Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ka’bah: Napak tilas Ibrahim dan keberkahan tauhid

Avatar photo
47
×

Ka’bah: Napak tilas Ibrahim dan keberkahan tauhid

Share this article

Betapa enaknya hidup di Mekah saat ini. Masjidil Haram dikelilingi hotel-hotel mewah. Suhu di luar memang cukup panas, tapi tidak di dalam rumah. Suasana full AC terasa nyaman, membuat kami para mahasiswa yang saat tinggal di Mesir, yang kalau musim panas cukup bermodalkan kipas, merasa begitu betah dan kerasan.

Semuanya ada di sini. Meski panas dan gersang, namun dengan mudah buah-buahan ditemui dan dijual di pinggir jalan. Penduduk setempat  sejahtera. Juga terlihat banyak orang asing menetap di sini, beribadah serta mencari nafkah di tanah suci. Itu cukup sebagai tanda keberlimpahan dan keberkahan Baitullah tiada henti.

Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”

Fakta Mekah yang begitu kaya dan berlimpah hari ini, tak bisa dipisahkan dengan sejarah dan masa lalunya.

Waktu itu, Mekah masih kosong dan tak berpenghuni. Di sana, di sebuah gunung bernama Jabal Faran, Nabi Ibrahim As menempatkan istrinya, Sayyidah Hajar yang sedang menyusui anaknya, Ismail. Ditinggalkan bekal, beberapa kurma dan air yang tak banyak. Setelah itu, Ibrahim pergi. Ketika ia berjalan meninggalkan mereka, Sayyidah Hajar memanggil-manggil dirinya:

“Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi? Akankah engkau meninggalkan kami di sini, di suatu tempat yang tidak dihuni oleh manusia dan tiada apa-apa sama sekali ini?”

Ibrahim diam sambil terus melangkah dengan berat hati. Sayyidah Hajar terus saja memanggil dan menanyakan hal yang sama, tapi tetap tidak mendapat jawaban dari suaminya itu.

Lalu S. Hajar berkata: “Apakah engkau diperintahkan oleh Allah Swt untuk melakukan ini?”

“Iya.” jawab Ibrahim.

“Jika demikian, maka Dia tidak akan menelantarkan kami!”

Setelah itu, Sayyidah Hajar berhenti mengejar-ngejar Ibrahim, dan akhirnya kembali. Dan Nabi Ibrahim terus melangkahkan kaki, sampai pada sebuah perbatasan, dia berhenti dan memunajatkan doa ini:

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” ( Surat Ibrahim: 37)

Detik demi detik berjalan. Persediaan makanan dan air telah habis. Melihat anaknya yang masih balita kehausan, Sayyidah Hajar bergegas mencari air ke sana kemari. Ia naik ke bukit Safa, dilihatinya dari kejauhan apakah ada air di sekitarnya. Air belum saja ditemukan. Larilah ia ke bukit Marwah, dia coba mengamati dari atas berharap ada air dari kejauhan, dan masih saja belum ditemukan. Ia terus berlari dari Safa ke Marwah sampai tujuh kali.

 

Akhir cerita, Allah Swt menunjukkan sumber air zamzam pada Sayyidah Hajar. Ia pun meminumnya hingga kenyang dan kembali bisa menyusui anaknya yang masih kecil.  Dari sinilah kemudian disyariatkan Sai dari safa marwah sebagaimana yang dilakukan oleh beliau waktu itu.

Diceritakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah wan Nihayah, bahwa setelah kejadian itu, seorang malaikat mendatangi Sayyidah Hajar dan berkata kepadanya:

“Janganlah engkau khawatir. Sesungguhnya di sini ada Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Sungguh Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan keluarganya (Ibrahim).”

Karena terdapat zamzam, lambat laun orang-orang berdatangan ke sana. Diriwayatkan bahwa yang pertama kali datang ke sana adalah rombongan dari kabilah Jurhum yang melihat burung berputar-putar di atas sebuah tempat, sebagai isyarat akan sebuah sumber mata air. Akhirnya mereka datang dan memohon izin kepada Sayyidah Hajar untuk mengambil kebutuhan dari sumber mata air tersebut serta tinggal di sana.

Sejak saat itu, kehidupan di Mekah, tanah kering dan tandus dimulai. Sampai pada waktunya, Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, membangun Baitullah. Maka Mekah yang awalnya asing, lambat laun menjadi pusat perhatian manusia, entah mereka datang untuk melaksanakan Haji atau untuk berniaga.

Imam Fakhrudin Razi dalam tafsirnya, menafsirkan doa Nabi Ibrahim di atas mengandung doa yang paripurna, yakni kepentingan agama dan dunia.

 

Kepentingan agama adalah agar umat manusia berbondong-bondong mendatangi Mekah untuk beribadah. Sedangkan dalam urusan duniawi, agar orang-orang datang ke tanah suci untuk berdagang yang mana hal itu berdampak pada perekonomian umat Islam.

Menariknya, Imam Fakhrudin Razi menafsirkan ayat:

 وارزقهم من الثمرات

Yang mana dalam ayat tersebut menggunakan kata ” من”, bukan dengan kalimat,  وارزقهم الثمرات.

Artinya, bukanlah Nabi Ibrahim meminta agar penduduk Mekah diberi rezeki buah-buahan secara langsung. Tidaklah demikian, melainkan Nabi Ibrahim berdoa agar buah-buahan itulah yang datang ke Mekah. Dengan kata lain, kata Imam Razi, agar orang-orang datang dengan membawa produk atau apa saja yang bisa memakmurkan kota Mekah.

Ternyata, doa itu terkabulkan. Kita bisa menyaksikannya bahkan sampai saat ini, sebuah doa yang dimunajatkan jauh ribuan tahun yang lalu, keberkahannya melimpah hingga sekarang. Semua berangkat dari suatu prinsip religiusitas yang dimunajatkan oleh Nabi Ibrahim, ialah ” li yuqiimussolahh”; agar mereka (keluarga dan keturunan Nabi Ibrahim) melaksanakan salat!.

Kontributor

  • M. Farhan al-Fadlil

    Mahasiswa fakultas Usuluddin, universitas Al-Azhar, Mesir. Aktivis Said Aqil Siraj (SAS) Center, Kairo. Saat ini menjabat ketua Himpunan Alumni Pesantren Lirboyo (HIMASAL) cabang Mesir.