liar. Jalan keluar dari krisis ini adalah membangun jurnalisme beretika, berbasis maqasid syariah dan akhlak al-karimah; menumbuhkan kesadaran publik bahwa kebebasan berbicara tanpa adab hanyalah bentuk baru dari kezaliman simbolik.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Innama bu‘itstu liutammima makarimal akhlaq” — “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Malik, Al-Muwaththa’, no. 1614). Maka, mempertahankan marwah ulama dan pesantren bukan nostalgia masa lalu, melainkan manifestasi dari risalah Nabi: menjaga kemuliaan akhlak dalam wajah dunia yang semakin kehilangan cahaya.

Kontributor

  • Ahmad Ilham Zamzami

    Ahmad Ilham Zamzami, mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir pada jurusan Islamic Theology and Philosophy. Aktifis kajian dan literasi di PCINU Mesir.