Menurut Muhammad Abid Al-Jabiri, pemikiran politik Islam bisa disimplifikasikan menjadi tiga model: Khilafah dan Imamah, Etika dan Nasehat Kekuasaan, dan Filsafat Politik. Dari ketiga model ini, hanya yang disebut belakangan yang merupakan hasil adopsi dari pemikiran filsafat Yunani.
Filsafat politik Islam ditulis dan dikembangkan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Keunggulan model filsafat politik dibanding dua model sebelumnya terletak pada basis epistemologi yang jelas dan kuat, dan oleh sebab itu ia menjadi penting dikaji secara elaboratif.
Dari ketiga tokoh utama di atas, Ibn Rusyd menawarkan pemikiran yang sangat brilian dalam konteks ini karena ia bukan hanya merekonstruksi ulang filsafat politik Islam, tapi juga memurnikannya (mempurifikasinya) dari hal-hal yang tidak inheren (melekat), namun sering dipahami oleh banyak pemikir sebagai bagian integral dalam filsafat politik Islam.
Sebagaimana disinggung di awal bahwa filsafat politik (Islam) berasal dari Yunani, pemikiran Ibn Rusyd tentang filsafat politik pun juga tidak murni buah pemikirannya, melainkan sebuah komentar (syarah) atas pemikiran politik Plato yang tertuang dalam bukunya, Republic.
Yang menarik dari pemikiran filsafat politik Ibn Rusyd terletak pada metode yang ia pakai. Karena, ketika mengomentari pemikiran politik Plato, ia bertolak dari basis epistemologi Aristotelian, yang mana sama-sama kita ketahui bahwa Plato terkenal sebagai seorang penganut Idealisme, sedangkan Aristoteles masyhur sebagai seorang yang menganut mazhab Empirisme.
Ibn Rusyd: Tamu di Rumahnya Sendiri
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, atau yang lebih dikenal sebagai Ibn Rusyd (Averroes), lahir di kota yang saat itu merupakan pusat peradaban dan intelektual Islam di Eropa: Cordoba, Al-Andalus, pada tahun 1126 Masehi. Kelahirannya di Cordoba, yang kini menjadi wilayah Spanyol modern, sangat memengaruhi cara berpikir dan jalan hidupnya.
Ia berasal dari keluarga yang berakar kuat dalam bidang hukum dan keilmuan, di mana kakek dan ayahnya sama-sama memegang posisi penting sebagai ahli fikih dan hakim Istana. Lingkungan yang kaya akan ilmu pengetahuan ini menjadi fondasi kuat bagi Ibn Rusyd untuk tumbuh menjadi seorang polymath yang menguasai banyak domain, seperti filsafat, kedokteran, astronomi, dan hukum. Dari Cordoba inilah, pemikiran-pemikiran rasionalnya, terutama komentar-komentar otoritatifnya terhadap karya Aristoteles dan Plato, kelak menyebar ke seluruh Eropa dan memainkan peran kunci dalam memicu revolusi keilmuan di Eropa.
Namun, mungkin memang benar kata pepatah bahwa kebenaran dan kejujuran adalah musuh bagi mereka yang memiliki kepentingan, pada era Khalifah Abu Ya’qub Yusuf, Ibn Rusyd harus menerima tantangan berat sebagai seorang intelektual. Ia dituduh murtad oleh pemerintah, dan kabar kemurtadannya disebarluaskan agar masyarakat mengucilkannya.
Tekanan demi tekanan terus dialami oleh Ibn Rusyd pada masa itu, hingga pada akhirnya Khalifah mengasingkannya–untuk tidak menyebut “diusir”–di Lusinah, kota dekat Cordoba, dan memerintahkan untuk membakar semua karya-karyanya kecuali buku-buku yang memiliki manfaat praktis, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Hal demikian inilah yang pada gilirannya membuat ia dijuluki sebagai “tamu di rumahnya sendiri, dan menjadi tuan rumah di negeri orang lain (Eropa).”
Akhlak: Fondasi Negara Utama (Madinatul Fadhilah)
Telah disinggung di awal bahwa dalam mengomentari dan merekonstruksi filsafat politik Plato, Ibn Rusyd menggunakan basis epistemologis Aristoteles, deduktif-demonstratif. Sehingga, sebagaimana Aristoteles, sebelum membuat konstruksi ilmu atau filsafat, hal yang tidak boleh terlewatkan adalah mengklasifikasi ilmu itu sendiri.
Ibn Rusyd membagi Ilmu menjadi dua kategori: Teoritis dan Praktis. Ilmu teoritis berurusan dengan ilmu sebagai sesuatu yang diketahui belaka, sedangkan ilmu praktis berkaitan dengan ilmu sebagai sesuatu yang harus diamalkan. Deskripsi ini mengimplikasikan keunggulan ilmu teoritis atas ilmu praktis. Karena, menurut Ibn Rusyd, ilmu teoritis merupakan sesuatu yang niscaya (adh-dharuri) untuk mencapai ilmu praktis.
Ibn Rusyd memasukkan ilmu tentang pendidikan, kealaman, dan ketuhanan ke dalam kategori ilmu teoritis. Kemudian ia memasukkan ilmu tentang akhlak, tata keluarga, dan politik ke dalam ilmu praktis. Dalam konteks komentarnya atas pemikiran politik Plato, Ibn Rusyd memasukkan ilmu akhlak dan ilmu politik ke dalam kategori ilmu peradaban (madani). Keduanya dari induk yang sama, yakni ilmu praktis.
Dengan demikian, apakah keduanya (ilmu akhlak dan politik) memiliki relasi? Jika ada, apa format relasi itu?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, seyogyanya kita melihat titik konvergen antara kedua ilmu ini. Kedua ilmu ini memiliki tujuan yang sama, yakni mengatur. Jika akhlak mengatur tindakan individu, maka politik mengatur tindakan sosial. Sehingga, perbedaan antara kedua ilmu ini terletak pada sisi kuantitatif.
Plato dan Aristoteles dalam hal ini juga sepakat bahwa ilmu akhlak dan politik memiliki hubungan integral. Plato berpendapat bahwa tujuan utama dari politik adalah memperbaiki akhlak manusia, sedangkan politik hanya bisa mencapai ideal itu bilamana individu yang berperan sebagai pemerintah memiliki akhlak yang baik.
Paralel dengan pendapat Plato di atas, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menuturkan bahwa tujuan ilmu akhlak dan politik adalah sama, yakni kebaikan tertinggi. Oleh sebab itu, keduanya adalah ilmu terbaik. Kalau kita bawa pembahasan ini dalam wacana Ushul Fiqih, ada kaidah populer “mā lā yatimmu al-wājibu illā bihi, fa huwa wājibun” (sesuatu yang kewajiban tidak bisa sempurna tanpanya, maka ia juga menjadi wajib).
Sehingga, karena hanya dengan akhlak yang baik sebuah politik (pemerintah/negara) bisa mencapai tujuannya, yakni negara yang utama, maka pendidikan akhlak pada tiap individu menjadi hal yang niscaya dalam proses itu. Sebagaimana dituturkan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, “pemerintah, adalah cerminan dari rakyatnya.”
Dengan demikian kiranya jelas bahwa Ibn Rusyd memberikan jawaban yang tegas mengenai pentingnya akhlak bagi kemajuan negara: akhlak adalah fondasi niscaya (al-wajib) bagi pencapaian Madinatul Fadhilah (Negara Utama). Filsafat politik, yang bertujuan mengatur tindakan sosial demi kebaikan tertinggi, tidak akan pernah mencapai idealnya tanpa didasari oleh ilmu akhlak, yang mengatur tindakan individu.
Selaras dengan kaidah Ushul Fiqih, perbaikan akhlak individu bukan lagi sekadar anjuran, melainkan kewajiban mendasar yang harus ditunaikan rakyat sebelum menuntut keadilan dari pemimpin mereka. Sebab, pada akhirnya, pemimpin yang zalim atau adil adalah refleksi dari masyarakat itu sendiri.
Bagi Ibn Rusyd, kemajuan negara bukanlah hasil dari sistem politik semata, tetapi merupakan buah dari kesempurnaan etika kolektif yang dimulai dari skala individu.















Please login to comment