Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengapa kita jauh dari derajat ulama terdahulu?

Avatar photo
58
×

Mengapa kita jauh dari derajat ulama terdahulu?

Share this article

Di dalam buku Asbab an-Nubugh’ ‘inda as-Salaf karangan Syaikh Abdul Fattah, saya membaca banyak sekali poin penting kenapa para ulama terdahulu bisa begitu jauh dalam memahami ilmu, di tengah kesulitan sarana belajar dan mengajar. Sedangkan kita, dengan segala kemudahan yang ada, justru tidak mampu untuk bisa dekat dengan derajat keilmuan mereka.

Pertama, di zaman ini, karena sarana yang sudah sangat mudah, kita mudah meremehkan ilmu. Dianggap enteng, dan suka menunda-nunda. Berbeda dengan zaman sahabat, tabi’in, hingga beberapa abad ke depan, di mana mencari ilmu sangatlah terbatas. Keterbatasan itu yang membuat mereka dapat begitu menghargai ilmu dan kesempatan.

Sayyidina Umar berkata, “Ikatan tali keislaman itu akan terputus perlahan-lahan, jika hidup dalam Islam orang yang belum pernah merasakan zaman jahiliah.” Maksudnya, orang yang belum pernah merasakan zaman tersebut, tidak akan bisa menghargai nikmat agama Islam ini. Sama seperti orang yang hidup dari kecil dalam keadaan kaya, ia tidak bisa menghargai sepotong roti, sebagaimana orang miskin menghargai makanan tersebut.

Saya jadi teringat dari ucapan Sayyidina Umar, kenapa banyak orang-orang mualaf itu lebih semangat belajar keislaman dari orang yang lahir dengan agama Islam dari kecil, mereka sepertinya lebih bisa menghargai nikmat Islam, dan menganggapnya hal yang sangat mahal, makanya mereka punya semangat yang lebih membara.

Kedua, Syaikh Abdul Fattah melihat orang yang unggul dengan ilmunya di zaman dulu, adalah orang-orang yang menggabungkan antara akal yang cerdas dan ibadah. Orang yang hanya cerdas tanpa disertai ibadah, akan menjadi setan yang berakal, bermain dengan hukum, dan merasa menjadi orang yang paling baik satu muka bumi.

ولو كان في العلم من دون التقى • شرف كان أشرف الخلق إبليس.

Seandainya dengan ilmu yang tidak disertai ketakwaan itu ada sebuah kemuliaan, pasti orang yang paling mulia adalah Iblis.

Sedangkan ibadah saja tanpa disertai ilmu, maka dia akan menjadi orang dungu yang percaya khurofat dan cerita-cerita dusta lainnya.

Masalahnya, kata Syaikh Abdul Fattah, orang-orang cerdas di zaman ini banyak yang dikerahkan ke ilmu selain agama. Sedangkan orang-orang nakal yang tobat, baru dimasukkan pesantren untuk belajar agama.

Syaikh Abdul Fattah mengkritisi orang-orang yang begitu meremehkan Sunnah, saat ditanya kenapa dia tidak melakukan salat witir? Jawabnya karena Sunnah. Seolah kini makna Sunnah hanya tersisa sesuatu yang bisa ditinggalkan, makna diberi pahala jika dilakukan sudah hilang di pikiran mereka. Sakin hilangnya makna Sunnah ini, orang-orang kini lebih bangga ikut “Sunnah” orang barat, dan dianggap sebagai kemajuan, sedangkan orang ikut Sunnah Nabi dianggap sebagai hal kemunduran dan kejumudan.

Ketiga, orang-orang zaman sekarang sibuk memikirkan urusan orang lain saat belajar, pikirannya bercabang ke mana-mana. Tengok kanan dan kiri, sehingga tujuannya dilupakan.

Orang yang sibuk dengan banyak hal, pikirannya akan tumpul. Pepatah orang Arab mengatakan: “jangan pernah meminta pendapat ke orang yang sedang nahan kentut atau menahan buang hajat”. Karena ia sedang tidak fokus. Jika hal yang sekecil ini saja menghilangkan fokus, apalagi urusan-urusan orang lain?.

Orang yang mau belajar ilmu agama, tapi isi pikirannya nikah, media sosial, nongkrong di kafe, kumpul-kumpul, lalu saat baca buku dua halaman sudah merasa bosan, setelah itu saat ngaji minta ke gurunya untuk meringkas dan diringankan, apakah yang demikian dinamakan sebagai penuntut ilmu? Oh, tentu tidak.

Jumat, 11 Oktober 2024.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.