Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Membumikan fikih realitas; dari fikih konservatif tekstual menuju fikih progresif kontekstual

Avatar photo
47
×

Membumikan fikih realitas; dari fikih konservatif tekstual menuju fikih progresif kontekstual

Share this article

Banyak yang meyakini bahwa fikih versi kitab kuning merupakan sebuah rumusan hukum yang telah final dan paripurna dalam memecahkan seluruh persoalan yang telah, sedang, atau pun akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ia juga kerap dianggap sakral oleh pegiatnya hingga cenderung  tak tersentuh akan kritik dan penelaahan ulang. Bahkan tidak sedikit yang memahami fikih sebagai agama (syariat) itu sendiri, padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang cukup signifikan.

Untuk memahami syariat dan fikih secara objektif dan komprehensif, setidaknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai definisi dari dua term di atas.  Para ulama mendefinisikan syariat sebagai hukum-hukum Islam yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Sunah yang terjadi di masa kenabian dan belum dicampuri oleh nalar berpikir (ijtihad) manusia.

Sedangkan fikih diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah (laku hidup) yang bersumber dari dalil-dalil terperinci melalui metodologi nalar berpikir (ijtihad) manusia. Dalam artian selain bertendensi langsung melalui AlQuran dan Sunah, di waktu bersamaan fikih juga mengambil dua referensi tambahan, yakni berupa konsensus (ijma) dan analogi (qiyas).

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa term syariat dan fikih dapat dibedakan sebagai berikut:

Pertama, syariat sifatnya lebih umum daripada fikih, sebab syariat mencakup ranah akidah, amaliah, dan ahlak. Sedangkan fikih hanya mencakup ranah amaliah perbuatan manusia saja.

Kedua, syariat merupakan teks-teks ketuhanan (Al-Qur’an dan Sunah) yang hanya memiliki satu signifikasi makna (qoth’iy al-dalālah). Interpretasinya jelas, dan kandungan hukumnya tidak akan berubah seiring berubahnya tempat dan waktu, sebab esensi kemaslahatannya selalu terjaga selama usia bumi itu ada. Sehingga dengan itu semua, syariat bersifat mengikat terhadap seluruh pemeluknya dan tidak dapat disentuh oleh nalar berpikir (ijtihad) manusia.

Adapun fikih, maka ia hanya sebatas produk dari konklusi nalar berpikir para mujtahid yang bersifat asumtif (dzanny basyary) belaka. Dalam artian, produk hukumnya tidak memiliki kekuatan untuk mengikat siapa pun kecuali mujtahid itu sendiri. Orang lain mempunyai kebebasan untuk melakukan nalar berpikir yang sama–ketika memenuhi syaratnya–atau memilih pendapat mujtahid lainnya yang sesuai dengan kemantapan hati dan kecondongan dari masing-masing individu.

Namun jangan dianggap bahwa penelaahan yang mereka lakukan dianggap prematur dan serampangan, sebab dzanny dalam ijtihad para mujtahid hampir mendekati ranah yakin dan berdasar melalui sumber primer ajaran Islam atau pun sumber sekunder masing-masing mazhab. Fikih sendiri tidak bersifat tunggal, sehingga produk hukumnya dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat, dan kondisi individu yang bersangkutan. Bisa jadi hukum yang dulunya memiliki nilai maslahat, berubah di masa yang akan datang, atau pun di tempat lain, begitu pun sebaliknya. Karenanya, cerminan relativitas di dalam tubuh fikih merupakan sebuah keniscayaan dan fitrah bagi fikih itu sendiri.

Argumen ini diperkuat melalui catatan historis sebagai berikut:

Pertama, catatan historis Malik bin Anas yang menolak mazhabnya dijadikan sebagai mazhab tunggal dan resmi bagi seluruh umat Islam di masa Khalifah al-Manshur, dengan dalih bahwa apa yang dianggap benar (kuatnya tendensi) oleh orang Madinah, belum tentu dianggap benar oleh orang Irak, Syam, atau pun wilayah lainnya.

Kedua, kerangka metedologi nalar bermazhab lebih dahulu ada daripada metodologi kuat-lemahnya hadits versi ahli Hadits (Muhadits). Sehingga kuat-lemahnya Hadits tidak dapat dijadikan parameter dalam mentarjih pendapat pakar fikih dan ushul fikih. Bahkan—masih menurut mereka—kemasyhuran dan pengamalan (dijadikannya sebagai sebuah tendensi) oleh seorang mujtahid dianggap lebih krusial daripada status sahih oleh pakar Hadits era Mutaakhirin (semenjak era pembukuan Hadits Sahih Bukhari dan Muslim). Tidak heran jika Ibnu al Qayyim dalam kitabnya al-Thuruq al-Hikmah mengatakan bahwa “di mana ada keadilan dan kemaslahatan maka di situlah syariat Allah berada”.

Oleh sebab itumenurut hemat penulis–, dalam merumuskan hukum fikih kita tidak perlu meributkan pentarjihan kuat-lemahnya dalil atau pendapat yang begitu meletihkan. Khusunya dalam permasalahan terkini (nawazil) yang belum termaktub di kitab-kitab fikih terdahulu sebagaimana pendapat Ibnu Asyur di Maqhasid Syariahnya. Sebab, pentarjihan dalam persoalan fikih sendiri hanya sebatas relativitas (amrun nisby) yang mewajibkan limitasi (peng-qayyidan) dari pihak yang mentarjih (murajih). Pemutlakannya dalam kaidah rasional dianggap cacat (logika falasi) dan mustahil secara akal (mustahil aqly).

Pada narasi di atas penulis mencoba menganalogikan fikih dengan Amrun Nisby melalui konsep deduksi silogisme pertama dalam teori logika klasik. Berikut ini bentuk premisnya: Premis mayor: Fikih adalah hukum-hukum dzanny. Premis minor: Setiap hukum dzanny merupakan amrun nisby. Konklusi: Fikih adalah Amrun Nisby. Dengan konklusi fikih sebagai amrun nisbiy ini, sudah selayaknya kacamata maslahat dan keadilan dijadikan prioritas dan titik temu (al-Qadr al-musytarak) dalam merumuskan hukum fikih, daripada perspektif kuat-lemahnya dalil..

Atas dasar itu pula, mencampuradukkan makna syariat dan fikih disinyalir akan memunculkan distorsi yang sangat fatal, sebab sama saja seperti menyamakan ranah asumsi (dzanny) dengan ranah definitif (qath’iy), antara yang maksum dengan yang manusiawi (basyary), serta dapat melahirkan persepsi pengkultusan manusia biasa layaknya Nabi Saw. yang terbebas dari kesalahan. Menurut Muhammad Sultan Al Khajind, meyakini pendapat imamnya selalu benar yang wajib diikuti dan pendapat selainnya dinggap salah merupakan sebuah kesesatan, bahkan bisa berujung ke ranah kafir jika ia menganggap imamnya setara dengan kedudukan Nabi saw (Hifnawy, 2017, hal. 106). Selain itu, pencampuran makna tersebut akan mengesankan Islam sebagai ajaran yang dipenuhi kontradiksi (tanaqudl), sebagaimana tuduhuan para orientalis. 

Terlalu fokus dan sibuk dengan masalah partikular (masail furu’iah) fikih dapat melalaikan dan menjauhkan kita dari nilai-nilai utama serta keuniversalan Islam itu sendiri. Selain itu, paradigma ini jika dibiarkan begitu saja dapat memicu penyimpangan term fleksibilitas (taghayur) yang melekat pada tubuh fikih berubah menjadi term statis (tsabit). Alih-alih fikih hadir sebagai solusi atas realitas kehidupan manusia yang begitu kompleks dengan wajah ramah dan toleran, justru hadir dengan wajah marah dan kekakuan. Tidak salah jika Sufyan al Tsaury menyebut fikih sebagai “keluwesan (rukhsah) dari seorang yang kredibel (tsiqah), adapun kekakuan atau pun memaksa kehendak semua orang dapat melakukannya”.

Selain itu, sikap berlebih terhadap permasalah partikular fikih dapat melahirkan aspek-aspek negatif seperti Fanatisme (ta’asub) bermazhab, autentitas berpikir, hingga kejumudan yang berkepanjangan. Akibatnya, kita tidak bisa membedakan antara yang definitive dan yang asumtif. Hingga terkadang kita mudah tersulut keributan dalam ranah dzanny, namun bergeming ketika ranah qat’iy diterjang dan dinistakan. Tidak heran jika Al Qarafi (w. 684 H.) dan Ibn Al Qayyim (w. 751 H.) mengatakan bahwa memberikan fatwa hanya dengan bermodalkan penukilan dari kitab-kitab fikih ulama terdahulu dianggap sesat-menyesatkan, dungu akan tujuan ulama terdahulu, dan termasuk tindakan kriminal terhadap agama itu sendiri. Bahkan Pemikir modern Muhamad Abduh (w. 1323 H) sampai mencela pakar fikih (fuqaha) yang menjadikan kitab fikih mereka sebagai asas berpikir dalam merumuskan hukum fikih, hingga memalingkannya dari Al Quran dan Sunah, serta terjebak dalam perkhilafan yang terjadi di dalamnya, hingga merasa apa yang di dalamnya wajib diamalkan, serta lalai dengan kondisi dan tempat di mana mereka hidup sekarang.

Dari paparan di atas, seharusnya kita sadar bahwa rumusan hukum yang termaktub di dalam kitab fikih tetap terbatas jika dibanding dengan fenomena kehidupan yang begitu kompleks dan terus berkembang. Terlalu tekstual terhadap teks fikih dan tidak peka dengan realitas kehidupan disinyalir akan menimbulkan stigma ketidak-relevanan fikih dengan realitas kehidupan dan menumbuhkan sikap apatisme dan sekularisme di khalayak umum. Menurut Syekh Ahmad al-Tayyib dalam Nahwa Ijtihad Fiqh Mu’ashir ketidak-pekaan fikih dengan realitas kehidupan disinyalir akan memunculkan paham sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan atau pun kehidupan dengan agama) di tengah masyarakat yang semula hanya sebatas wacana, perlahan  menjadi kenyataan (al-Tayyib, 2022, hal. 17).

Untuk menghilangkan persepsi kekakuan fikih, sudah selayaknya keterbatasan teks fikih selalu ditunjang dengan pembacaan baru (kontekstualisasi teks), agar selalu relevan dan peka terhadap kebutuhan zaman. Oleh sebab itu, wacana fikih realiatas (fikih waqi’) layak dijadikan solusi agar teks fikih dan realiatas kehidupan selalu beriringan dan bergandengan tangan.

Yusuf al-Qardawi dalam karyanya Awlawiyat al-Harakah al-Islamiyyah memahami fikih realitas (fikih waqi’) sebagai sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum tersebut selaras dengan tuntutan zaman. Di lain kesempatan, Abdullah bin Bayyah dalam kitab  Tanbih al-Maraji’ mengatakan bahwa memahami realitas (waqi’) dapat mendekatkan seorang fakih dalam menghukumi sesuatu dengan lebih relevan dan nyata, sebab realitas laksana konsepsi (tasawwur) dalam logika Aristotelian. Ia memiliki peranan penting dalam menghukumi (men-tashdiq) sesuatu, sebab penghukuman yang salah kebanyakan bersumber dari persepsi yang salah pula. Pengolaborasian ini lah yang menjadikan agama ini selalu relevan di setiap kondisi dan zamannya.

Hal itu diperkuat kembali oleh al-Qarafi dalam karya monumentalnya al-Furuq yang mengatakan bahwa realitas memiliki peranan penting dalam berubahnya hukum-hukum fikih. Seperti contoh, talak langsung (sighat sharih) yang secara hukum asal ungkapannya akan jatuh menjadi talak dan tidak membutuhkan niat dari pelakunya, berubah hukumnya menjadi tidak terjadinya talak jika pelakunya tidak melakukan niat. Perubahan hukum ini terjadi sebab berubahnya kondisi zaman atau pun realitas sosial yang ada.

Pembacaan baru terhadap realitas sosial di bawah norma-norma utama syariat, dapat menjalin hubungan yang kuat antara dalil universal definitif (kully-qath‘iy) dengan hukum partikular (furuiyah) yang bersifat dzonny. Sehingga pembacaan ini dinilai akan membuat produk dzonny selalu relevan dengan zamannya, bahkan bisa saja di kemudian hari memunculkan kaidah universal (kulliyat) yang baru.

Namun tidak semua realitas hadir secara eksplisit laksana fajar menuju terangnya sinar. Terkadang keimplisitannya samar di mata manusia layaknya senja menuju gelapnya malam, sehingga pengilustrasiannya membutuhkan usaha dan penelaahan yang ekstra agar dapat terurai dengan jelas oleh kasatmata. Term eksplisit-implisit inilah yang membuat Ali Goma mewanti-wanti agar penelaahan realitas tidak boleh melanggar lima asas fundamental sebagai berikut: pertama bahasa Arab, kedua konsensus (ijma), ketiga prinsip utama syariat (maqashid syariah), keempat dalil universal definitif (kully-qath’iy), dan yang kelima kaidah fikih atau pondasi umum syariat (qawaid fiqhiyyah atau mabadi ammah syariat).

Fikih realitas sendiri bukan lah sebuah wacana subversif yang kontroversial, ia justru hadir guna merekontruksi ulang antara teks fikih dengan realitas kehidupan, sehingga ia mampu mendekatkan teks-teks fikih dengan realitas kehidupan yang begitu kompleks sebagai salah satu variabel perumusan hukum. Pendekatan ini tidak berarti bahwa fikih realitas hadir guna mereset ulang seluruh pendapat yang ada di kitab-kitab fikih yang dinilai telah mapan. Ia hadir hanya sebatas meninjau ulang teks-teks fikih yang disinyalir sudah tidak relevan dengan realitas kehidupan. Wacana ini tidak berarti bahwa kita harus menanggalkan masalah partikular fikih begitu saja, atau bahkan sampai menganak-tirikannya. Selama tidak melanggar dalil qath’iy, maqashid syariah, maslahat ‘ammah, dan ijma, penelaahan dan rekontruski fikih merupakan sebuah kewajaran yang tidak perlu digaduhkan. Bahkan hal tersebut selaras dengan kaidah fikih yang berbunyi “la yunkaru taghyir al ahkam bi taghyir al zaman”. Yakni tidak boleh mengingkari perubahan hukum sebab berubahnya zaman.

Walhasil, dalam menentukan sebuah hukum fikih, seorang fakih selain dituntut memiliki kecakapan dalam membaca dan memahami teks, ia juga harus tanggap dan cermat dalam menganalisis realitas kehidupan itu sendiri, hingga fikih selalu relevan di setiap era dan zamannya (fiqh sadid). Sekian.

 

Daftar Pustaka

AlHifnawy, Muhammad Ibrahim, al Fiqh al Islamy wa Ta’assub al Madzhaby, (kairo, Dar al Faruq, 2017).

AlJauziyyah, Ibn Al Qayyum, I’lam al Muwaqqi’in an Rabb al ‘Alamin, (Beirut, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, tt.).

As-Sayis, Muhammad Aly, Nas’ah al Fiqh  al Ijtihady wa Athwarih, (Kairo, Majma’ Al Buhuts Al islamiyyah, tt.).

AsSafury, Muhammad Majdi, Manahij al Ushuliyyin fi Tashih al Hadits, (Kairo, Markaz Ihya lil Buhuts wa ad Dirosah, 2023).

Al Thayyib, Ahmad, Inna ad Din Yusrun, (Abu Dhabi: Majlis Hukama al Muslimin, 2022).

Al Thayyib, Ahmad, Nahwa Ijtihad Fiqh Mu’ashir, (Abu Dhabi: Majlis Hukama al Muslimin, 2022).

Bayyah, Abdullah Mahfudz, Tanbih al Maraji’ ala Ta’shil Fiqh al Waqi’, (Uni Emirat Arab, Al Muwatto Center, 2018).

Buud, Ahmad, Fiqh al Waqi’ Ushulun wa Dhawabit, (Kairo, Dar as Salam, 2006).

Goma, Ali, Mukawanat al Aql al Muslim, (Kairo: Wabil as Syoib, 2022).

Ibnu Sholah, Abu Amr Utsman, Syarh Muqaddimah Ibn Sholah, (Kairo: Ushul ad Din, tt.).

Zaqzuq, Mahmud Hamdy, Maqhasid al Syari’ah al Islamy wa Dhorurat al Tajdid, (Kairo, Majma’ Al Buhuts Al islamiyyah, 2019).

 

Kontributor

  • Abul Ala Nawawi

    Santri Lirboyo yang sedang tabarukan di Universitas al-Azhar. Seorang Nakama dan Madridista yang suka menikmati senja. Dapat dihubungi melalui IG: @abungnawawi.