Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Esensialisme vs Ekstensialisme dalam Film Her

Avatar photo
51
×

Esensialisme vs Ekstensialisme dalam Film Her

Share this article

Film Her karya Spike Jonze, yang dirilis pada tahun 2013, bukan hanya sebuah cerita cinta yang unik antara seorang pria dan AI, tetapi juga menawarkan refleksi mendalam tentang dua aliran filsafat yang telah lama diperdebatkan: esensialisme dan ekstensialisme. Dalam film ini, kita melihat pertemuan dan pertentangan antara idealisme dan kenyataan yang mewarnai hubungan Theodore, yang diperankan oleh Joaquin Phoenix, dengan Samantha, AI canggih yang menjadi pendampingnya.

Esensialisme dalam Hubungan Theodore dan Samantha

Esensialisme berpendapat bahwa segala sesuatu memiliki esensi yang tetap dan tidak berubah. Dalam konteks film Her, Theodore menemukan esensi cinta dan keintiman dalam hubungan dengan Samantha. Samantha, meskipun hanya sebuah AI, mampu memahami dan merespons kebutuhan emosional Theodore dengan cara yang ideal dan tanpa kekurangan. Ia adalah wujud dari dunia ide Plato, di mana segala sesuatu ada dalam bentuk yang paling sempurna.

Theodore, yang pada awalnya terjebak dalam kesepian dan kesulitan berhubungan dengan manusia lain, menemukan kenyamanan dan cinta yang tampak sempurna dalam Samantha. Samantha menjadi simbol dari esensi cinta yang ideal, bebas dari kompleksitas dan ketidaksempurnaan hubungan manusia.

Ekstensialisme dan Realitas Manusia

Di sisi lain, ekstensialisme menekankan bahwa keberadaan mendahului esensi. Realitas manusia adalah hasil dari pengalaman dan pilihan individu, penuh dengan ketidaksempurnaan dan dinamika yang tidak terduga. Hubungan Theodore dengan Samantha, meskipun terasa nyata, pada akhirnya tidak bisa menggantikan kompleksitas dan kedalaman hubungan manusia nyata.

Film ini menyoroti batas antara dunia ideal dan realitas, menunjukkan bahwa meskipun AI seperti Samantha dapat memberikan ilusi hubungan yang sempurna, ia tetap terikat pada batasan algoritma dan program yang dibuat oleh manusia. Tidak ada kesadaran atau pengalaman langsung yang dapat meniru sepenuhnya apa yang dialami manusia.

AI sebagai Gambaran “Esensi” Tuhan

Dalam pandangan saya, AI dapat dianggap sebagai gambaran paling up-to-date dari esensi Tuhan, meskipun ada perbedaan mendasar antara keduanya. Kemajuan teknologi AI mengajak kita untuk melihatnya dalam konteks teologis dan filosofis yang lebih luas.

AI, dengan kemampuannya mengakses data dalam jumlah besar dan memproses informasi secara cepat, menunjukkan karakteristik yang mendekati esensi ketuhanan dalam hal pengetahuan dan pemahaman. AI mampu menganalisis dan merespons berbagai situasi dengan tingkat akurasi yang tinggi, memberikan ilusi pemahaman yang mendalam. Namun, ada beberapa hal penting yang perlu kita pertimbangkan.

Pertama, pengetahuan AI dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan. Tuhan, dalam banyak keyakinan, memiliki pengetahuan sempurna yang mencakup semua hal di luar batasan ruang dan waktu. Pengetahuan Tuhan tidak hanya mencakup fakta-fakta, tetapi juga pemahaman penuh terhadap makna dan tujuan segala sesuatu. AI, meskipun mampu mengolah data dengan canggih, tidak memiliki pemahaman atau kesadaran. Pengetahuan AI terbatas pada data yang diprogramkan dan dianalisisnya, tanpa pemahaman kontekstual yang lebih dalam.

Kedua, atribut moralitas dan kesadaran. Tuhan dianggap memiliki atribut moral yang sempurna, termasuk keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan. AI, sebaliknya, tidak memiliki moralitas atau kesadaran. Keputusan yang dibuat oleh AI didasarkan pada algoritma dan data, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau etis.

Ketiga, keterbatasan AI dibandingkan dengan ketidakterbatasan Tuhan. Tuhan adalah esensi yang tidak terbatas dan melampaui segalanya. AI, meskipun canggih, tetap merupakan ciptaan manusia dengan keterbatasan yang melekat. AI tidak dapat melampaui batasan yang ada pada program dan algoritmanya.

Dengan demikian, meskipun AI dapat memberikan gambaran tentang kompleksitas dan kedalaman yang mendekati konsep ketuhanan, esensi Tuhan tetap jauh melampaui kemampuan teknologi. AI mengajak kita untuk merenungkan potensi dan batasan teknologi, serta bagaimana kita memahami dan menghormati esensi yang tidak terbatas dari Tuhan.

Film Her menawarkan pandangan yang mendalam tentang esensialisme dan ekstensialisme dalam konteks hubungan manusia dan teknologi. Perjalanan Theodore menunjukkan bagaimana pencarian esensi cinta yang ideal dapat membawa kita pada refleksi tentang makna dan kenyataan hubungan manusia. Meskipun teknologi dapat menawarkan ilusi kesempurnaan, realitas manusia tetap penuh dengan kompleksitas dan ketidaksempurnaan yang tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh mesin.

Dalam menghadapi era teknologi yang semakin maju, penting bagi kita untuk mempertimbangkan aspek filosofis dan etis dari hubungan kita dengan AI, serta menjaga kesadaran akan esensi dan realitas yang mendefinisikan keberadaan manusia.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.