Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Makna Ummi Sang Nabi: Buta Huruf atau Bukti Ilahi?

Avatar photo
131
×

Makna Ummi Sang Nabi: Buta Huruf atau Bukti Ilahi?

Share this article
Sifat Ummi Rasulullah SAW justru menjadi bukti kuat bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi. Jika tidak, maka akan muncul keraguan bahwa Al-Qur’an adalah hasil karangan atau kutipan dari kitab terdahulu.
Sifat Ummi Rasulullah SAW justru menjadi bukti kuat bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi. Jika tidak, maka akan muncul keraguan bahwa Al-Qur’an adalah hasil karangan atau kutipan dari kitab terdahulu.

Dalam sejarah kenabian, Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang sempurna dalam akhlak, kepemimpinan, dan spiritualitas. Namun, satu sifat yang kerap menjadi sorotan dan perdebatan adalah sifat Ummi, yang secara umum dimaknai sebagai “buta huruf” atau tidak bisa membaca dan menulis. Sifat ini menjadi unik karena hanya dalam Islam, seorang nabi yang diyakini sebagai manusia paling sempurna justru memiliki keterbatasan dalam literasi. Apakah sifat Ummi ini bertentangan dengan kesempurnaan Rasulullah SAW? Atau justru menjadi bukti keaslian wahyu yang di bawanya? 

Secara etimologis, kata Ummi berasal dari kata Umm (ibu), yang dalam konteks ini merujuk pada kondisi awal manusia saat dilahirkan tanpa pengetahuan, tanpa kemampuan baca tulis. Sebagian mufasir mengaitkan kata ini dengan Ummah (umat), yang menunjukkan kebiasaan masyarakat Arab saat itu yang mayoritas tidak mengenal tulisan 

Dalam Shahih al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ قَيْسٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Amru bahwa dia mendengar Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”.

Makna Ummi juga ditafsirkan sebagai bentuk kemurnian, yakni seseorang yang tidak terpengaruh oleh sistem pengetahuan formal, sehingga lebih terbuka terhadap wahyu ilahi.

Dalam QS. Al-Ankabut ayat 48, Allah berfirman:

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهٖ مِنْ كِتٰبٍ وَّلَا تَخُطُّهٗ بِيَمِيْنِكَ اِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ

“Dan kamu (Muhammad) tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya dan tidak (pula) menulisnya dengan tangan kananmu. Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari (kebenaran Al-Qur’an).”

Ayat ini menjadi landasan utama bahwa Rasulullah SAW memang tidak memiliki kemampuan baca tulis sebelum kenabian, dalam hal ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah hasil karangan pribadi Nabi Muhammad saw. Para ulama memiliki pandangan yang beragam dan saling melengkapi dalam menafsirkan sifat Ummi:

Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir menegaskan bahwa Rasulullah SAW tidak bisa membaca dan menulis, dan hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Arab saat itu. Justru, sifat ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu, bukan hasil belajar.

Al-Mawardi menyebutkan tiga hikmah di balik sifat Ummi:

1. Menyesuaikan dengan kabar kenabian dari kitab terdahulu.

2. Mempermudah penerimaan dakwah oleh masyarakat yang juga mayoritas Ummi.

3. Menghindari tuduhan bahwa Al-Qur’an adalah hasil rekayasa atau kutipan dari kitab lain.

Dalam kitab Tafsir Nurul Qur’an menyebutkan bahwa Ummi juga bisa berarti bukan dari golongan bangsawan, atau berasal dari Makkah (Umm al-Qura), sehingga maknanya tidak semata-mata terbatas pada buta huruf.

Pandangan dari kalangan orientalis Barat terhadap sifat Ummi Rasulullah SAW sangat cenderung kritis. Mereka berpendapat bahwa karena Rasulullah tidak mendapatkan pendidikan formal, maka ajaran Islam tidak mungkin berasal dari pemikiran pribadi beliau. Bahkan ada yang menyebut bahwa Rasulullah hanya memahami kehidupan padang pasir dan tidak memiliki kemampuan literasi sama sekali.

Namun, kritik ini sering kali didasarkan pada kesalahpahaman terhadap makna Ummi. Dalam QS. Al-A’raf ayat 157-158, Rasulullah disebut sebagai Nabi Ummi, namun bukan dalam arti “tidak terpelajar”, melainkan sebagai bentuk kemurnian dan keterpisahan dari pengaruh budaya literasi yang bisa mencemari wahyu

Sifat Ummi Rasulullah SAW justru menjadi bukti kuat bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi. Jika Rasulullah mampu membaca dan menulis, maka akan muncul keraguan bahwa Al-Qur’an adalah hasil karangan atau kutipan dari kitab terdahulu. Namun, karena beliau tidak memiliki kemampuan tersebut, maka keaslian dan kemurnian wahyu menjadi lebih jelas dan tidak terbantahkan.

Hal ini juga diperkuat oleh peristiwa turunnya wahyu pertama di Gua Hira, ketika malaikat Jibril memerintahkan Rasulullah untuk membaca (Iqra’), dan beliau menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Jawaban ini terulang tiga kali, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memang tidak memiliki kemampuan literasi sebelum kenabian.

Referensi

Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1993

 Dr. Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam Masa Rasulullah SAW, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Kairo: Dar al-Hadits, 2002

Dr. Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah Nabi Muhammad SAW dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora, Bandung, 2014.

Kontributor

  • Kurniawati Musoffa

    Alumni Pesantren Haur Kuning dan Maha Santri Ma’hadaly Sai’idusshiddiqiyah Jakarta.