Mungkin tidak ada yang mengira, bahwa resepsi maulid Nabi pernah dilangsungkan di daerah Makkah.
Pendaku salafi, atau yang lebih familiar dengan nomenklatur Wahabi, sebagain dari mereka dengan mudahnya membid’ahkan dan memvonis salah hanya karena Maulid Nabi tidak pernah diselenggarakan di Makkah.
Mereka beranggapan bahwa Maulid Nabi ini adalah bid’ah, dan tidak ada dalilnya. Bahkan dalam dunia internasional, hanya lembaga fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) yang membid’ahkan perayaan maulid Nabi Muhammad saw.
Lembaga fatwa lainnya, semisal Darul Ifta’ al-Misriyyah, Dar al-Ifta’ Al-Urduniyyah, dan lain-lainnya berpendapat sebaliknya. Terlebih elit agama yang mereka jadikan panutan, Ibnu Taimiyah pun juga menganggap ini baik. Beliau mengatakan;
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
“Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai hari raya telah dilakukan oleh sebagian manusia dan mereka mendapat pahala besar atas tradisi tersebut, karena niat baiknya”. (Iqtidha’ al-shirat al-mustaqim, PDF Juz 2 H. 126)
Padahal jika kita cermati, ternyata Rasulullah saw sendiri yang memperingati hari lahir beliau. Di mana ketika beliau ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab bahwa pada hari tersebut aku dilahirkan. Tentunya bisa dipahami dari sini, bahwa merayakan maulid Nabi dilegitimasi syariat.
Adapun secara seremonial seperti yang ada di Indonesia, ini juga adalah rangkaian acara yang ada di zaman dahulu. Al-Maqrizi menceritakan;
كـان لهـذه المناسبة مراسيمها وكـان يحضرها الأمـراء والعلماء والقضاة وغيرهم وكـان السلطان يجلس وعـن يمينـه شـيخ الاسلام سراج الدين البلقيني ويحضر قضاة الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة ويبدا القراء بقراءة القرآن الكريم ثم يقـوم المنشـدون واحـدا بعد واحد وتقرأ قصة مولده صلى الله عليه وسلم ثم توضع الاطعمة والحلوى ثم يقوم الوعاظ فيذكرون وينصحون.
“Dulu peringatan ini (Maulid) memiliki titah tersendiri. Momen tersebut dihadiri oleh para pembesar kerajaan, para ulama, para hakim dan lain-lain. Sultan duduk dan di sebelah kanan beliau ada Syaikhul Islam Sirajuddin Al Bulqini. Turut hadir pula para hakim (qadi) Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Para qari memulai dengan tilawatul Quran. Disusul para munsyid (pelantun nasyid) berdiri satu persatu dan membaca kisah Maulid Nabi SAW. Kemudian dihidangkanlah makanan dan snack manis. Setelah itu, para penceramah berdiri menyampaikan ceramah dan nasehat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar, PDF Juz 3 H. 399)
Demikianlah gambaran suasana peringatan Maulid di zaman dahulu, Lalu benarkah di Mekkah tidak pernah diselenggarakan maulidan? Syekh Mulla Ali Al-qari mereportasekan;
قال شيخ مشايخنا الإمام العلامة الخبر البحر الفهامة شمس الدين محمد السخاوي، بلغـه الله المقـام الـعـالـي: وكنتُ ممن تشـرف بـإدراك المولد في مكة المشرفة عـدة سـنين، وتعرف ما اشتمل عليه من البركة المشار لبعضهـا بالتعيين، وتكررت زيارتي فيه لمحل المولد المستفيض، وتصورت فكرتي مـا هنالك من الفخر الطويل العريض.
Guruku al-Hafidz al-Sakhawi mengisahkan: Aku di antara orang yang mendapat kehormatan menghadiri perayaan maulid di Makkah al-Musyarrafah selama beberapa tahun dan mengetahui keberkahan yang meliputi pada sebagiannya dengan jelas. Dan Aku berulang-ulang mengunjungi tempat maulid itu dan pikiran kebanggaan dari lubuk hatiku yang terdalam senantiasa membayangkan apa yang terdapat di sana. (Majmu’ Rasailnya, PDF H. 384)
Jadi sebelum Wahabi menguasai Hijaz (Saudi), peringatan Maulid Nabi biasa diselenggarakan di Tanah Suci, termasuk di Makkah dan Madinah. Mari bergembira dengan hari kelahiran Nabi, agar kita semua mendapatkan syafaatnya nanti.
Sebagai penutup, Syaikhu Masyayikhina Al-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki mengatakan kepada yang sering mempertanyakan resepsi maulid Nabi, beliau mengatakan:
“Tidak layak bagi seorang yang berakal, bertanya: ‘Mengapa kalian memperingati maulid?’ karena hal tersebut seolah-olah dia bertanya: ‘Mengapa kalian bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad ?’ Maka apakah pantas pertanyaan semacam itu berasal dari seseorang yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah? Pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban dan orang yang ditanya cukup menjawab: ‘Saya memperingati (maulid) karena saya bahagia dan senang kepada Nabi Muhammad. Saya senang dan bahagia kepada Nabi karena saya cinta kepadanya. Saya cinta kepadanya karena saya beriman.’” (Al-i’lam bi fatawa aimmat al-islam haul maulidihi alaih al-shalat wa al-salam, PDF H. 9)
Mari pada bulan ini kita memperbanyak amal baik, terkhusus puasa dan bershalawat kepada Rasulullah saw. Semoga dengan momentum maulid nabi, kita bisa meneladani ahwal beliau dalam segala lini. Amin ya rabb.