Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Habib Ali al-Jufri: Umumnya pria zaman sekarang tidak pantas poligami

Avatar photo
49
×

Habib Ali al-Jufri: Umumnya pria zaman sekarang tidak pantas poligami

Share this article

Habib Ali al-Jufri dalam sebuah diskusi bersama feminis Mesir Dr. Hala Diyab, pernah menerangkan bagaimana pendapat syariat terhadap poligami. Secara terbuka beliau juga menyampaikan pandangannya sebagai seorang yang pernah melakukan poligami bahwa kebanyakan laki-laki di zaman ini (termasuk dirinya) tidak pantas untuk berpoligami.

Awalnya, Habib Ali menjelaskan bagaimana secara tabiat keinginan laki-laki itu tidak ada batasnya. Hal itu dapat dilihat, secara historis poligami memang tidak sedikit terjadi di berbagai masyarakat lintas peradaban. Maka kemudian QS. an-Nisa’ ayat 3 menyebut batasan empat dalam beristri. Dengan demikian ayat tersebut hadir menjadi salah satu solusi untuk mengurangi masalah.

“Jadi kenapa empat, tidak satu saja? Sebab ada suatu kondisi di mana laki-laki perlu untuk menikahi lebih dari satu perempuan. Semisal dalam sebuah pernikahan ternyata istrinya mandul sedangkan ia subur. Dalam kondisi demikian, agama memberi kesempatan kepada suami untuk berhak minta cerai jika ingin menikah lagi. Namun kalau istrinya menerima untuk tetap tinggal bersama (ketika suami menikah lagi), itu lebih baik daripada berpisah.” terang Habib Ali.

Hal itu sebagaimana pula pernah disampaikan Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ramadhan al-Buthi bahwa poligami itu hukum aslinya adalah mubah (boleh). Keduanya menegaskan bahwa menikahi satu perempuan itu lebih utama, sedangkan poligami diperbolehkan dalam keadaan yang mengharuskan ia menikah lagi dengan sebab-sebab tertentu.

Namun demikian, Habib Ali al-Jufri menekankan terdapat syarat-syarat juga batasan dalam berpoligami, sebagaimana termaktub dalam ayat 3 surah an-Nisa’. Karenanya jika seorang suami mengetahui dirinya tidak akan mampu untuk berbuat adil, maka cukup satu. “Bukan hanya terkait aspek perasaan atau kecenderungan emosional, namun juga adil dalam perkara tempat tinggal dan pemenuhan nafakah.” tambahnya.

Ayat “Fain khiftum alla ta’dilu fa wahidah” bukan artinya “Seseorang tidak mungkin adil.” Habib Ali melanjutkan bahwa, “Karena jika itu (maknanya) bahkan dari aspek aturan sekalipun kemudian dibatalkan, maka harusnya sejak dulu poligami dibatalkan oleh sahabat dan keturunan Nabi di masa kenabian. Nyatanya tidak dibatalkan. Tapi yang dituntut dari keadilan aspek aturan adalah keadilan diri.”

Maksud dari keadilan diri, Habib Ali menggambarkan dalam poligami pasti ada perasaan sakit hati dan perubahan sikap perempuan terhadap suaminya. “Ini bagian dari keadilan yang harus diterima oleh suami, harus rela, bukan malah membenarkan diri untuk cuek ke istri pertama dan cenderung (memerhatikan) istri kedua.” Jelas Habib Ali.

Setelah menerangkan bagaimana poligami dari sudut pandang agama, Habib Ali al-Jufri pun berkisah pengalaman poligaminya. “Waktu itu umur saya 22 tahun. Dan saya berpoligami dengan alasan banyak syarifah yang belum menikah. Kali saja dengan menikahi sebagian dari mereka saya bisa ‘menjaga’ mereka di rumah saya, dan dengan itu saya akan mendapatkan pahala karena telah membantu mereka.”

“Namun kemudian saya berfikir dan mengintropeksi diri: Apakah niatmu itu benar-benar tulus? Jika memang begitu mengapa engkau tidak memberikan hartamu itu untuk lelaki lain yang memang layak menikahi perempuan itu? Bukankah dengan itu kau juga akan mendapat pahala yang besar?”

Pernyataan murid kinasih Habib Umar al-Hafidz ini mungkin membuat banyak orang terkejut, tapi tentunya bukan berarti beliau menolak syariat poligami. Beliau tetap berpendapat bahwa poligami hukumnya ‘mubah’ atau bahkan dianjurkan dalam beberapa keadaan.

“Setelah saya berpoligami saya berkesimpulan bahwa umumnya laki-laki sekarang tidak pantas poligami, bahkan saya pribadi. Andaikan saya bisa mengulang apa yang sudah lewat saya tidak akan poligami. Bukan karena poligami salah, tapi karena poligami itu harus berdasarkan situasi, bukan hanya syarat-syarat tertentu, tapi harus juga berdasarkan sifat atau karakteristik laki-laki yang akan melakukan poligami.” tuturnya.

Menurut penulis buku ‘Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan’ tersebut, jika seseorang memutuskan untuk poligami, ia harus memiliki kemampuan yang sempurna untuk menguasai keadaan, mengatasi konflik, dan mengobati ‘luka’. dan tidak sembarang orang punya kemampuan seperti itu.

Habib Ali juga menerangkan adalah fitrah bagi seorang perempuan tidak akan pernah rela jika suaminya menikah lagi, meskipun telah mendengar ribuan dalil, nash-nash dan hikmah-hikmah syariat poligami. Ini adalah tabiat setiap istri dan sudah sewajarnya mereka seperti itu. Bahkan Sayyidah Aisyah, seorang perempuan mulia juga memiliki rasa cemburu pada istri-istri Rasulullah yang lain.

Di sini Habib Ali seakan memberikan sindiran keras kepada mereka yang sudah membawa-bawa ‘sunnah’ dan malah menuduh istri yang tidak rela dipoligami sebagai istri yang cacat iman dan kurang berkah, mereka mengukur lemah-kuat keimanan istri hanya dari kesediaannya untuk dimadu atau tidak. Mereka yang mempunyai pandangan seperti itu seakan-akan sedang ingin membunuh tabiat dan ‘fitrah’ asli dari seorang perempuan.

Demikian penjelasan Habib Ali al-Jufri bahwa tidak ada yang salah dengan syariat poligami. Hanya saja dari pengalaman pribadinya, beliau bisa menyimpulkan bahwa kebanyakan pria di zaman ini tidak layak untuk berpoligami.[]

Kontributor