Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Fragmen Fiidarinnur, tradisi literasi ulama Padangan Bojonegoro

Avatar photo
34
×

Fragmen Fiidarinnur, tradisi literasi ulama Padangan Bojonegoro

Share this article

Tradisi menulis kitab sudah jadi budaya bersanad musalsal di Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur. Banyaknya daftar judul kitab yang sudah ditemukan, jadi legitimasi penting, bahwa Padangan pernah masyhur sebagai Fiidarinnur.

Istilah Fiidarinnur dan Fiibaladinnur yang kerap muncul di beberapa catatan kaki Manuskrip Padangan, jadi bukti adanya tradisi literasi dan penulisan kitab yang terus hidup di tiap zaman dan peradaban. Meski, banyak pula kitab yang hilang akibat banjir dan bencana alam.

Banyaknya kitab kuno dan turats yang kini telah ditemukan, jadi bukti empiris bahwa tradisi literasi benar-benar ada. Ini juga dibuktikan secara historiografi genealogis antar para mushonif (penulis kitab). Sebab, satu ulama dengan yang lain, memiliki hubungan sanad keilmuan.

Ada banyak nama ulama mualif dan  mushonif di Padangan. Sedikit di antaranya, adalah Syekh Ahmad Basyir (1871-1967), Syekh Hasyim Jalakan (1850-1947), Syekh Ahmad Rowobayan (1827-1915), dan Syekh Abdurrohman Klothok (1776-1877). Di luar nama-nama itu, masih banyak ulama Padangan yang kitabnya belum ditemukan. 

Sementara kitab-kitab yang sudah teridentifikasi, adalah kitab karya Syekh Ahmad Basyir, Syekh Hasyim Jalakan, dan Syekh Abdurrohman Klothok. Ketiganya ulama penulis produktif di Padangan. Baik sebagai pengarang, atau sebagai pen-syarh kitab ulama sebelumnya.

Peninggalan turats ulama Padangan yang mulai banyak ditemukan, jadi bukti bahwa para ulama Padangan memiliki tradisi literasi dengan sanad musalsal. Ini terbukti secara empiris karena rantai genealogi keilmuannya saling terkait antar satu dan lainnya.

Syekh Ahmad Basyir, misalnya, adalah santri dari Syekh Hasyim Jalakan. Lalu, Syekh Hasyim Jalakan merupakan santri dari Sayyid Abdurrohman Tebon. Dan Sayyid Abdurrohman Tebon, adalah santri dari Syekh Abdurrohman Klothok.

Syekh Abdurrohman Klothok sendiri, belajar pada para ulama Makkah dan jazirah Timur Tengah pada awal abad 19. Beliau juga nyantri di Kalkuta India, pada Syekh Abdullah al Dahlawi (1743-1824), sosok ulama sufi yang karya tulisnya amat banyak hingga tak bisa dihitung jari.

Ini bukti sahih bahwa tradisi literasi di Padangan sudah mengakar kuat dari zaman ke zaman. Mendarah daging dari peradaban ke peradaban, dengan sanad musalsal dalam hal keilmuan. Meski, perang dan bencana alam membuat tradisi itu sempat porak poranda.

Berikut nama dan daftar judul kitab tulisan tangan karya ulama Padangan yang telah ditemukan. Manuskrip dan turats-turats itu, membentang di berbagai fan keilmuan dengan titimangsa di rentang akhir dekade 1700 hingga awal dekade 1900 M.

Syekh Ahmad Basyir (1871-1967)

Syekh Ahmad Basyir bin Abdul Qodir atau Mbah Basyir Pethak merupakan ulama yang produktif menulis kitab. Selain mengarang, beliau juga men-syarh dan menyalin ulang sejumlah kitab ulama.

Di antara kitab karya Syekh Ahmad Basyir adalah Kitab Khotbah, Kitab Ilmu Tauhid, Bahjatu al-Ulum (Syarah as-Samaraqandi), Al-Miftah (Syarh Ma’rifatu al-Islam Wa al-Iman), hingga Kitab Al Muqoyyad (tauhid).

Beliau juga men-syarh dan menulis ulang kitab ulama terdahulu. Diantaranya; At-Ta’liq bi Sittina Mas’alah (Imam Ahmad Zahid), Kitab Hikam (Ibnu Athaillah), Ummul Barahin (Syekh Muhammad Sanusi) dan lain sebagainya.

Syekh Hasyim Jalakan (1850-1947)

Di beberapa kitab, namanya tertulis Syekh Muhammad Hasyim Alfadangi. Guru dari Mbah Baidlowi Lasem tersebut, juga dikenal dengan nama KH Hasyim Padangan. Karyanya cukup banyak dan mudah ditemui sampai saat ini. Satu karya yang membuat nama beliau populer, adalah Tashrifan Padangan.

Tashrifan Padangan jadi kitab nahwu-shorof abad 20 yang cukup populer di nusantara, bahkan amat terkenal di Mesir. Kitab itu diterbitkan di berbagai negara. Ini dibuktikan dengan ditemukannya kitab Tashrifan Padangan yang diterbitkan percetakan Bombay India pada 1910.

Dalam penutup kitab Tashrifan Padangan yang diterbitkan Maktabah Ahmad Nabhan Surabaya, bertarikh 1388 H (1968 M), tercatat sejumlah karya Mbah Hasyim Padangan, mulai terjemah Imrithi, terjemah Alfiyah Ibnu Malik, hingga terjemah Nadham al Maqsud.

Syekh Abdurrohman Klothok (1776-1877)

Syekh Abdurrohman Klothok memiliki banyak nama pena. Diantaranya Syekh Abdurrohman Jifang Alfadangi, Syekh Abdurrohman Fiidarinnur, Syekh Hasan Abdurrohman, hingga Syekh Hasan Jismani. Serupa banyaknya nama, beliau juga memiliki banyak karya tulis.

Diantara kitab karangan beliau, adalah; At-Tafriq (fiqih), Kitab Tajwid Quran, Amtsilah Tashrif (kamus), Kitab Sanad Thariqah, Fi Kalimati as-Syahadah (akidah), Fadhilatus Shiyam wa Syahri Rajab (fiqih), Hadist Arba’ain (hadis), Fathul Mubin Syarah Ummul Bahrain (Akidah), Risalah Nikahul Khoir Wasyaril Syahri (hadis), Manuskrip Padangan (jejaring ulama abad 17 di Padangan), Catatan Perjalanan Haji, Kitab Mujarobat, Risalah Khodam Khuruf, dan lain sebagainya.

Beliau juga men-syarh sejumlah kitab seperti Fathul Mannan (Syekh Ibnu Qosim), Fathul Mubin (syarh Ummul Bahrain), Muharror (Imam Rifai), Fathul Muin (Zainuddin Al Malibary), Maulid Barzanji (Syekh Jafar Al Barzanji), Safinah an-Najah (Syaikh Salim Bin Sumair al-Hadlramy), Thulbatu thullab fi thoriqi al-ilm liman thalab (Muhammad Al Kasyafari).

Selain itu, juga kitab Fathurrahman bi Syarhi Wali Ruslan (Imam Zakaria al Anshari), Hadist nishfu syaban (Syaikh Hafidz Muhaddis M. Najmuddin Al-Gaithi), Asasul Muttaqin (Syaikh Abd. Shamad Ibn Faqih al-Hasan Ibn Faqih Muhammad), Nurul Mushalli (Syaikh Abi Bakar), Ummul Barahin At-Tilmisani (Syekh Muhammad bin Umar Bin Ibrahim At-Tilmisani).

Itu masih belum semua. Masih ada sejumlah kitab Syekh Abdurrohman yang belum selesai terbaca. Bahkan, ada satu peti berisi kitab-kitab beliau yang hingga kini belum diidentifikasi. Tentu, hal ini membuka potensi ditemukannya judul-judul kitab baru.

Gerbang Dimensi Peradaban Fiidarinnur

Frasa Fiidarinnur kerap muncul di sejumlah catatan kaki Manuskrip Padangan yang bertitimangsa awal 1800 M. Sesekali ia ditulis Fiibiladinnur. Tentu, kedua istilah itu  memiliki makna yang mirip. Fiidarinnur (dalam kota cahaya) dan Fiibiladinnur (dalam negara cahaya).

Selain sebagai nisbat intelektual yang menghubungkan Padangan dengan jejaring Ulama Nusantara, frasa Fiidarinnur juga jadi gerbang dimensi untuk membaca peradaban islam jauh ke belakang, sebelum abad ke-19. Ini bisa dilihat dari jejak dakwah ulama Padangan, di tiap zaman dan peradaban.

Di Jipang Padangan, peradaban islam tercatat secara urut sejak era dakwah Sayyid Jamaluddin Akbar al Husain (abad 14 – 15 M). Dilanjut era Wali Songo, dalam hal ini Raden Usman Haji atau Sunan Udung (abad 15 – 16 M). Kemudian era Mbah Sabil, Khatib Hasyim, dan Mbah Nursalim Tebon (abad 16 – 17 M).

Dilanjut Mbah Khamaluddin Oro-oro Bogo, Bagus Abdurrokhim, Mbah Abdurrohman Gotco, hingga Mbah Abdurrohman Syaban (abad 17 – 18 M). Kemudian disusul era Mbah Syahiddin Oro-oro Bogo, Mbah Abdurrohman Klothok, Mbah Syihabuddin Kuncen, hingga Sayyid Abdurrohman Tebon (abad 18 – 19 M).

Pada abad 19 hingga awal 20 M, kembali muncul nama-nama ulama seperti Mbah Abdul Qodir Pethak, Mbah Abu Syukur Tawang, Mbah Ahmad Rowobayan, Mbah Asnawi, Mbah Hasyim Jalakan, hingga Mbah Ahmad Basyir Pethak.

Namun di luar itu, Padangan Bojonegoro justru dikenal wilayah bertuah yang didiami banyak makam aulia. Ini membuat perihal ilmiah tertutup nuansa karomah, sehingga jarang yang tahu jika banyak ulama di Padangan juga seorang mushonif yang mewariskan banyak pemikiran.

Serupa daerah-daerah lain di pulau Jawa. Di Padangan, kisah keramat bernuansa karomah jauh lebih dikenal secara turun temurun. Ini alasan banyak ulama Padangan lebih dikenal sisi karomahnya, dibanding sisi intelektual ilmiahnya.

Pada dekade 1990, masih masyhur para peziarah dari luar daerah yang berbondong-bondong nyadong barokah para ulama di Padangan melalui serpihan kitab, tanah makam, cuilan kentongan masjid, hingga cuilan nisan makam.

Dominasi kisah karomah dan identitas nan bertuah, membuat sisi ilmiah para ulama minauliyaillah di Padangan terlewati. Padahal, para ulama di Padangan, diakui atau tidak, mayoritas adalah figur alim yang banyak mengarang kitab ilmiah.

Kontributor