Khotbah Jumat bertema “Ukuran Kemuliaan adalah Takwa” ini mengingatkan kita bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah Swt tidak diukur dari harta, jabatan, atau keturunan, melainkan dari ketakwaan. Di tengah masyarakat yang sering menilai kehormatan berdasarkan status sosial dan kekayaan, Islam hadir dengan standar yang adil dan universal: siapa pun bisa mulia selama ia bertakwa. Berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, semua manusia diciptakan setara, dan yang membedakan derajat mereka hanyalah tingkat ketakwaannya.
Rasulullah saw. pun menegaskan dalam khutbah perpisahan di Arafah bahwa tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab kecuali dengan takwa. Takwa bukan sekadar ucapan di lisan, tetapi kesadaran hati bahwa Allah selalu mengawasi, yang melahirkan ketaatan dalam ibadah dan akhlak. Dari sanalah muncul kejujuran, amanah, dan kepedulian sosial sebagai buah nyata dari takwa yang sejati.
Khotbah ini juga mengajak kaum muslimin untuk meneladani para sahabat seperti Bilal bin Rabah dan Salman al-Farisi, yang dihormati bukan karena garis keturunan, tetapi karena iman dan ketakwaannya. Pesan ini sangat relevan bagi umat Islam di Indonesia yang majemuk: kemuliaan tidak ditentukan oleh suku, jabatan, atau kekayaan, tetapi oleh ketakwaan yang tercermin dalam perilaku.
Ukuran Kemuliaan Adalah Takwa
إنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَاهَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Segala puji bagi Allah Swt, Rabbul ‘alamin, atas segala nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita semua, terutama nikmat iman yang masih kita rasakan hingga saat ini. Shalawat serta salam mari kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw, beserta keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang istiqamah mengikuti jalan kebenaran beliau hingga hari kiamat kelak.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah Swt,
Manusia sering berbeda pendapat tentang apa yang disebut kemuliaan. Ada yang mengukurnya dengan harta, ada yang menilainya dari jabatan, ada pula yang membanggakan keturunan. Sejak zaman jahiliyah, manusia terbiasa membedakan derajat berdasarkan status sosial. Namun Islam datang membawa ukuran yang berbeda. Islam menegaskan bahwa kemuliaan sejati bukanlah karena kekayaan atau kedudukan, melainkan karena ketakwaan kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini jelas menghapus kesombongan berdasarkan ras, suku, dan keturunan. Semua manusia setara; yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya.
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjelaskan bahwa kemuliaan sejati hanya bisa diraih dengan takwa, bukan dengan keturunan. Al-Alusi dalam Ruh al-Ma‘ani menegaskan bahwa ayat ini melarang manusia untuk saling berbangga dengan nasab, karena yang paling mulia di sisi Allah—baik di dunia maupun di akhirat—adalah yang paling bertakwa. Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir juga menyatakan hal serupa, bahwa nasab bukan ukuran kemuliaan. Bahkan dalam Tafsir Jalalain ditegaskan agar jangan berbangga dengan tingginya keturunan, melainkan dengan tingginya ketakwaan.
Pesan para mufassir ini sangat jelas: jangan terjebak dalam kebanggaan semu. Nasab, kedudukan, bahkan kekayaan bukanlah jaminan kemuliaan. Allah Swt hanya menilai siapa yang benar-benar bertakwa, yang menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka jika kita ingin mengejar kemuliaan, hendaklah kita menempuh jalan takwa.
Kaum muslimin yang berbahagia,
Rasulullah saw. menegaskan takwa sebagai ukuran kemuliaan seseorang dalam khutbah perpisahan beliau di Arafah: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan sesungguhnya bapak kalian juga satu. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab kecuali dengan takwa. Bukankah aku telah menyampaikan pesan ini? Ya Allah, saksikanlah.”
Pesan ini sangat kuat, menghapus sekat sosial yang kerap menjadi sumber perpecahan. Islam mengajarkan kesetaraan universal dengan standar yang adil: takwa.
Takwa sendiri bukan sekadar pengakuan di lisan, tetapi kesadaran hati bahwa Allah selalu hadir mengawasi. Dari kesadaran itu lahirlah ketaatan terhadap perintah-Nya dan upaya menjauhi larangan-Nya. Takwa tampak bukan hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam akhlak sehari-hari. Orang bertakwa akan menjaga lisannya, berlaku jujur, amanah, dan tidak menzalimi sesama. Dengan kata lain, takwa adalah wujud nyata ibadah kepada Allah sekaligus kepedulian kepada manusia.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah,
Sejarah Islam memberi banyak teladan. Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam, diangkat Rasulullah saw sebagai muazin pertama bukan karena kedudukan sosialnya, melainkan karena ketakwaannya. Salman al-Farisi, seorang Persia, diberi penghormatan besar karena iman dan kesetiaannya, bukan karena nasab. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam benar-benar menempatkan takwa sebagai tolok ukur kemuliaan.
Pesan bahwa yang paling mulia adalah yang paling bertakwa sangat relevan bagi bangsa kita yang majemuk. Dengan keragaman suku, bahasa, dan budaya, potensi perpecahan selalu ada. Namun jika umat Islam menjadikan takwa sebagai ukuran utama, persaudaraan sejati akan tumbuh. Yang dihormati bukan lagi siapa yang lebih kaya atau berkuasa, melainkan siapa yang lebih taat dan memberi manfaat.
Akhirnya, kaum muslimin yang dirahmati Allah, mari kita renungkan pesan Al-Qur’an dan hadis tentang takwa ini. Kemuliaan sejati tidak bisa dibeli dengan harta, tidak diwariskan melalui keturunan, dan tidak dipamerkan dengan citra. Kemuliaan hanya diraih dengan ketakwaan yang tulus dan konsisten, yang tampak dalam ibadah serta akhlak mulia.
Dengan demikian, kalimat “yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa” bukan sekadar ungkapan indah, melainkan pedoman hidup. Ia menghapus diskriminasi, menanamkan kesetaraan, dan membuka jalan bagi setiap orang untuk meraih kemuliaan. Standarnya sederhana namun mendalam: sejauh mana hati tunduk kepada Allah Swt, dan sejauh mana amal mencerminkan ketaatan serta kepedulian terhadap sesama.
تمام التقوى أن يتقي الله عز وجل العبد حتى يتقيه في مثل مثقال ذرة حتى يترك بعض ما يرى أنه حلال خشية أن يكون حراما، يكون حاجزا بينه وبين الحرام.
Kesempurnaan takwa adalah ketika seorang hamba bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla hingga dalam perkara sekecil biji zarrah, sampai ia meninggalkan sebagian dari apa yang ia pandang halal karena khawatir itu termasuk haram, sehingga hal itu menjadi penghalang antara dirinya dengan yang haram.
اَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا، وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Ditulis oleh Rusydan Abdul Hadi. Tulisan ini tayang pertama kali dalam Buletin Rumah Wasathiyah.















Please login to comment