Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kerendahan hati Rasulullah

Avatar photo
60
×

Kerendahan hati Rasulullah

Share this article

“Wahai Aisyah,” Kata Baginda Nabi Muhammad Saw. “Jika saya berkehendak, gunung-gunung emas akan berjalan menyertaiku.

Seorang malaikat pernah mendatangi diriku lalu menyampaikan, “Sesungguhnya Tuhanmu membacakan salam untukmu, dan Dia berkata, kamu boleh berkehendak untuk menjadi nabi yang hamba, dan boleh berkehendak untuk menjadi nabi yang raja.”

Saya melihat kepada Jibril, lalu dia memberi isyarat, “Merendahlah dirimu.” Saya pun berkata (kepada malaikat itu), “(saya ingin jadi) nabi yang hamba.” 

Sejak itu Rasulullah Saw. tidak pernah makan dengan duduk ittikā’ (posisi duduk yang menjadikan seseorang nyaman untuk makan secara berlebih), beliau mengatakan, “Saya makan seperti halnya seorang hamba makan, dan saya duduk seperti halnya seorang hamba duduk.”[1]

Salah satu sikap yang luar biasa dari Rasul kita semua adalah beliau tidak mau dan tidak ingin tampak berbeda dari orang-orang sekelilingnya.

Ibn al Qayyim dalam Zād al Ma’ād  menyampaikan, bahwa suatu ketika ‘Adiyy bin Ḥātim datang kepada Baginda Rasul Saw. (untuk menyelidiki hakekat dakwah beliau), lalu beliau mengajak dia masuk ke kediamannya. Seorang perempuan menghaturkan kepada beliau bantal untuk belaiu duduki. Rasul Saw. mengambil bantal itu, dan meletakkanya di antara beliau dan ‘Adiyy. ‘Adiyy berkata dalam hatinya, “Saya pun tahu bahwa dia bukan seorang raja.”[2]

Imam Al Bukhāriyy dalam Ṣaḥīḥnya meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah diberi-kabar perihal puasa diriku, lalu beliau datang kepadaku. Saya haturkan kepada beliau bantal dari kulit yang isinya berupa sabut. Beliau duduk di tanah dan bantal itu ada di antara kami.[3]

Nabi Saw. memang menjadi contoh yang sempurna untuk sikap rendaah hati. Para sahabat sangat memahami itu, sehingga sebagian tampak ekstrim dalam rendah hati.

Abdullah bin Rawāhah memiliki amat (budak Perempuan) berkulit hitam, ia menempelengnya saat dalam keadaan marah. Dia pun menyesali itu, lalu sowan kepada Baginda Rasul Saw. dan menceritakan itu semua kepadanya. “Bagaimana dia, wahai Abdallah?” tanya Baginda Rasul kepadanya. Dia menjawab, “Dia puasa, dia salat, dia baik dalam berwudhu, dan melafalkan dua syahadat.” Rasul pun berkata kepadanya, “Ini adalah (sifat-sifat) mukminah!” Abdullah bin Rawahah bergegas pamit. Dia memerdekakannya lalu menikahinya.”[4]

Contoh lain adalah Abū Żarr al Ġiffāriyy. Al Ma’rūr bin Suwaid melihatnya di Rabżah memakai baju setelan (ḥullah), begitu pun budaknya.

Al Ma’rūr bertanya kepadanya perihal ini, dan dia menjawab, “Saya dan seseorang lelaki saling memaki, lalu saya mencacinya dengan menyindir ibunya. Lelaki ini melaporkannya kepada Baginda Rasul Saw.

Maka, kata beliau kepadaku, “Wahai Abū Żarr, apakah engkau mencacinya dengan menyindir ibunya? Sungguh, dalam dirimu ada (sifat buruk) jahiliyyah! (Mereka para budak dan amat) adalah saudara-saudarmu yang (kebetulan) menjadi pembantu-pembantumu. Allah SWT. menjadikan mereka berada dalam kekuasaanmu. Maka, siapa pun yang saudanya berada dalam kekuasaannya berilah ia makanan dari apa yang dia makan, dan berilah ia pakaian dari apa yang dia pakai. Jangan pula kamu sekalian membebani mereka dengan beban yang memayahkannya, dan jika kamu (terpaksa) membebani mereka dengan itu maka kamu sekalian harus membantunya.”[5]

Tampaknya, generasi berikutnya banyak yang terinspirasi dari sikap Baginda Rasul dan para sahabat-sahabatnya tersebut. Inilah yang kita dapat rasakan dari tawadhu para ulama generasi berikutnya ini:

Abū Nu’aim al Aṣbahāniyy meriwayatkan dari al Auza’iyy bahwa Umar bin Abdul Aziz setiap hari selalu menginfakkan satu dirham dari uang pribadinya untuk makanan rakyat, dan ia ikut serta makan bersama mereka.[6]

Diriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada Umar bin Abdul Aziz, anaknya membeli cincin dengan seribu dirham. Dia lalu menulis surat kepadanya, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau membeli cincin dengan seribu dirham. Jual lah cincin itu, lalu beri makan seribu rakyat yang lapar darinya. Belilah cincin dengan satu dirham (saja), dan tuliskan di situ “RaḥimalLāh imra`an ‘arafa qadra nafsih”, Semoga Allah merahmati siapapun yang menyadari kadar dirinya.[7]

Abū Bakr al Khallāl menyampaikan, “Saya melihat Ahmad bin Hambal membeli roti di pasar dan membawanya di dalam keranjang jerami. Saya juga tidak sekali saja melihatnya membeli sayuran dan meletakkannya dalam serpihan kain, lalu membawanya sambil menggandeng Abdullah, putranya.[8]

Kontributor

  • Abdul Ghofur Maimoen

    Nama lengkapnya Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, Lc., MA. Setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Al-Azhar Mesir, kini beliau menjadi pengasuh PP. Al-Anwar 3 Sarang-Rembang, Rektor Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Anwar, Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.