Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

‎Nabi yang Tak Pernah Meninggalkan Umatnya

Avatar photo
531
×

‎Nabi yang Tak Pernah Meninggalkan Umatnya

Share this article
Nabi tidak hanya mencintai mereka yang taat, tapi juga mereka yang lupa, ragu, bahkan menolak.
Nabi tidak hanya mencintai mereka yang taat, tapi juga mereka yang lupa, ragu, bahkan menolak.

‎Nabi Muhammad tidak pernah meninggalkan umatnya. Bahkan ketika manusia menjauh dari Allah, beliau tetap berdiri di antara keduanya — berdoa, memanggil, dan menanggung jarak itu dengan kasih. Nabi dekat dengan Tuhannya, tetapi hatinya selalu bersama umat. Dalam doa yang paling sunyi pun, beliau tidak berhenti menyebut kita di hadapan Allah.

‎Itulah makna yang tersirat dari penjelasan Prof. Quraish Shihab dalam Majlis Maulid yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Al-Qur’an pada Sabtu 1/10/ 2025 di Masjid Bayt Al-Qur’an Pondok Cabe. Siang itu, salah satu yang beliau singgung adalah cara Nabi Muhammad berdoa kepada Allah.

‎“Pernahkah kita perhatikan,” tanya Prof. Quraish, “mengapa doa dalam Al-Qur’an jarang diawali dengan kata seru ‘Yā’?”

‎Kata “Yā” berarti “wahai” — panggilan dari jauh. Tapi dalam Al-Qur’an, para Nabi umumnya tidak menggunakannya. Mereka cukup berkata “Rabbī” atau “Rabbana”, seperti dalam firman Allah:

‎ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
‎“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami bila kami lupa atau bersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286)

‎Menurut Prof. Quraish, ketiadaan kata “Yā” menunjukkan kedekatan. Allah tidak jauh. Ia lebih dekat dari urat leher. Maka doa bukanlah seruan dari jarak yang jauh, melainkan percakapan dari hati yang yakin bahwa Allah mendengar sebelum kata itu terucap.

‎Namun, di beberapa ayat, Nabi justru berseru “Yā Rabbī.” Salah satunya dalam Surah Al-Furqan ayat 30:

‎ وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا
‎“Dan berkatalah Rasul: Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang diabaikan.”

‎Dan juga dalam Surah Az-Zukhruf ayat 88:

‎ يَا رَبِّ إِنَّ هَٰؤُلَاءِ قَوْمٌ لَّا يُؤْمِنُونَ
‎“Wahai Tuhanku, sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak beriman.”

‎Mengapa kali ini Nabi memakai seruan “Yā”? Prof. Quraish menjelaskan, itu bukan karena Nabi merasa jauh dari Allah, tetapi karena beliau sedang menanggung jarak umatnya. Nabi berbicara bukan dari posisinya sendiri, melainkan dari keadaan umat yang menjauh dari Tuhan.

‎Seruan “Yā Rabbī” adalah suara cinta seorang Nabi yang sedang memikul kerinduan umatnya kepada Allah. Nabi tidak sekadar mengadu, tetapi membawa perasaan mereka yang kehilangan arah. Dalam doa itu, Nabi seperti sedang memanggilkan nama umatnya di hadapan Tuhan — agar mereka yang tersesat tetap punya jalan untuk pulang.

‎Itulah cinta Nabi yang sejati: ia tidak berhenti di ketaatan, tapi terus hidup bahkan di tengah penolakan. Beliau mencintai bukan hanya mereka yang taat, tapi juga mereka yang lupa, ragu, bahkan menolak. Ketika umatnya lalai, Nabi tidak berpaling. Beliau tetap menyebut mereka dengan kasih: “Yā Rabbī, sesungguhnya mereka adalah kaumku.”

‎Di situlah rahasia kasih seorang Rasul. Ia bukan hanya penyampai wahyu, tapi jembatan antara langit dan bumi. Beliau menanggung jarak agar kita bisa mendekat. Beliau berdoa, bahkan untuk mereka yang tak pernah berdoa lagi.

‎Dan mungkin, hingga kini, di antara doa-doa langit yang tak kita dengar, masih bergema suara itu — lembut, penuh cinta: “Yā Rabbī… umatku.”

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.