Allahu Akbar, inilah dzikir yang disebut dengan Takbir yang lazimnya diterjemahkan Allah Mahabesar.
Dalam al-Asma’ al-Husna, Kabiir adalah asma Allah yang berarti Besar. Dzikir ini dalam shalat ada yang wajib dilafalkan; bagian dari rukun shalat, yaitu takbirotul ihrom, dan ada yang sunnah diucapkan.
Dalam beberapa hari ini, mulai 9 Dzulhijjah hingga ashar akhir ayyam tasyriq 13 Dzulhijjah kita masih disunnahkan mengumandangkan dzikir ini di setiap selesai sholat fardhu kita. Allahu Akbar.
Bagaimana kita memahami kebesaran Allah? Memahaminya secara fisik, layaknya memahami besarnya badan seseorang; besarnya gunung atau yang lain tentu tidak boleh; muhal. Hal ini karena di antara sifat wajib Allah adalah mukholafah li al hawadits; berbeda dengan makhluk.
Al–Imam Abdullah Muhammad bin Yusuf al Sanusi al Hasani dalam Syarah al–Asma’ al–Husna, ketika menerangkan Kabiir, beliau dawuh:
هو الذي له الكمال والشرف المرتفع ارتفاعا تقصر جميع العقول عن إدراك كنه معناه وتعجز الأفهام كلها عن التطاول إلى الإشراف على علو مرتقاه.
Artinya: Dia (Kabiir) adalah Dzat yang memilki kesempurnaan dan kemulyaan yang sangat luhur yang tidak terjangkau oleh akal fikiran dan pemahaman makhluk.
Lebih lanjut Al–Imam Al–Sanusi mengajari kita semua bagaimana seharusnya kita meresapi kebesaran Allah ini. Beliau dawuh:
وحظ العبد منه الانسلاخ عن الكبر والتعاظم الذي لا يليق لباسه عقلا ولا شرعا بالمخلوقين ولزوم لباس الذل والتواضع اللائقين بالعبيد المساكين.
Artinya: (Dengan memahami ini) seseorang bisa mengambil semangat untuk melepaskan diri dari kesombongan dan merasa hebat yang mana kedua sikap ini tidaklah patut untuk bersemayam pada diri makhluk, baik secara akal maupun syariat. (Di samping itu, seseorang seharusnya) selalu merasa rendah dan tawadhu yang sudah sepatutnya dimiliki oleh semua hamba.
Sudahkan kita menghilangkan kesombongan dan rasa hebat yang ada di dalam hati dan ego kita saat melantunkan takbir? Ataukah sebaliknya; bersembunyi di dalam takbir untuk menyatakan keangkuhan dan ego kita? Istafti Qolbak; Hati kita yang menjawabnya.