Konteks Hukum dan Budaya
Pesantren merupakan salah satu pilar peradaban Islam tertua di Nusantara. Bukti sejarah menunjukkan bahwa lembaga pendidikan ini telah berdiri dan berkembang sejak datangnya Islam di Indonesia, diperkirakan sejak abad ke-13. Kehadiran Pesantren bukan hanya sekadar institusi pendidikan, melainkan manifestasi dari indigenous culture masyarakat Islam Indonesia yang turut serta dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa.
Kelembagaan Pesantren memiliki fungsi dualitas institusional yang unik. Secara tradisional, ia berfungsi sebagai pusat peradaban dan pewaris tradisi keilmuan Islam klasik, menanamkan keimanan, ketakwaan, serta menyemaikan akhlak mulia, yang bertujuan membentuk manusia dengan Weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Dalam konteks hukum modern Indonesia, Pesantren kini diakui secara formal sebagai subsistem pendidikan nasional, diatur secara spesifik melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 (UU 18/2019). Perlindungan negara terhadap Pesantren harus mempertimbangkan kedua peran ini secara simultan.
Pengakuan hukum yang diberikan oleh UU 18/2019, meskipun berorientasi pada pendidikan (sesuai Pasal 31 UUD 1945), secara esensial bertindak sebagai instrumen safeguarding (perlindungan) Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Hal ini disebabkan oleh regulasi tersebut secara eksplisit melindungi metodologi tradisional (seperti sorogan dan bandongan) dan kurikulum inti yang berbasis pada Kitab Kuning. Dengan demikian, legislasi ini menunjukkan sinergi antara kewajiban negara dalam bidang pendidikan dan kewajiban perlindungan kebudayaan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 32 UUD 1945.
Pesantren : Sesuai UU No. 18 Tahun 2019 Pasal 1, Pesantren didefinisikan sebagai lembaga berbasis masyarakat (termasuk Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain) yang didirikan oleh individu, yayasan, atau organisasi masyarakat Islam, yang fokus pada penanaman keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) : Merujuk pada Konvensi UNESCO 2003, WBTB mencakup praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan—serta instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya terkait—yang diakui oleh komunitas, kelompok, dan individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka.
Kitab Kuning : Merujuk pada literatur klasik Islam yang ditulis dalam bahasa Arab tanpa harakat (vokalisasi), yang menjadi landasan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu keislaman seperti fikih, tafsir, hadis, nahwu, dan tasawuf. Warna kertas yang dominan kuning menjadi alasan penamaannya.
Tinjauan Historis Pesantren: Bukti Autentisitas Sebagai ICH (Intangible Culture Heritage)
Keberadaan Pesantren sejak abad ke-13 memberikan justifikasi historis yang kuat mengenai authenticity (keaslian) dan continuity (kesinambungan) yang sangat penting untuk status WBTB. Pesantren tumbuh dan berkembang tanpa didahului izin atau regulasi ketat dari pemerintah kolonial, menunjukkan sifatnya sebagai lembaga yang murni berasal dari kehendak masyarakat.
Kontribusi Pesantren terhadap peradaban telah diakui luas. Intelektual seperti Nurcholish Madjid memandang Pesantren sebagai “bilik-bilik peradaban” yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga membentuk Weltanschauung (pondasi utama) yang bersifat menyeluruh, membekali santri dengan kemampuan untuk merespons tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu. Bahkan, institusi ini telah berkembang melampaui pendidikan keagamaan semata, dengan banyak pondok pesantren mendirikan sekolah hingga perguruan tinggi berorientasi keterampilan seperti kedokteran, komputer, atau manajemen bisnis.
Faktor internal utama yang mendukung eksistensi Pesantren adalah kemandirian institusionalnya. Kemandirian ini tercermin paling jelas dalam figur Kyai sebagai pemimpin dan pengasuh yang memiliki otoritas penuh terhadap keseluruhan lingkungan pesantren. Kyai adalah pemegang tradisi (knowledge bearer) dan pengambil keputusan tertinggi.
Kemandirian yang dipegang teguh oleh Kyai dan pesantren bukan semata aspek administratif atau keuangan. Otonomi ini pada dasarnya berfungsi sebagai mekanisme perlindungan budaya (self-safeguarding mechanism) yang diwariskan secara historis. Dengan otoritas penuh di tangan Kyai , tradisi inti Pesantren, terutama kajian Kitab Kuning dan metodologi pengajarannya, dapat dipertahankan dan ditransmisikan secara murni tanpa adanya intervensi atau gangguan eksternal yang dapat merusak otentisitas warisan tersebut. Pengakuan terhadap peran otonomi ini merupakan kunci dalam mengidentifikasi strategi perlindungan WBTB Pesantren.
Pesantren memiliki peran signifikan dalam pembentukan identitas nasional. Bukti sejarah mencakup kontribusi aktif tokoh-tokoh pesantren dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti peran sentral K.H. Hasyim Asy’ari dalam gerakan kemerdekaan antara tahun 1926 hingga 1945, termasuk pendirian Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Keterlibatan ini membuktikan bahwa warisan budaya Pesantren bukan hanya milik internal komunitas, tetapi memiliki nilai signifikan bagi masyarakat luas, memenuhi kriteria UNESCO tentang WBTB yang bertujuan meningkatkan rasa identitas dan kesinambungan historis.
Identifikasi Elemen Intagible Cultural Heritage (ICH) Pesantren
Elemen WBTB yang terkandung dalam tradisi Pesantren dapat dikelompokkan menjadi Pengetahuan Tradisional (Kitab Kuning) dan Ritus Pedagogi (Sorogan/Bandongan).
Kitab Kuning merupakan fondasi ilmu keislaman di Pesantren. Literatur klasik Islam ini, seringkali tanpa harakat (vokalisasi), menuntut keterampilan linguistik dan interpretatif tingkat lanjut dari para santri. Keterampilan membaca, memahami, dan menerjemahkan Kitab Kuning secara lisan di bawah bimbingan Kyai termasuk dalam domain ICH, khususnya dalam kategori Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional atau Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku Mengenai Alam dan Semesta (pengetahuan tradisional).
Penting untuk dicatat bahwa penilaian WBTB terhadap tradisi Kitab Kuning harus difokuskan pada proses transmisi dan praktik keilmuannya, bukan hanya pada objek fisik kitab itu sendiri. Proses mengharakati (memberi tanda baca) dan mengartikan kata per kata yang dilakukan santri dan guru secara lisan adalah keterampilan tak benda yang diwariskan turun-temurun. UU 18/2019 Pasal 13 secara hukum mengakui dan mewajibkan pelestarian proses ini, yaitu metode pembelajaran yang sistematis, terintegrasi, dan komprehensif.
Metode pengajaran di Pesantren adalah inti dari warisan pedagogi tak benda yang diakui. Dua metode utama yang dipraktikkan adalah Sorogan dan Bandongan.
Metode Sorogan : Metode ini melibatkan interaksi tatap muka individual (atau kelompok kecil) antara santri, khususnya santri tingkat lanjut yang sudah memiliki dasar bahasa Arab, dengan Kyai atau guru. Santri (murid) akan membaca dan mengulangi serta menerjemahkan kata per kata sepersis mungkin seperti yang dilakukan oleh gurunya. Sorogan adalah bentuk ritus inisiasi keilmuan, yang personal dan menjamin transfer ilmu secara otentik.
Metode Bandongan (Wetonan) : Metode kolektif, di mana Kyai membacakan dan menerangkan materi dari Kitab Kuning, sementara santri menyimak dan membuat catatan di buku masing-masing.
Pengakuan Yuridis Formal terhadap Pedagogi ini sangat kuat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Pasal 13 secara eksplisit menetapkan bahwa Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah harus dilaksanakan dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, metode klasikal, terstruktur, berjenjang, dan/atau metode pembelajaran lain. Pengakuan eksplisit oleh negara ini merupakan formalisasi WBTB ke dalam sistem hukum, suatu langkah safeguarding yang sangat penting.
Rekognisi Hukum Nasional: Landasan Konstitusional dan Implementasi UU 18/2019
Perlindungan terhadap tradisi Pesantren berakar pada dua pasal konstitusional utama. Pertama, Pasal 31 UUD 1945 menyediakan landasan bagi rekognisi Pesantren sebagai subsistem pendidikan. Kedua, dan yang lebih relevan untuk penetapan WBTB, adalah Pasal 32, yang mewajibkan negara untuk memajukan dan melindungi kebudayaan nasional. Mengingat Pesantren merupakan indigenous culture masyarakat Islam Indonesia , UU 18/2019 dapat dilihat sebagai pelaksanaan langsung mandat Pasal 32 dalam konteks pendidikan keagamaan.
Lahirnya UU No. 18 Tahun 2019 merupakan titik balik penting. Sebelumnya, pemerintah Indonesia cenderung mendiskriminasikan Pesantren dan enggan merekoginisinya, seringkali hanya menganggapnya sebagai lembaga pendidikan nonformal. UU ini memberikan legalitas, rekognisi, dan kesetaraan bagi Pesantren dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan dalam kesempatan kerja.
Pasal 13 UU 18/2019 adalah inti dari perlindungan WBTB. Pasal ini tidak hanya mengakui, tetapi secara tegas mewajibkan penyelenggaraan Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan pola pendidikan Muallimin secara sistematis, terintegrasi, dan komprehensif. Selanjutnya, metode pembelajaran yang digunakan mencakup sorogan dan bandongan.
Dengan menjadikan kajian Kitab Kuning berbasis metode tradisional sebagai kurikulum inti yang wajib dilindungi, negara secara hukum mewajibkan transmisi WBTB ini. Ini adalah bentuk safeguarding proaktif paling kuat dalam konteks legal-pendidikan, karena memastikan praktik budaya tersebut terus hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi, bukan sekadar didokumentasikan.
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020 mengatur pelaksanaan teknis UU 18/2019. Salah satu aspek terpenting PMA ini adalah jaminan terhadap pewarisan tradisi oleh pemegang ilmu yang otentik. PMA 31/2020 mengatur kualifikasi pendidik, di mana lulusan Pesantren (seperti lulusan sarjana dari Ma’had Aly) diakui sebagai pendidik yang kompeten. Namun, pengakuan ini disyaratkan harus mendapat persetujuan dari Dewan Masyayikh.
Persyaratan persetujuan oleh Dewan Masyayikh ini berfungsi sebagai mekanisme gatekeeping (penjaga pintu) yang menjamin bahwa hanya pemegang tradisi (knowledge bearers) dari komunitas Pesantren yang benar-benar kompeten yang diizinkan untuk mengajarkan warisan tersebut. Hal ini memperkuat otonomi Kyai yang telah ada secara historis dan memenuhi prinsip UNESCO yang mensyaratkan peran komunitas dalam safeguarding warisan tak benda.
Standarisasi Internasional: Konvensi UNESCO 2003 tentang Perlindungan WBTB
Konvensi UNESCO 2003 tentang Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda menetapkan beberapa prinsip fundamental. Salah satu pilar utamanya adalah Pasal 15, yang menekankan pentingnya peran komunitas. Pasal ini mewajibkan setiap Negara Pihak untuk memastikan kemungkinan seluas-luasnya keikutsertaan berbagai komunitas, kelompok, dan individu dalam kerangka kegiatan perlindungan mengenai warisan budaya tak benda.
Konvensi ini juga mengatur struktur organisasi yang terlibat dalam penetapan dan perlindungan, termasuk Majelis Umum Negara Pihak dan Komite Antar-Pemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda. Indonesia meratifikasi Konvensi ini, yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007.
Dalam konteks Pesantren, struktur legal nasional telah sejalan dengan prinsip UNESCO ini. UU 18/2019 dan PMA 31/2020 secara eksplisit mengakui peran Kyai dan Dewan Masyayikh sebagai otoritas tertinggi dalam menjamin kualitas pendidikan dan warisan. Hal ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk membuktikan bahwa upaya safeguarding Pesantren bersifat community-driven dan didukung oleh negara, yang merupakan prasyarat utama untuk pengakuan internasional.
Tradisi Pesantren (terutama Kitab Kuning dan metode pedagoginya) sangat sesuai dengan kategori WBTB UNESCO, terutama dalam domain Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku Mengenai Alam dan Semesta serta Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-perayaan.
Proyeksi dan Kesimpulan Konklusif
Tradisi Pedagogi Pesantren, yang menyatukan pendidikan, spiritualitas, dan budaya lokal, memiliki potensi besar untuk mendapatkan pengakuan Warisan Budaya Tak Benda di Daftar UNESCO. Agar potensi ini dapat direalisasikan, Pemerintah Indonesia harus segera menutup kesenjangan implementasi regulasi turunan UU 18/2019 untuk memastikan dukungan finansial yang stabil dan menyelesaikan proses penetapan WBTB di tingkat nasional. Ketika sinkronisasi kebijakan ini tercapai, pengusulan Tradisi Pedagogi Pesantren ke UNESCO akan menjadi bukti komitmen Indonesia terhadap perlindungan warisan peradaban yang unik dan sangat berharga ini bagi generasi global.















Please login to comment