Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Urgensi sanad keilmuan dalam menjaga otentisitas pemahaman Islam

Avatar photo
32
×

Urgensi sanad keilmuan dalam menjaga otentisitas pemahaman Islam

Share this article

Ilmu tentang sanad merupakan tradisi ilmiah yang hanya dimiliki oleh umat Islam. Banyak ulama menjelaskan urgensi sanad karena melihat betapa pentingnya sanad dalam keilmuan dan menjaga keaslian pemahaman Islam, khususnya dalam menjaga keshahihan hadits yang merupakan penjelas bagi Al-Qur’an.

Dengan adanya sanad, orang yang menukil (mengutip) informasi lalu menisbatkannya kepada Rasulullah SAW misalnya, atau para sahabat, kutipan tersebut tidak bisa diterima secara mentah-mentah, namun harus diteliti dari siapa sumber kutipan tersebut, apakah bersambung sampai kepada Rasulullah SAW atau tidak, satu persatu periwayatnya diteliti, latar belakangnya diteliti, kualitas hafalan dan kejujurannya juga diteliti, sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pakarnya, yaitu ulama.

Dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Imam Muslim mencantumkan satu bab khusus tentang penjelasan bahwa sanad adalah bagian dari agama, dan riwayat tidak bisa diambil kecuali dari orang yang terpercaya dan kredibel, bahkan wajib hukumnya meneliti tingkat keadilan maupun kecacatan perawi dan itu bukanlah bentuk Ghibah yang terlarang. Salah satunya beliau mengutip salah satu riwayat yang diriwayatkan dari Ibnu sirin:

إن هذا العلمَ دينٌ فانظروا عمن تأخذون دينَكم

“Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama itu sendiri, maka cermatilah (perhatikanlah) dari siapa kalian mengambilnya.”[1]

Jika ditinjau dari sejarah umat-umat terdahulu seperti kaum Yahudi dan Nasrani, tidak akan ditemukan tradisi sanad sebagaimana yang berlaku dalam Islam. Dan memang Allah SWT mengistimewakan umat Islam dengan tiga hal yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tradisi sanad, nasab, dan I’rab, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Ali Al-Jayyani.

Dalam kitabnya Tadrib Ar-Rawi, Imam Suyuthi memaparkan pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan sanad yang dimiliki kaum Yahudi adalah banyaknya sanad yang Mursal (gugur akhir sanadnya) dan Mu’dhal (gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut) dalam kisah-kisah yang mereka riwayatkan, sehingga kedekatan mereka dengan Nabi Musa AS tidak sebanding dengan kedekatan Umat Nabi Muhammad SAW dengan beliau, karena terdapat jarak kira-kira 30 generasi antara mereka dengan Nabi Musa. Sedangkan kaum Nasrani tidak memiliki tradisi sanad seperti ini, melainkan hanya dalam permasalahan talak (cerai) saja. Sementara permasalahan lain, riwayat mereka dipenuhi dengan kedustaan dan lain sebagainya.[2]

Tidak heran jika ulama sekaliber Abdullah bin Al-Mubarak menyatakan bahwa sanad termasuk bagian dari agama Islam itu sendiri, seandainya tidak ada sanad, maka setiap orang akan bebas mengatakan apapun yang dikehendakinya. Begitu pula dengan Sufyan Ats-Tsauri yang menyatakan bahwa sanad merupakan senjata orang mukmin.[3]

Dalam keilmuan Islam, setidaknya ada tiga bidang yang bersinggungan dengan pengaplikasian sanad, yaitu sanad hadits, sanad kitab, dan sanad tarekat. Masing-masing memiliki ciri khas maupun umum yang berbeda. Sebagai contoh dalam sanad hadits, seringkali kita temui dalam kitab-kitab hadits, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, beliau menyebutkan sanad dengan redaksi Haddatsana, atau Anba`ana, atau Akhbarana, dan lain-lain. Dari penyebutan ini bisa diketahui apakah ada kemungkinan terputusnya sanad atau tidak sampai ke Rasulullah SAW.

Selain itu seringkali pula beliau (ulama hadits) ini menjelaskan ketersambungan sanad dengan gurunya dengan metode-metode penyampaian yang berbeda, adakalanya Sima’an (mendengar dari gurunya), Qira`atan ‘ala Asy-Syaikh (membaca di hadapan gurunya), atau Ijazatan (ijazah atau sertifikasi atau rekomendasi), dan lain sebagainya.[4]

Kemudian dalam bidang yang kedua, yakni sanad kitab, yaitu silsilah penulisan dan pengajaran sebuah kitab tertentu sehingga sampai kepada Muallifnya (penulis atau penyusun kitab). Contohnya sanad kitab Shahih Muslim milik Imam Nawawi, beliau menyebutkan secara detail dan runtut mulai dari gurunya Syaikh Al-Amin Al-‘Adl Abu Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsh Umar bin Mudhar Al-Wasithi hingga sampai Imam Muslim bin Al-Hajjaj.[5]

Putusnya sanad dalam sanad kitab tidak mengakibatkan lemahnya kandungan kitab, dengan syarat ada bukti lain yang menunjukkan bahwa kitab tersebut memang asli karya penulisnya yang bersangkutan. Dan putusnya sanad ini menimbulkan persoalan baru, yaitu bolehkah bagi seseorang yang tidak mendapatkan sanad atau ijazah kitab tertentu untuk mengajarkannya kepada orang lain?

Dalam hal ini memang ada perselisihan pendapat, ada yang membolehkan dengan syarat pengajar memang memahami isinya dan memenuhi aturan kaedah-kaedah bahasa yang berlaku. Namun ada pula yang tidak membolehkannya secara mutlak.

Para ulama menerapkan penggunaan sanad dalam semua kitab ilmu yang berkaitan dengan keilmuan Islam, baik dalam bab akidah, syariat, tafsir, hadits, fiqih, sejarah, dan lain sebagainya. Kemudian mereka secara khusus menulis kitab yang menjelaskan sanad keilmuannya, seperti Imam Suyuthi yang menulis Al-Munjim fi Al-Munjam tentang biografi para gurunya. Lalu ada Imam Zakaria Al-Anshari yang menulis kitab Tsabat Asy-Syaikh Al-Islam Zakaria Al-Anshari tentang validitas sanad ilmu fiqihnya sampai ke Imam Syafi’i. Lalu ada ulama kontemporer yaitu Syaikh Abdul Fattah Abu Ghoudah yang menerangkan sanad keilmuannya dalam sebuah kitab Imdad Al-Fattah bi Asanid wa Marwiyyat Asy-Syaikh Abdul Fattah.

Begitu pentingnya sanad dalam keilmuan, Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mewanti-wanti agar kita (umat Islam) hendaknya berhati-hati dalam mengambil suatu ilmu atau informasi yang sekiranya bukan dari ahlinya. Kemudian beliau menukil perkataan Imam Malik, “Janganlah mengambil ilmu dari ahli Bid’ah, janganlah menukil ilmu dari orang yang tidak diketahui darimana ia mendapatkannya, dan tidak pula dari siapapun yang dalam perkataannya ada kebohongan, meskipun ia tidak berbohong dalam menyebutkan hadits dari Rasulullah SAW.”[6]

Selanjutnya dalam sanad tarekat, sanad ini memiliki ciri khusus di antaranya adalah sahnya sanad yang didapatkan melalui jalur rohani atau yang biasa disebut sanad Barzakhi (sanad yang diperoleh dari syaikh yang telah wafat melalui jalur mimpi atau jalur lain yang tidak ada di alam nyata), selain tentunya pelaku tarekat juga harus memiliki sanad dari jalur jasmani (bertemu dan baiat secara langsung dengan syaikh).

Sebagai contoh, Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani mengatakan bahwa beliau memiliki beberapa jalur sanad dalam tarekatnya, di antaranya adalah sanad beliau dari gurunya Syaikh Zakaria Al-Anshari, dari Syaikh Muhammad Al-Ghumari, dan Syaikh Al-Ghumari ini mendapatkan tarekat langsung dari Nabi Muhammad SAW. padahal secara logika, tidak mungkin Syaikh Al-Ghumari ini bisa meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW karena jarak yang sangat jauh.[7]

Pentingnya sanad keilmuan dalam mempelajari suatu ilmu secara riwayah (tekstual) maupun dirayah (kontekstual) juga pernah disampaikan oleh Syaikh Yusri Rusydi Al-Hasani, seorang guru besar Al-Azhar dan mengajar kitab hadits bersanad termasuk Al-Kutub As-Sittah, kitab fiqih bersanad, dan kitab tasawuf bersanad, yang beberapa waktu lalu berkunjung ke Indonesia untuk mengajarkan beberapa kitab bersanad. Pada kesempatan lain, Syaikh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir juga pernah mengatakan, “Permasalahan terbesar para penuntut ilmu saat ini adalah keinginan mereka untuk mencari ilmu secara instan.” Padahal proses pencarian ilmu harus ada tahapan-tahapannya.

 


[1] Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, 1/78, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.

[2] Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, hlm. 379-380, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.

[4] Mukaddimah Shahih Bukhari dan Muslim.

[5] Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, 1/14, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.

[6] Risalah Ahlussunnah wa Al-Jama’ah, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, hlm. 20.

[7] Al-Anwar Al-Qudsiyyah fi Ma’rifah Qawa’id Ash-Shufiyah, Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, 1/20, Maktabah ‘Ilmiyyah Beirut.

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.