Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tradisi khataman al-Quran masyarakat Tarim

Avatar photo
18
×

Tradisi khataman al-Quran masyarakat Tarim

Share this article

Di kala memasuki bulan Ramadhan, aku bersyukur karena diizinkan untuk dapat merasakan berpuasa di negeri impian, Tarim-Hadramaut. Negeri yang terkenal dengan samudera ilmunya, yang menyimpan sepenggal keajaiban yang unik. Di balik bentangan buminya yang gersang nan keronta, ia menawarkan kesejukan rohani yang tak terlukiskan. Hembusan manfaat aulianya tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia, tak luput Nusantara terkasih ini.

Sudah menjadi kelaziman seseorang untuk mentarhib bulan Ramadhan dengan melakukan kegiatan-kegiatan bersifat keagamaan yang mampu menumbuhkan ketaatan, seperti shalat tarawih, iktikaf di masjid-masjid, serta memperbanyak bacaan al-Quran yang kita kenal dengan istilah tadarus.

Setelah melalui beberapa hari berpuasa di kota Tarim, aku dapati kegiatan yang mendatangkan banyak animo masyarakat, kegiatan tersebut berfungsi sebagai tradisi khas masyarakat kota Tarim dari generasi ke generasi, ialah tradisi khataman al-Quran.

Secara umum, kegiatan khataman ini sebetulnya telah mentradisi di provinsi Hadramaut, hanya saja kali ini aku akan mendeskripsikan kegiatan khataman yang berlaku di kota Tarim, kota yang berjuluk negeri seribu wali ini.

Seperti halnya shalat tarawih, untuk khataman al-Quran setiap masjid juga mempunyai jadwal tersendiri. Namun sebelum itu kita perlu tahu bahwa khataman di kota Tarim terbagi menjadi dua, ada yang kecil pula ada yang besar. Jadwal khataman kecil bervariasi, ada yang mengadakannya seminggu sekali, ada pula yang mengadakannya 4 hari sekali sebagaimana yang rutin dilakukan di masjid Al-Muhdhor.

Sedangkan khataman besar layaknya masjid Ahlul Kisa’ yang bertempat di rubat Daarul Musthofa, biasanya Habib Umar bin Hafidz mengadakan khataman setiap malam ke-17 bulan Ramadhan. Begitu juga khataman yang dilakukan di masjid Assegaf, yang konon akan dilakukan pada tanggal 25 Ramadhan.

Adapun masjid Ba’Alawi biasanya mengadakan khataman pada tanggal 27 Ramadhan, dan masjid Al-Muhdhar selaku masjid terbesar di kota Tarim yang mampu menghimpun ribuan umat muslim, biasanya akan melaksanakannya tepat pada tanggal 29 Ramadhan.

Khataman di penghujung Ramadhan ini menjadi ajang khataman terbesar yang akan dihadiri oleh ribuan orang. Masjid pun tak akan mampu menampungnya, hingga mengharuskan jamaah mengisi lahan-lahan kosong yang berada di sekitar masjid, bahkan jalan raya di depan masjid pun akan penuh sesak, demikian itu bukan tanpa alasan, melainkan demi mengharapkan berkah dari kegiatan khataman ini.

Perlu kita cermati, bahwa kegiatan ini telah ada semenjak zaman dahulu, yang kemudian tetap dijaga dan diabadikan oleh para ulama salafussalih hingga kini. Kegiatan khataman di kota Tarim pun terbilang ekslusif, sebab hal itu dilakukan ketika kita menunaikan shalat tarawih. Sang imam lazimnya membaca surat al-Quran dari ad-Dhuha hingga an-Nas setiap kali selesai membaca al-Fatihah. Kemudian diikuti oleh jamaah lain yang berperan sebagai makmum dengan membaca kalimat tauhid dan takbir seusai imam melantunkan surat-surat pendek.

Sesudah shalat tarawih, sang imam shalat atau pun ulama lain akan berdiri dan memberikan petuah nasihat kepada para hadirin, mengajak mereka untuk mengeksploitasi sisa umur dengan perkara-perkara yang diridhoi Allah swt, serta menghindari hal-hal yang mampu memanggil murka-Nya.

Acara khataman biasanya ditutup dengan doa yang dibacakan oleh sang imam setempat atau ulama sepuh lain yang dihormati. Di sela-sela doa berlangsung, terdapat sebagian orang selaku pengurus masjid menyodorkan secangkir kopi begitu pula makanan-makan ringan kepada setiap jamaah yang hadir, upaya ini dilakukan agar melepas kantuk mereka dan demi menjaga agar kondisi tubuh tetap bugar, begitulah suasananya.

Hari khataman dianggap sebagai waktu yang pas bagi umat muslim untuk menyambung tali silaturahmi antar sesama muslim lainnya, bertatap muka saling bersapa juga bertukar makanan. Pada umumnya tetangga masjid akan mengundang sekumpulan jamaah agar berbuka bersama di kediamannya.

Sekedar penjelasan, acara khataman di beberapa masjid kota Tarim tidak hanya dihadiri oleh masyarakat setempat, lebih dari itu dihadiri pula oleh banyak umat muslim yang berdatangan dari luar kota pun luar negeri.

Tradisi khataman dalam perspektif Islam

Seiring dengan perjalanan waktu, aku tertarik untuk mengkaji dan menganalisis lebih lanjut terkait asal usul tradisi khataman yang dilakukan oleh masyarakat Hadramaut. Setelah diteliti, ternyata hukum kegiatan ini telah dijabarkan di banyak kitab-kitab klasik, seperti kitab Al-Adzkar milik Imam Nawawi, kitab Al-Mughni milik Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Itqan fi Uluumil Quran milik Imam Suyhuti dan masih banyak lainnya.

Tradisi khataman ini dinilai sebagai bentuk kemuliaan yang dimiliki umat muslimin, diperoleh secara turun temurun dari masa ke masa. Figur utama yang melakukannya ialah Nabi Muhammad Saw, yaitu kala kaum musyrikin menyuarakan kebencian mereka terhadap Nabi, di saat itu pula turun surat ad-Dhuha. Lantas Allah swt memerintahkan Nabi untuk membaca takbir setiap kali sampai pada surat tersebut, dan dilakukan seterusnya hingga sampai pada surat an-Nas.

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, maka ketidakhadiran beliau, secara wajar telah menyebabkan banyak orang berupaya tetap melindungi dan mengabadikan sunnah-Nya. Adapun tokoh yang menaruh perhatian terkait kesunnahan kegiatan khataman ini ialah Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, beliau menandaskan bila kita membaca al-Quran dan mencapai surat-surat Mufasshal maka hendaknya membaca tahmid juga takbir di antara kedua surat.

Imam Ibnu Ishaq pun mendukung riwayat ini dengan menuturkan bahwa penduduk kota Mekkah sedari dulu telah melakukan hal serupa, manakala mereka akan mengkhatamkan al-Quran, mereka lakukan mulai dari surat ad-Dhuha hingga akhir dibarengi dengan pembacaan takbir di antara dua surat.

Di masa tabi’in, Abu Abdillah pernah ditanyai lebih utama mana mengkhatamkan al-Quran sewaktu shalat tarawih atau kah di waktu witir, lantas beliau menyarankan agar melakukannya ketika shalat tarawih, hingga menjadikan seseorang berdoa di antara dua shalat. Kemudian beliau memandu tata cara terbaik dalam berdoa yaitu dilakukan di kala selesai membaca surat akhir dalam shalat, hendaknya ia mengadahkan kedua tangannya ke atas seraya memanjatkan doa dengan khusuk.

Singkat kata, sebetulnya tradisi khataman ini bukanlah topik yang perlu diperbincangkan lagi, baik itu kalangan umum maupun cendekiawan muslim meyakini, bahwa kegiatan semacam ini telah dinyatakan keabsahannya.

Mereka juga yakin bahwa salah satu fungsi adanya tradisi khataman adalah pelaksanaan perintah Allah swt atas nikmat yang dianugerahkannya kepada kaum muslimin, yang tujuannya bukan bersenda gurau atau bersenang-senang.

Berbicara seputar doa khataman, Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menghukuminya sebagai sunnah muakkad. Kemudian beliau menerangkan tata cara yang sepatutnya dilakukan ketika mengadakan khataman, menurutnya bila khataman itu dilakukan sendiri maka hendaknya ia mengkhatamkan di dalam shalat.

Adapun jika ia hendak melakukannya dengan sekumpulan orang layaknya jamaah, seyogiyanya dilaksanakan pada sore atau pagi hari. Dan selaiknya pula didahului dengan berpuasa kecuali bila puasanya bertepatan dengan hari yang dilarang, maka hukumnya tak diperkenankan untuk hal tersebut.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.