Puasa adalah ibadah yang bermula dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak bercampur dengan pasangan sejak terbit hingga terbenamnya matahari.
Dengan tidak minum dan makan, seorang muslim yang berpuasa meneladani Tuhan yang tidak makan dan tidak minum. Bahkan akan lebih sempurna jika yang berpuasa memberi makan, karena pada bulan Ramadhan banyak sekali amal kebaikan yang harus kita kerjakan.
Antara lain al-Quran memperkenalkan Allah sebagai: “pencipta langit dan bumi, memberi makan dan tidak diberi makan.” (QS. al-An’am [6]: 14)
Dengan tidak melakukan hubungan seks, seseorang yang berpuasa meneladani Allah yang ditegaskan oleh al-Quran sebagai: “tidak memiliki anak. Bagaimana Dia memiliki anak padahal Dia tidak memiliki teman (pasangan).” (QS. al-An’am [6]: 101)
Itu semua dilakukan oleh manusia sesuai kemampuannya yang ditentukan Allah dalam konteks puasa selama sebulan penuh.
Kendati demikian, hanya kedua sifat itu yang digarisbawahi oleh ketetapan hukum puasa untuk diteladani. Karena sejatinya ibadah puasa adalah menemukan jati diri dan menghilangkan sifat-sifat hewaniyah (binatang). Dengan kedua sifat tersebut kita bisa menjalankan puasa dengan nyaman.
Dalam meneladani sifat Tuhan yang Maha mengetahui, orang yang berpuasa hendaknya terus-menerus menambah ilmu. Dia dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi dan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.
Puasa juga dapat mengasah kecerdasan emosional yang dengan itu manusia mampu mengendalikan nafsu. Emosi dan nafsu yang terkendali sangat kita butuhkan sebab ia merupakan salah satu faktor yang mendorong terlaksananya tugas kekhilafahan di bumi, yakni membangun dunia sesuai dengan kehendak dan tuntunan Ilahi. Hawa nafsu bagaikan eksim (kelainan pada kulit), semakin digaruk semakin nyaman. Dan nafsu juga sebagai penghalang bagi kita dalam menjalankan ibadah puasa, banyak sekali di antara kita yang selalu mengedepankan hawa nafsu sehingga puasanya tidak mengandung nilai kebaikan.
Dikutip dari buku Membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab, puasa dapat mengasah kecerdasan spiritual yang melahirkan kepekaan yang sangat mendalam. Fungsinya mencakup hal-hal yang bersifat supranutal dan religius. Kecerdasan tersebut menegaskan wujud Tuhan melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup. Selain memperhalus budi pekerti, juga melahirkan mata ketiga atau indra keenam bagi manusia.
Kecerdasan selanjutnya yang ditimbulkan puasa adalah kecerdasan intelektual. Tetapi jika tidak dibarengi dengan kecerdasan spiritual, manusia akan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Ia akan menjadi kepompong yang membakar dirinya sendiri karena kepintarannya. Kebodohan bukanlah sekadar lawan dari banyaknya pengetahuan karena bisa jadi seseorang memiliki informasi yang banyak, tetapi apa yang diketahuinya tidak bermanfaat baginya.
Apabila ibadah puasa dilakukan dengan mengendalikan hawa nafsu, kita akan mendapatkan kecerdasan, baik itu kecerdasan emosional, intelektual, spiritual. Bila sudah terhimpun pada diri seseorang, secara sadar dia akan bersikap diam menyangkut apa yang tidak perlu atau tidak bermanfaat baginya, Wallahu a’lam