Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Adakah dusta yang tidak berdosa?

Avatar photo
55
×

Adakah dusta yang tidak berdosa?

Share this article

.

Maklum kita ketahui bahwa dusta merupakan salah satu perbuatan buruk yang bernilai dosa bagi pelukannya; pendusta. Namun, dalam beberapa kasus, ada yang tidak mengandung dosa. Bahkan, ada kasus yang harus kita berdusta; wajib. Artinya, praktik dusta tetap terjadi, tapi pelakunya tidak berdosa, pun tidak masuk dalam catatan perihal ancaman bagi pelaku dusta.

Imam Ghazali rahimahumullah dalam kitab Ihyā’ Ulūmiddīn memberi uraian yang lumayan banyak dalam konteks ini. Beliau mengawali dengan menjelaskan bahwa dusta sebenarnya tidak dosa secara ain-nya, secara dzatnya, tapi lebih karena memicu terjadinya dampak bahaya, baik kepada mukhāthab, lawan bicara yang dibohongi, atau kepada orang lain.

Lah, kok bisa bahaya pada orang lain, bagaimana nalarnya? Sederhananya begini, jika mukhāthab telah menerima informasi hoax, dia akan menyimpan informasi itu. Kemudian bisa saja informasi hoax yang dia terima barusan akan dia informasikan lagi kepada teman, saudara, atau yang lainnya. Akhirnya, temannya juga menerima informasi hoax tersebut. Di sinilah bahaya yang dimaksud di atas.

Setelah menjelaskan bahaya dusta, beliau mengutip kaul Imam Maimun bin Mahran tentang dusta di beberapa kasus hukumnya boleh, bahkan lebih baik berdusta dalam kasus tertentu:

إن الكذب في بعض المواطن خير من الصدق…الى… الخ (إحياء علوم الدين)

Artinya: “Dusta dalam beberapa kasus lebih baik (dilakukan) daripada jujur…”

Kutipan ini sebenarnya ada kelanjutannya. Keterusannya adalah contoh dusta yang wajib dilakukan sebagaimana maklum kita dengar, misal dalam kasus jika kita tidak berdusta akan menjadi penyebab terbunuhnya seseorang. Maka dalam kasus ini bukan hanya boleh dilakukan, tapi wajib berdusta. Jadi, ada dusta yang wajib dilakukan.

Lalu, beliau secara gamblang mengurai batasan-batasan, kapan berdusta tidak bernilai dosa; mubah dilakukan dan kapan menjadi wajib.

Pada prinsipnya, kata Imam Ghazali, berbicara adalah wasilah untuk menyampaikan suatu tujuan, al-kalāmu wasīlatun ilāl-maqāshid. Apabila satu tujuan bisa terwujud dengan berbicara secara jujur, maka dalam konteks ini berdusta adalah haram. Jika tujuannya tidak akan terwujud kecuali dengan berdusta, maka dalam kasus ini hukumnya mubah. Menjadi wajib, apabila sudah dalam kasus di atas yang telah disebutkan.

Selain dalam konteks ini, berdusta tetap harus kita hindari sekuat tenaga. Sebab, apabila pintu dusta telah kita buka, walaupun dusta yang diperbolehkan, maka khawatir akan melewati batas-batas yang telah ada. Akhirnya akan terjerumus dalam dusta yang penuh dengan dosa.

Kalau merujuk pada hadis yang dikutip dalam kitab Ihyā’ Ulūmiddīn, hanya ada tiga kasus dusta yang ditoleransi; diperbolehkan. Teks hadisnya sebagaimana berikut:

ما روي عن أم كلثوم قالت : ما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرخص في شيء من الكذب إلا في ثلاث :

الرجل يقول القول يريد به الإصلاح، والرجل يقول القول في الحرب، والرجل يحدث امرأته ، والمرأة تحدث زوجها. (رواه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan oleh Ummu Kultsum, beliau berkata: saya tidak pernah mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mentoleransi berdusta kecuali dalam tiga (kasus); 1) lelaki yang berkata (dusta) dengan tujuan mendamaikan, 2) lelaki yang berkata (dusta) dalam peperangan, dan 3) lelaki/perempuan yang berbincang (dusta) dengan istri/suaminya).” (HR. Muslim)

Dalam konteks yang pertama, hadis yang lebih spesifik adalah:

وقالت أسماء بنت يزيد : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « كل الكذب يكتب على ابن آدم إلا رجل كذب بين رجلين ليصلح بينهما. (رواه الترمذي)

Artinya: … “Setiap dusta anak Adam akan dicatat, kecuali lelaki yang berdusta di antara/kepada dua orang supaya mereka berdamai.” (HR. Tirmidzi)

Siapa saja sudah tahu bahwa berdusta hukumnya haram, pelakunya tentu dicap sebagai pelaku dosa. Namun, penting juga mengetahui batas-batas keharaman tersebut. Kenapa penting? Setidaknya, kita tahu bahwa tidak selamanya berdusta itu haram; tidak mutlak.

Sehingga, apabila kita melihat seseorang berdusta, jangan langsung berprasangka buruk, apalagi yang melakukan adalah seorang tokoh agama. Sebagai alat kita selalu berprasangka baik. Dengan sebab mengetahui batas-batas tersebut, saat keadaan sangat mendesak, bisa kita lakukan tanpa melewati batas-batas yang telah digariskan.

Namun demikian, seperti telah disinggung di muka, dusta tetaplah dusta. Berdusta harus kita hindari sekuat tenaga, kapan pun dan di mana pun, karena hukum asalnya adalah haram dilakukan. Dan jangan pernah takut menegakkan sebaliknya, yaitu kejujuran. Sebab, takut menegakkan kejujuran adalah pintu masuk melakukan dusta. Prinsip inilah yang harus kita pegang agar tidak terjerumus dalam berdusta. Jangan pernah takut. Habib Abdullah al-Haddad rahimahumullah bernasihat:

من اهمل الصدق حيث يخاف استعمل الكذب حيث يرجو. (كتاب الحكم للحبيب عبد الله بن علوي الحداد)

Artinya: “Siapa saja menunda (menegakkan) kejujuran karena alasan takut, (sejatinya) dia telah berdusta karena telah membuka potensi melakukannya.”

Kira-kira begitulah terjemahan bebasnya. Dari nasihat ini, sedikitnya ada dua poin yang bisa kita jadikan prinsip hidup:

Pertama, jangan pernah menunda hal-hal positif supaya tidak membuka cela untuk melakukan sebaliknya; hal negatif. Sebab, selama seorang sibuk dengan kebaikan, maka dia tidak akan terbesit melakukan keburukan.

Kedua, jangan pernah takut menegakkan kejujuran, baik laku atau ucap. Sebagaimana nasihat ini, takut akan menjerumuskan kita ke jurang dusta. Kalau sudah berdusta, satu kali saja, maka akan memancing dusta lain. Kemudian dusta lain tersebut akan menarik dusta selanjutnya, begitu seterusnya.

Demikianlah klasifikasi hukum berdusta, batas-batas kapan kita boleh berdusta, dan nasihat berharga dari Habib Abdullah al-Haddad terkait dusta.

Semoga bermanfaat, sekian.

Kontributor

  • Syifaul Qulub Amin

    Alumni Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, Madura. Sekarang aktif menjadi kontributor sekaligus editor di Website PCNU Bangkalan. Penyuka tumpukan buku dan kitab gundul. Lagi fakus menulis buku dan merambuti kitab gundul (menerjemah).