Saat saya dan beberapa tamu lain sewaktu sowan kepada KH. Abdullah Syaukat Siradj, salah satu anggota Majelis Keluarga Sidogiri, sebagian tamu ada yang mengeluh dan meminta doa kepada Kiai, karena saudaranya ada yang kemalingan.
Singkat cerita, akhirnya Kiai Abdullah menyampaikan dawuh guru sekaligus paman beliau, Alm. KH. Hasani Nawawie (w. 2001) bahwa kepada seorang yang tidak kita kenal, kita dilarang berbaik sangka ataupun berburuk sangka. Alias sikapilah dengan biasa-biasa saja. Kecuali kalau sudah ada indikasi atau bukti. Maka, ya, silahkan.
Dalam kaitannya dengan kasus yang tadi, korban sepertinya terlalu husnuzon kepada orang lain tanpa ada bukti. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi.
Saya catat baik-baik dawuh itu dalam kepala. Sambil mikir sejenak. Lha, bukankah kita justru diharuskan berbaik sangka kepada semua orang Islam?
Kebingungan itu tetap saja saya bawa sampai akhirnya saya resmi menjadi alumni Pondok Pesantren Sidogiri dan saya pulang. Namun, saya tetap yakin bahwa dawuh Kiai Hasani Nawawie ini tidak lepas dari kitab, khususnya kitab Sullamut-Taufiq yang sering beliau wasiatkan kepada santri agar mengajarkan dan mengamalkannya.
Bagi saya, Kiai Hasani adalah representasi kitab Sullam-Taufiq di zamannya. Saking kecintaan beliau kepada kitab karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir ini begitu besar, beliau benar-benar mendoakan santri Sidogiri yang mengajar kitab ini agar mendapat ilmu manfaat dan berkah. Demikian menurut riwayat tutur dari Kiai Abdullah Syaukat Siradj.
Pesan Kiai Hasani di atas, saya posting kemudian di akun media sosial saya. Namun, sebagian kawan juga mempertanyakan, “Berarti kita boleh dong berburuk sangka kepada orang lain?” Karena yang saya dengar demikian dari Kiai Abdullah, ya sudah saya beranikan menjawab, boleh. Namun saya tidak memberi alasan apapun. Walaupun jawaban ini adalah murni kesan saya, bukan pesan langsung Kiai Hasani.
Beberapa lama kemudian, saat saya sudah ada di rumah dan menggagas aktivitas baru, saya kebetulan menjadi salah satu pembina kegiatan sorogan kitab. Secara kebetulan, di antara sekian ragam kitab yang dibuat materi sorogan adalah kitab Sullamut-Taufiq. Saya dihadapkan oleh bab maksiat hati yang hendak disetorkan oleh santri. Ibaratnya adalah:
فَصْلٌ : وَمِنْ مَعَاصِي الْقَلْبِ : إلى أن قال : وَسُوْءُ الظَّنِّ بِاللّهِ وَبِعِبَادِ اللّهِ
“Pasal: Termasuk maksiat hati adalah suuzan kepada Allah dan kepada hamba-Nya.”
Mendengar ibarat yang disetorkan ini, saya langsung memerhatikan teks kitab yang dibaca sambil meminta santri tadi diam sejenak. Secara lahiriah matan, kebingungan saya malah didukung oleh teks matan Sullamut-Taufiq ini. Saya bergumam dalam hati, “Nah, kan, kok kayaknya bener yang saya isykalkan?”. Karena kebetulan yang dibawa santri itu adalah matan kitab plus syarahnya, maka langsung saya cek komentar Syekh Nawawi Banten.
Menurut Syekh Nawawi Banten, yang dimaksud dengan keharaman bersuuzan kepada hamba Allah adalah ketika hamba tersebut min ahlil-khair, termasuk orang-orang baik.
Hal ini akan berbeda jika konteksnya terhadap hamba Allah yang tidak baik, yakni fasik, maka tidaklah berdosa bersuuzan kepada hamba yang fasik itu sepanjang berburuk sangka tadi masih sesuai dengan perilaku fasik yang kelihatan mata.
Demikian penjelasan Syekh Nawawi Banten yang beliau ambil dari keterangan Imam Jalâluddin al-Mahalli. (lihat: Mirqâtu Shu’ûdit-Tashdîq, DKI Jakarta, hal. 113)
Walhasil, benarlah apa yang saya dengar dari Kiai Abdullah. Mungkin berangkat dari teks Sullamut-Taufiq ini, Kiai Hasani Nawawie membuat kesimpulan, “Kepada yang belum kamu kenal, kamu dilarang berhusnuzan atau bersuuzan sebelum ada bukti.” Wallâhu a’lam.